Suara pintu kayu tua terbuka pelan, tapi tetap menggema di sepanjang lorong sempit yang dipenuhi lukisan-lukisan klasik bergaya Prancis.
Apartemen itu terletak di sebuah bangunan tua khasParisian, dengan langit-langit tinggi, jendela besar berteralis besi, dan balkon kecil yang menghadap ke jalan berbatu LatinQuarter.
Dinding dalamnya berwarna krem lembut, dihiasi cetakan gips ornamental dan lampu gantung kaca kecil yang memancarkan cahaya kekuningan yang hangat.
Kareesa masih berdiri mematung, napasnya naik turun. Pria yang semula berdiri tepat di hadapannya hanya menatapnya tajam, nyaris kehilangan kata-kata.
Keheningan menyambut mereka, lebih nyaring dari segala jenis kebisingan paris.
Kareesa melangkah masuk, tubuhnya terasa ringan, seolah jiwanya tertinggal di taman, dibangku itu...
Bersama pria asing yang bahkan belum ia kenal sepenuhnya.
Sebastian lalu menutup pintu.
Tak ada yang bicara.
Hanya detik jam dinding yang terdengar, berdetak, pelan tapi menusuk.
Dan di tengah segala ketegangan yang tak terucap, Kareesa hanya berdiri... Terdiam.
Bukan karena tak ada yang ingin ia katakan.
Tapi karena terlalu banyak yang ingin ia simpan.
Kareesa lalu melangkah cepat dan menjatuhkan dirinya di atas sofabeludruHijauZamrud yang terletak di tengah ruang tamu.
Tirai tipis dari linen putih bergoyang pelan dihempas angin malam dari jendela balkon yang masih terbuka sedikit.
Angin musim semi berembus lembut dari balkon apartemen bergaya Haussmann yang mereka tempati di arondisemen ke-8 Paris.
Tirai putih terus berayun pelan, dan aroma pewangi ruangan masih samar tercium di ruang tengah.
Sebastian membuka pintu Balkon, dengan langkah cepat namun tetap terjaga.
Dia keluar.
Di tangannya, ia masih menggenggam kunci pintu masuk, namun pikirannya seperti terhenti di tempat lain.
Sorot matanya masih menyimpan kemarahan yang ia telan sejak di taman tadi.
Kareesa bangkit lalu mengikutinya dari belakang, pelan, diam, dan menunduk.
Sejak kejadian di taman, tak ada satupun dari mereka yang bicara di dalam mobil.
Begitu pintu balkon tertutup, suara Sebastian langsung meledak.
“Kalau kamu mau marah sama aku, kamu boleh marah sama aku di sini..” suaranya terdengar tegas, memecah ketenangan interior yang elegan itu.
Sebastian, berdiri dengan napas tertahan, menatap Kareesa tajam.
Pria itu mulai merasa harga dirinya dipermainkan.
“Apa maksudmu tadi? Diam di depannya, membiarkanku bicara sendiri… Kamu bahkan tak menjelaskan siapa dia!” kata Sebastian dengan intonasi naik turun.
“Aku tidak tahu harus bilang apa, Sebastian…” suara Kareesa bergetar, namun ia berusaha tegar.
“Don’t say that,” potong Sebastian dingin.
Ia berdiri membelakanginya, menahan diri agar tak menghentakkan sesuatu.
“Kamu kan tahu...Aku membawamu ke Paris bukan untuk membuatku terlihat bodoh di depan orang tuaku!” balasnya dengan suara sedikit meninggi.
Tangannya kini bertumpu di pinggang, dan bayangan tubuhnya memanjang di dinding karena cahaya dari lampu gantung di atas kepala mereka.
“Aku hanya ingin mereka yakin bahwa hanya kamu pilihanku. Tapi kamu justru menghilang saat acara dimulai… dan tiba-tiba aku melihatmu dengan pria asing!”
Namun sebelum kalimat selanjutnya terucap, suara tumit terdengar dari dalam apartemen.
Langkah kaki berderap lembut dari arah dapur.
Sebuah suara anggun dan tenang memecah ketegangan.
“Sebastian? Ma chérie, kamu sudah pulang?”Sosok wanita anggun muncul dari balik lorong panjang.
