Cherreads

The Violinist by the Panthéon

Khis_Official
14
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 14 chs / week.
--
NOT RATINGS
4.2k
Views
Synopsis
Verez Montagne was once abandoned by the most beautiful woman in Europe. On his quiet journey along the grand and gleaming sidewalks of the Champs-Élysées, he carries the silence of heartbreak with every step. In the stillness of his escape, he meets a striking young woman with an Asian face Kareesa. He almost falls for her… a beautiful stranger he accidentally kissed. But fate unveils a cruel twist: Kareesa belongs to another man, Sebastian. Will Verez ever cross paths with Kareesa again? Could love bloom between two souls caught in the wrong moment? How does Kareesa see Sebastian... and Verez? And how will this story, born under the Parisian sky, finally end? #love #chemistry #romansa #warning21+
VIEW MORE

Chapter 1 - PERPISAHAN

Di kawasan Latin Quarter, tak jauh dari bangunan megah Panthéon,

lampu-lampu kota Paris mulai menyala, menorehkan cahaya keemasan di sepanjang jalan berbatu.

Malam mulai memeluk kota ini dengan ketenangannya yang khas.

Dari balkon kamar hotelku di lantai enam,

aku bisa melihat lalu lalang pejalan kaki di RueSoufflot, jalan kecil yang menghubungkan Panthéon dengan JardinduLuxembourg.

Beberapa pasangan tampak menenteng kantong belanja dari butik-butik lokal di seberangnya.

Di tanganku, ada secarik kertas kecil yang kusobek dari notes hotel, dan sebuah pena mungil yang tadi kugunakan untuk menuliskan kata-kata yang entah kenapa tak pernah selesai.

Tiba-tiba, bayangan seseorang terpantul di kaca jendela.

Sosok perempuan berdiri di belakangku, Valerie.

Hembusan napasku tertahan.

Pena kecil itu pun tergelincir dari tanganku, jatuh ke lantai, mengiringi pandanganku yang beralih dari malam Paris ke tatapan Valerie yang penuh tanda tanya.

Valerie merontokkan tatanan rambutnya yang semula tersanggul rapi, jepitan kupu-kupu yang menghiasinya kini tergelatak di lantai.

Rambutnya menjuntai panjang, membingkai wajah tajam penuh percaya diri.

Tatapannya menusuk, matanya yang dilapisi lensa biru terang menyelidik setiap inci keberadaanku.

Dia tersenyum, bukan senyum ramah atau manis, melainkan senyum penuh teka-teki, mengusik nurani siapa pun yang memandangnya.

Kini, dia berdiri begitu dekat.

Tubuh kami hanya berjarak sejengkal.

Aku mengalihkan pandanganku ke sisi jendela, memandangi Panthéon yang bermandikan cahaya malam Paris, seakan mencari perlindungan dari tatapan yang menekan.

Aku tahu Valerie.

Dulu, aku menginginkannya.

Dulu, aku mencarinya.

Tapi waktu telah mengubah segalanya. Setelah dia mencampakkanku saat itu dan menganggap aku tak lebih dari angin lalu.

Kini, tiba - tiba, dia berdiri di sini, seolah tak pernah ada luka yang tertinggal.

Dia melepas mantelnya perlahan, membiarkan kesan mewah dan menggoda menyelimuti dirinya.

Tapi bukan itu yang kurasakan

Bukan kekaguman, bukan rindu.

Melainkan keraguan, dan perasaan tak nyaman yang sulit dijelaskan.

Entah kenapa, semakin dekat dia, semakin jauh hatiku.

Valerie terus melangkah, seakan ingin menyingkirkan jarak yang tersisa di antara kami.

Tapi kali ini, bukan aku yang melangkah mundur, melainkan hatiku yang menutup pintu rapat-rapat.

“Kenapa kau diam terus, sayang? Tatapan matamu… membuatku ingin memelukmu,” bisik Valerie lirih, sebelum lengannya melingkar di tubuhku.

Ia mendorongku pelan ke arah jendela kamar, tempat cahaya kota Paris Panthéon memancar lembut dari kejauhan.

Aku tahu pola ini.

Pelukan hangat Valerie bukan hal baru.

Dulu, aku sering berharap bisa merasakannya.

Dulu, ketika aku masih menjadi pria yang mendamba cinta dari seorang wanita seperti dia.

Tapi malam ini berbeda.

Ada kekosongan dalam pelukannya.

Hangat, mungkin, tapi tidak sampai ke hati.

Jari-jarinya menari pelan di punggungku, membuat pelukannya semakin erat.

Tapi hatiku tetap beku.

Tubuh Valerie hanya dibalut gaun tipis yang memamerkan keelokan dirinya.

Sebuah pemandangan yang pasti akan mengguncang pria mana pun, tapi tidak aku. Tidaklagi.

Dengan lembut, aku melepaskan pelukannya. Aku berbalik dan melangkah ke arah pintu.

Pintu yang tadi ia masuki tanpa izin, kini kubuka lebar-lebar.

Lorong hotel menyambut kami dalam sunyi. Sesaat aku diam, lalu dengan nada tenang tapi tegas, aku berkata,

“Keluarlah, Valerie... Pakai mantelmu. Aku ingin sendiri.”

Valerie menatapku tajam.

Tatapan birunya kini tak lagi menggoda, melainkan terluka.

Ada gengsi yang remuk dalam pandangannya.

Namun dia tak berkata apa-apa.

Ia hanya meraih mantel tebalnya yang tergeletak di kursi, lalu memakainya kembali.

Ia berdiri di ambang pintu.

Masih menatapku.

Aku memalingkan wajahku, tak kuasa melihat kebingungan yang perlahan menjelma jadi rasa malu di matanya.

“Please…” bisikku pelan.

