Cherreads

Chapter 5 - TAK TERDUGA

Angin Paris berhembus pelan, menyapu helaian rambutnya yang keriting seperti ombak lembut.

Malam itu, langit tidak sepenuhnya gelap, dan denting lonceng gereja terdengar sayup dari kejauhan.

Tapi yang menggema paling keras di dadaku, adalah detak jantungnya… dan detak jantungku sendiri.

Ia masih menatapku dengan tatapan tak percaya.

Wajahnya tegang, nyaris pucat, dan aku tahu… aku telah melampaui batas.

" Pardonne-moi… "

( Maafkan aku…)

kataku dengan suara serak, menatap lurus ke dalam matanya yang cokelat terang, mencari sedikit pengertian di balik gemuruh emosinya.

Ia terperanjat.

Bahunya naik turun karena tarikan napas cepat.

Kemudian ia duduk kembali seperti semula, perlahan tapi tegas, seolah menahan sesuatu agar tak meledak.

'Entah apa yang kulakukan, aku sadar aku bodoh... ' Gumamku dalam hati

Tangannya menggapai bibirnya sendiri, menyentuhnya dengan ragu.

Seperti ingin memastikan bahwa apa yang baru saja terjadi bukan mimpi.

" C'était mon premier baiser… pourquoi… "

( Itu adalah ciuman pertamaku… kenapa…)

bisiknya lirih, namun cukup untuk membuatku merasa semakin hancur.

Aku menunduk, menelan kegugupan dan rasa bersalah yang mendesak ke tenggorokan.

Aku tidak pernah bermaksud menyakitinya, apalagi seperti ini.

Tanganku perlahan menggapai jemarinya. Kulitnya terasa dingin, terlalu dingin untuk hari yang tidak terlalu dingin.

Dan aku tahu, itu bukan karena suhu.

Tapi karena hatinya terguncang.

" Je te jure… c'était un accident…"

( Sungguh, aku bersumpah… itu tidak sengaja… )

ucapku lembut, penuh penyesalan, mencoba menghapus getar luka di balik tatapan diamnya.

Ia tidak menjawab.

Bibirnya terkatup rapat.

Matanya memandang ke depan, kosong.

Sunyi menjalari di antara kami, hanya diselingi oleh deru angin dan langkah orang-orang jauh di pelataran Panthéon.

Beberapa menit berlalu.

Tapi bagiku, itu seperti seumur hidup.

"Désolée... "

Kataku sambil menatap wajah cantiknya yang terlihat sedikit tegang.

Tiba-tiba dia tersenyum dan berkata,

"Hmm… j’ai entendu dire que les Français sont chaleureux et romantiques.

Je n’ai jamais rêvé pouvoir venir ici… et me faire des amis avec quelqu’un comme vous. Et maintenant, c’est devenu une réalité. Et…”

(Aku dengar orang Prancis itu ramah dan romantis. Aku bahkan tak pernah bermimpi bisa datang ke sini dan berteman dengan seseorang seperti Anda… dan sekarang, itu jadi kenyataan. Dan…)

Dia menatapku dengan tajam, kata demi kata yang hangat keluar darinya.

Dia mendekat dan dengan spontan, bibirnya menyentuh bibirku kembali.

Sebuah ciuman lembut, sekilas, namun nyata.

Cukup untuk membuatku terpaku tidak percaya.

Namun, kali ini sepertinya dia tampak menikmati.

Aku yang kesepian pun menikmatinya.

Mungkin terdengar gila, orang asing yang baru mengenal satu sama lain saling berkontak fisik, walaupun hanya melalui bibir.

Dia lalu melepas bibirku dari bibirnya secara perlahan, menatapku dengan campuran bingung dan canggung.

Aku tahu aku telah melangkah terlalu jauh.

Aku bisa melihat itu dari wajahnya.

Tapi entah kenapa, aku juga merasa… dia tidak sepenuhnya menolaknya.

Jantungku semakin berdetak kencang. Kenapa aku melakukannya?

Apakah karena aku benar-benar tertarik padanya?

Atau karena aku terlalu hanyut dalam momen ini?

Dia kembali menunduk.

Diam.

Tak berkata sepatah kata pun.

Rambut hitamnya jatuh menutupi sebagian wajahnya.

Tiba-tiba aku merasa bersalah.

Sangat bersalah.

Aku menggigit bibirku sendiri.

Tatapannya tak lagi mengarah padaku.

Hanya diam.

Dan itu lebih menyakitkan dari kemarahan sekalipun.

Apakah dia takut?

Marah?

Atau justru bingung dengan perasaannya sendiri?

Akutaktahu.

Yang kutahu, untuk pertama kalinya malam itu, aku berharap waktu bisa mundur.

Aku mulai merasa kebingungan.

Apa yang harus aku lakukan setelah mencium bibir wanita asing ini?

Dia masih duduk di sana, memeluk tubuhnya sendiri, meraba lengannya yang terbuka karena gaun biru yang tipis.

Malam sudah semakin dingin.

Angin semilir mengusik dedaunan di taman itu, dan membuat rambut panjangnya ikut menari perlahan.

Tanpa berpikir panjang, aku melepas mantelku dan dengan ragu mencoba menyampirkannya ke pundaknya.

Tapi tangannya menahan.