Gaun satin biru tua yang ia kenakan memancarkan wibawa, dan rambutnya yang telah memutih disanggul rapi.
Di tangannya ada cangkir teh porselen antik yang gemetar sedikit saat melihat ketegangan di wajah putranya.
MadameLady ElisabethPhillips.
IbundaSebastian.
Sebastian refleks menarik napas dalam, menoleh ke arah ibunya dan mengubah raut wajahnya seperti mengganti topeng.
“Oui, mam… aku baru sampai,” jawabnya, mencoba terdengar tenang.
Elisabeth memandang keduanya dengan pandangan yang penuh rasa ingin tahu
“Ada apa ini, Sebastian? Kalian bertengkar...?”
Ia berdiri di tengah ambang dapur, dindingnya dihiasi rak-rak kayu tua yang dipenuhi piring antik dan botol wine vintage.
Tidak jauh dari Balkon Apartemen.
Suasana menjadi sunyi.
Kareesa menunduk.
Matanya masih menyimpan bayang-bayang Verez… lelaki asing yang baru saja menyentuh sisi hatinya yang belum pernah disentuh siapa pun.
"... "
Kareesa mengusap wajahnya dan tersenyum kaku.
“Tidak ada apa-apa, Mom. Hanya kesalahpahaman kecil.”
Tangannya bergerak pelan, memberi isyarat bahwa semuanya baik-baik saja, seakan ingin menenangkan suasana.
Tapi ekspresinya belum bisa sepenuhnya menyembunyikan gejolak batin yang berkecamuk.
Ibunda Sebastian mencoba tersenyum, walau tampak ragu.
“Kalian terlihat lelah. Mungkin lebih baik bicara di pagi hari saat emosi sudah reda.”
Tiba-tiba Sebastian kembali bersuara.
“Dia sebenarnya tadi kabur dari pesta, Mom. Di tengah acara. Dan pergi begitu saja. Itulah kenapa aku mencarinya...”
Nada suaranya tegas, memotong harapan akan malam yang tenang.
Keheningan pun turun menyelimuti ruangan.
Hanya suara lembut televisi dari dinding sebelah yang perlahan dinaikkan volumenya oleh Lionel Phillips, AyahSebastian, sebuah upaya kecil untuk mengusir ketegangan.
Kareesa menggigit bibir bawahnya.
Matanya menatap ke pandangan yang ada di bawahnya.
Lampu-lampu kota Paris berkedip lembut, tak menyadari badai kecil yang baru saja pecah di dalam salah satu apartemen bergaya Haussmann ini.
“Maksudmu apa, Sebastian? Mommy tidak paham... Bukankah saat kamu pergi tadi kamu ingin menyusul Kareesa yang sudah menunggumu di luar?”
Suara Nyonya Phillips terdengar halus namun penuh ketegasan.
Dahi halusnya berkerut,
menandakan rasa tak suka yang ditahan.
Di sisi lain ruang tamu apartemen elegan bergaya Haussmann itu, Tuan Phillips muncul dan masih tampak tenang.
Dia duduk di kursi berlapis beludru hijau zamrud, ia membolak-balik koran LeMonde tanpa mengangkat wajahnya.
Kacamata tipis bertengger di batang hidungnya, menambah kesan aristokrat yang sulit digoyahkan.
“Aku hanya jalan-jalan, Mom, bukan meninggalkan acara, tapi aku tersesat dan keluar gedung.” ujar Kareesa dengan nada tenang tapi jenuh.
“Aku nggak pergi jauh, hanya ke taman dekat sini. Jujur saja, aku butuh udara segar. Suasana pesta tadi terlalu menyesakkan buatku.”
Kareesa berdiri di samping Sebastian.
Tangannya perlahan menggenggam lengan pria itu. Sebuah genggaman ringan, tapi terasa seperti beban seribu kata yang tak bisa diucapkan.
Sebastian menoleh sekilas.
Ia tidak menarik tangannya.
Ia juga tidak berkata apa-apa.
Sebastian menghela napas berat.
Dia melangkah lebih dekat, mencoba menangkap tatapan Kareesa yang kini justru menghindarinya.