Dan akhirnya, ia mulai melangkah keluar, meninggalkan jejak diam di malam yang semula penuh cahaya.

---

Keesokan harinya, di malam yang sama Valerie datang kembali.

Kali ini dia tiba - tiba ada di dalam kamar hotelku, saat aku baru pulang dari pertunjukan besar di SallePleyel.

Entah bagaimana caranya Valerie bisa memiliki akses ke kamar ini.

Padahal malam sudah semakin larut.

Mungkinkah ia menggoda staff housekeeping dan mencuri kunci cadangan?

Mungkin, ia mengira aku sudah terlelap dalam lamunan malam.

Namun, ia salah besar.

Aku masih terjaga, tenggelam dalam pikiran-pikiran yang tak tenang.

“Kenapa kau selalu saja datang tak diundang?!” Pertanyaanku penuh dengan ketegasan.

“Kau mau mengusirku lagi…?” suaranya lirih tapi sarat ketidakpercayaan.

Langkahnya dengan cepat menghampiriku, dan kini matanya menatap tajam ke wajahku.

Kecantikan Valerie yang biasanya memesona, kini berubah menjadi kemarahan seperti iblis yang tak terima ditolak.

Apalagisampaikeduakalinya.

Ia merasa tertantang.

Dan memang itu yang kuinginkan, agar dia tahu, aku bukan lagi pria yang sama.

“Aku tidak pernah sehina ini dengan siapa pun… kecuali padamu,” bisiknya di dekat wajahku, suara yang dibalut amarah dan luka yang tak terucap.

Aku membalas tatapannya dengan ketegasan.

“Aku hanya ingin sendiri, Valerie. Aku harap kau mengerti,” ucapku, mencoba tetap tenang.

“Kalau aku tidak mau…? Apa kau akan memaksaku?” tantangnya lagi.

Matanya menelanjangi emosiku, mencoba menemukan celah.

Nafasnya hangat menyentuh pipiku, bergetar oleh kemarahan dan rasa tertolak.

“Kalau begitu, aku yang akan pergi. Aku akan mencari hotel lain di Paris,” kataku tegas, suaraku sedikit meninggi.

Ini bukan ancaman, ini keputusan.

Namun dia tak gentar.

Justru menarikku masuk ke kamar, lalu merebahkan tubuhnya ke sofa dengan posisi yang… mengundang.

Kedua kakinya ia renggangkan, seolah sengaja memancing perhatianku.

Ia tahu betul bagaimana membuat pria kehilangan kendali, tapi kali ini, aku bukan lagi korbannya.

“Oke,” gumamku pelan, nyaris dingin.

“Baiklah. Aku pergi.”

Tanpa menatapnya lagi, aku meraih kunci kamarku dan keluar dengan langkah mantap.

Pintu kamar kututup dengan keras, dentumannya memecah kesunyian lorong hotel.

Dari belakang, kudengar suara langkah terburu-buru.

Pintu dibuka, dan suara itu memanggil namaku dengan panik, ragu, kalah.

“Verez! Kau mau ke mana?!”

Valerie mengejarku.

Kudengar langkah kakinya yang ringan mendekat.

Ia berusaha meraih tanganku.

Tapi aku menepisnya tanpa ragu, tanpa gentar.

Untuk pertama kalinya... aku benar-benar memilih untuk pergi.

“Aku tak mau membuat masalah di sini. Aku harap kau mengerti, Valerie! Aku tak pernah ingin didekati olehmu lagi. Bisa?!” suaraku meninggi, keras, memecah kesunyian lorong hotel.

“Kamu tahu ? Aku jauh-jauh datang kemari karena aku mencintaimu!” seru Valerie, membuatku berbalik menatapnya lagi.

Sorot matanya penuh harap, atau mungkin putusasa?

“Shit lah... Aku tahu.. cintamu bukan untukku, tapi untuk pria lain, dan aku tahu itu bukan aku,” dengusku dengan getir.

Tangannya mencoba menyentuh pipiku, dengan refleks, aku menepisnya.

“Valerie, dulu aku memang pernah mencintaimu... Tapi kini, aku sudah tak mencintaimu. Aku bahkan tak pernah sekalipun menyentuh apalagi menyakitimu. Tapi cukup! Aku lelah terus dihantui bayanganmu... Aku tahu, Sekarang pun kau mengejarku karena tahu siapa aku, bukan karena siapa aku di matamu dulu. Tapi satu hal yang harus kau tahu...., kemana pun aku pergi, jangan coba-coba ikuti aku. Please, Jauhi aku!”

Nada suaraku tegas, jelas, dan penuh luka yang tak ingin diulang.

Telunjukku teracung, jarak kami terlalu dekat, tapi hatiku terasa jauh darinya.

Valerie terdiam.

Tatapannya berubah sendu.

Tak ada lagi nyala api di matanya.

Ia menunduk, rambut panjangnya jatuh menutupi sebagian wajahnya, menyembunyikan perasaan yang mungkin selama ini ia tekan.

Bayangannya memantul di lantai hotel yang mengilap, berdiri sendiri dalam diam.

“Baiklah… Jika itu maumu... Kini kau telah bebas dariku,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan dari masa lalu.

“Maaf… jika seorang Valerie telah membuatmugusar.”

Untuk sesaat, matanya menatapku, tak lagi menantang, tapi teduh.

Luluh.

Tapi aku tetap tak peduli.

Aku melangkah menjauh.

Meninggalkannya berdiri sendiri di lorong hotel yang sunyi.

Di belakangku, terdengar isak tangis yang lirih, namun tak cukup kuat untuk membuatku menoleh.

Langkahku terus menjauh, meninggalkan perempuan yang dulunya pernah kuinginkan… kini tak ingin kuingat sekalipun.

Bersambung...