“Merci…”

Suara lembutnya terdengar menenangkan, dan penuh penolakan.

“Je ne suis pas le gel…”

(Terima kasih, tuan. Aku tidak kedinginan.)

Dia menatapku, dan tersenyum lagi.

Senyum yang terlalu tenang… membuatku bingung: apakah dia baik-baik saja, atau justru sedang menahan sesuatu?

Aku menarik kembali mantelku, melipatnya perlahan, dan tidak memakainya kembali. Entah kenapa, tubuhku terasa hangat…

tapi bukan karena cuaca.

“Oh… vraiment? Ravi de vous rencontrer, madame.”

( Oh… begitu? Senang bertemu denganmu, nona. )

Suaraku terdengar kaku, bahkan bagi diriku sendiri.

Gugup.

Aku tahu itu.

Senyumku pun terasa asing, meski itu senyum yang dulu pernah aku berikan pada Valerie, wanita yang pernah kuanggap segalanya.

“Moi aussi… je suis heureux de vous rencontrer.”

(Aku juga senang bertemu dengan Anda.)

Ia menoleh ke arahku.

Tatapannya dingin.

Seolah apa yang terjadi beberapa menit yang lalu hanyalah angin lalu.

Tatapannya seperti sedang menyelidik… atau mungkin mempertimbangkan sesuatu.

Aku balas dengan tersenyum.

Tapi jauh di dalam hatiku, ada kegelisahan.

“Pourquoi sortez-vous la nuit comme celle-ci, madame? Vous ne devriez pas être dans votre chambre?”

( Kenapa Anda keluar malam-malam begini, nona? Bukankah seharusnya Anda berada di kamar?)

Pertanyaan itu meluncur tanpa bisa kucegah. Spontan, dan bodoh.

Aku melihat perubahan pada wajahnya.

Dia tertunduk, tidak langsung menjawab. Mungkin aku telah menyinggung perasaannya.

“Désolé, manquer… si j’ai offensé? Je ne voulais pas…”

( Maaf, jika aku menyinggung perasaanmu… Aku tak bermaksud.)

Aku menunduk, menatap tanah, lalu menatapnya lagi.

“…mais je sais que vous n’êtes pas du Panthéon.”

(Tapi aku tahu, kau bukan orang dari sekitar sini.)

Harusnya aku mengatakan hal itu sejak awal kita bertemu.

Kenapa baru sekarang ?

Mungkin di fikirannya, aku hanyalah pria mesum tidak ber etika.

Ada kesunyian panjang setelah itu.

Angin malam kembali berhembus, dan kali ini terasa dingin menusuk.

Aku terus bergumam dalam hati,

“Maafkanaku….” Tapi entah kepada siapa gumaman itu kutujukan, kepada dia, atau kepada dirikusendiri?

“Je vais bien, monsieur.”

(Aku tak apa-apa, Tuan.)

Dia bersuara, ya suara lembutnya kembali terdengar manis di telingaku.

Jawabannya singkat.

Datar.

Bahkan nyaris tak terdengar.

Aku tercekat sejenak.

Sepertinya aku memang terlalu berlebihan.

Apakah aku terlalu sopan?

Terlalu tua baginya?

‘Monsieur’, panggilan itu menyadarkanku.

Usia 28tahun memang belum tua, tapi entah kenapa, panggilan itu membuatku merasa seperti pria paruh baya di matanya.

Atau mungkin, karena tubuhku yang tinggi besar, dia menganggapku jauh lebih tua dari usianya.

Di matanya, mungkin aku seperti pria asing yang tak ramah.

'Verez… kenapa kau berpikir sejauh ini?'

Mungkin dia hanya sedang menjaga sopan santun.

Atau… dia sebenarnya tidak nyaman dengan caraku menciumnya.

Mungkin itu, ciumanku adalah ciuman paling canggung dalam hidupnya.

Tapi tadi dia berkata dengan pelan

'tadi itu ciuman pertamanya?'

Aku menghela napas panjang, mencoba menyibak udara dingin yang kembali menusuk tulang.

Aku lalu memakai mantelku kembali.

“Cette ville est belle, mais plus belle si vous vous sentez heureux.”

(Kota ini memang indah, tapi akan lebih indah jika kau bahagia merasakannya.)

Aku tak tahu dari mana kata-kata itu keluar. Tapi aku mengucapkannya sambil menatap matanya dari samping.

Mata bulat itu, masih seteduh saat pertama kulihat, meski kini menyimpan kabut yang tak kumengerti.

Dia tersenyum.

Sekilas, tapi tulus.

“Je suis heureux d’être ici… Je suis vraiment heureux en ce moment.”

(Aku bahagia berada di sini… Sungguh, aku bahagia saat ini.)

Kata-katanya membuatku diam.

Membuatku yakin.

Senyum kecilku terbit kembali.

Mungkin, memang tidak semua hal harus dijawab dengan logika.

Kadang, rasa cukup menjadi bahasa tersendiri.

Dia mulai tertawa kecil.

Tawanya yang lembut menghapus kekakuan di antara kami.

Hingga tiba-tiba...

“Kareesa!! Kareesa!!”

Suara keras terdengar.

Seorang lelaki datang tergesa-gesa, napasnya memburu, dan matanya langsung menatap kami.

Bersambung...

More Chapters