“Tapi kenapa kau nggak bilang apa-apa? Aku panik, Kareesa. Aku mencarimu ke mana-mana...” katanya, suaranya terdengar lebih lirih daripada marah.
Balkon itu sunyi.
Hanya ada suara angin malam Paris yang menyusup di antara sela-sela gedung tua, memeluk mereka dalam udara dingin yang mengajak merenung.
Lampu jalan menyala temaram di bawah sana, dan langit sudah semakin gelap, menyisakan bayang-bayang kelabu di Cakrawala.
“Sudahlah.., kalian semua masuk ke dalam, di luar dingin...” suara Tuan Phillips terdengar, akhirnya ia mengangkat kepalanya dari bacaan.
Tatapannya tajam dan tenang, seperti seseorang yang terbiasa mengendalikan ruangan dengan kehadirannya.
Dari tempat mereka berdiri, mereka bisa melihat ruang tamu melalui jendela besar dengan pintu yang terbuka.
Di sana terlihat ibu Sebastian, Madame Elisabeth, telah duduk di kursi panjang bersama suaminya.
Wajahnya data, tapi matanya...tidak.
Kareesa mengatur napas, lalu menatap ayah Sebastian dengan sopan.
“Baik Papa... Sebentar lagi kami masuk.”
Tuan Phillips menatapnya beberapa detik, seolah sedang menakar kebenaran dari kalimat itu.
Tak ada komentar darinya, hanya satu anggukan pelan.
Seolah mengerti isyarat batin yang sedang dipertunjukkan di balkon, Elisabeth juga tidak bertanya lebih jauh.
Ia hanya meraih tangan suaminya, lalu bersandar perlahan di bahunya.
Suaminya, pria elegan dengan rambut abu-abu yang disisir rapi, hanya menatap ke depan sambil membiarkan istrinya menyandarkan beban diam-diamnya
Kareesa menatap ke arah itu.
Matanya sedikit bergetar.
Dia sadar, cinta yang terlihat tenang di usia dewasa, pasti pernah melalui badai panjang.
Dan kini dia berdiri di ambang badai yang sama, dengan seseorang yang hatinya masih terluka, masih bertanya, dan belum sepenuhnya percaya.
“Kau tahu,” bisik Kareesa perlahan, suaranya nyaris tenggelam dalam angin malam, “Aku tidak pernah ingin menyakitimu.”
Sebastian tak menjawab.
Tapi genggamannya membalas sedikit lebih erat.
“Mungkin aku pengecut,” lanjutnya lagi. “Tapi malam ini… aku ingin jujur. Meski semua sudah terlalu rumit.”
Sebastian menarik napas panjang, lalu meletakkan tangannya di atas tangan Kareesa yang masih menggenggam lengannya.
“Tak ada yang terlalu rumit, kalau kau tidak berbohong lagi,” jawabnya, lirih, tapi tegas.
Kareesa menunduk.
Ia tahu, malam ini mungkin akan menjadi malam penentuan.
Antara memulihkan yang patah, atau membiarkan semuanya benar-benar lepas.
Di dalam rumah, cahaya hangat dari ruang tamu menari samar di dinding, seperti kenangan masa kecil yang dulu penuh tawa.
Dan di luar, di bawah langit Paris yang kelabu, dua jiwa masih berdiri… mencari arah yang sama.
Namun Sebastian tak bisa menahan diri. Suaranya terdengar lagi, lebih lembut kali ini.
“aku tidak ingin kehilanganmu....”
Sret.
Kalimat itu menggantung.
Sebastian menunduk sebentar, kemudian membuang napas panjang.
Ia paham maksud Kareesa, ada hal-hal yang belum siap dibicarakan di hadapan orangtuanya.
Tuan Phillips menurunkan korannya ke pangkuan.
Sekilas, ia menatap mereka berdua, namun kembali bungkam.
Tak ada intervensi, tak ada komentar.
Keheningan turun perlahan, seperti kabut di luar jendela apartemen yang menghadap langsung ke RueSoufflot.
Di dalam ruang tamu yang mewah namun terasa dingin itu, setiap napas terdengar berat.