Setelah kedua orang tua Sebastian memasuki kamar mereka, suasana di ruang duduk apartemen mewah itu berubah hening. Lampu gantung kristal di atas kepala memancarkan cahaya hangat keemasan, menyoroti siluet Kareesa yang masih terduduk di sofa berbahan beludru hijau tua.
Tiba-tiba, tanpa peringatan apa pun, Sebastian melangkah pelan ke arahnya, dan menjatuhkan tubuhnya tepat di pangkuannya.
Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Kareesa terkejut.
Lelaki yang tadi bersikap tegas dan penuh emosi kini tampak sangat berbeda.
Sebastian memejamkan mata sesaat, menyandarkan kepalanya pada paha Kareesa seolah ingin bersembunyi dari dunia.
“Kamu mencintaiku, kan, Kareesa?” bisiknya lembut, nyaris tak terdengar. “Maukah kamu menikah denganku... secepatnya?”
Sebelum Kareesa sempat menjawab atau bahkan bereaksi, Sebastian mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jas dinginnya.
Ia membukanya perlahan.
Di dalamnya, terletak sebuah cincin emas putih berhias berlian mungil, berkilau memantulkan cahaya lampu di atas mereka.
"Aku tahu, kamu semalam pergi karena tidak mau pakai cincin ini kan?" Kata sebastian seolah menjelaskan maksudnya.
Kareesa terpaku.
Matanya membelalak,
dan hatinya mulai berdebar tak menentu.
Dia menatap Sebastian, lelaki tampan berdarah campuran Inggris yang telah menjadi bagian dari hidupnya sejak lama.
Dia tampak begitu tulus, begitu rapuh… dan begitu mencintainya.
Sebastian menggenggam jemari Kareesa yang dingin karena ragu.
Dan meletakan cincin itu di jari manisnya.
“Kareesa…” bisiknya lagi.
“Sebastian, sudahlah… aku… aku tak bisa…”
Kareesa mencoba berkata jujur, namun suara itu nyaris tercekat di tenggorokannya.
Sebastian langsung mengangkat wajahnya dari pangkuan, menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca.
“Tak bisa apa, sayang? Hmm?” ujarnya pelan namun penuh tekanan. “Kamu selalu menggantung kalimatmu. Tapi aku tahu, aku yakin... jawabanmu pasti akan mencintaiku.”
Ia tersenyum tipis.
Kareesa hanya menunduk, membiarkan udara menjadi saksi ketidakyakinannya. Hatinya kacau, pikirannya penuh pertanyaan.
Dengan cepat, ia berdiri, membuat Sebastian terpaksa ikut bangkit dari posisi duduknya.
“Sebastian, ayo tidur… aku mengantuk. Kamu pasti juga lelah, setelah mencariku seharian.”
Suaranya terdengar lembut, namun jelas menghindar.
Ia tersenyum manis, berusaha menyembunyikan gejolak di dadanya.
Sebastian menatapnya sekali lagi, dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. Ia tahu, Kareesa belum siap.
Tapi cincin itu…
sudah tersemat di jari manisnya.
Dan jantung Kareesa, entah karena rasa bersalah, atau karena sesuatu yang tak berani ia akui, berdetak makin cepat, seolah tahu bahwa malam ini… sesuatu telah berubah.
Sejujurnya, Kareesa belum bisa mencintai pria berdarah Inggris yang kini duduk di hadapannya itu.
Sebastian memang sempurna di mata banyak orang, tampan, mapan, dan memiliki nama besar yang dihormati di Inggris.
Namun, hatinya… belum mampu menyerahkan diri sepenuhnya pada cinta yang begitu besar dari Sebastian.
Ia belum siap.
Cintanya belum sampai sejauh itu.
Namun, ia tahu betapa seriusnya Sebastian.
Bahkan pria itu rela membawanya ke kota penuh seni dan romansa ini, Paris, hanya untuk menunjukkan kesungguhannya.
Sebastian adalah sosok yang ambisius dan percaya diri.
Tapi malam ini… ada keraguan yang tersembunyi di balik matanya.
Sebastian mencoba mengalihkan pikirannya dari bayangan kejadian tadi malam, saat ia menemukan Kareesa duduk tidak sendirian di taman kota, tanpa sepengetahuannya.
Ada ketakutan dalam dirinya,
yang tak bisa ia jelaskan.
Ia berharap… tak ada lagi kejadian seperti itu yang terulang. Ia tak ingin cintanya pada Kareesa digoyahkan oleh ketidakpastian.
Sebastian menatapnya dalam diam. Tatapannya lembut, namun menekan.
Kareesa membalas tatapan itu dengan senyum kecil yang ia paksakan. Jarinya masih berada dalam genggaman Sebastian, hangat… namun terasa berat.
Kata-kata Lady Phillips tadi masih terngiang di benaknya:
"Restuku ada pada kalian berdua. Sulit memang untuk mencari cinta. Tetapi jika kalian terus bertengkar soal perbedaan, tak akan ada hasil yang bisa kalian raih.
Aku percaya padamu, Kareesa. Karena Sebastian, putraku adalah yang terbaik."
Genggaman Sebastian menguat.
Kareesa bisa merasakan emosi yang mengalir dari jemari pria itu…
rasa cinta, rasa takut,
dan harapan yang begitu besar.
Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu akhirnya tersenyum pelan. Ia menatap Sebastian, lelaki yang telah menunggu jawaban itu sejak lama.
“Aku juga mencintaimu, Sebastian…”
Kata-katanya keluar dengan lembut…,
dan mantap.
Namun jauh di lubuk hatinya, ada rasa bersalah yang tak bisa ia abaikan.
Ada kegelisahan… ada kebohongan kecil yang ia sembunyikan dalam senyum itu.
Ia terus membohongi perasaannya.
Bukan karena ingin menyakiti Sebastian, tetapi karena belum siap menerima kenyataan bahwa mungkin… cintanya belum datang pada lelaki yang begitu mencintainya.
Entah, cinta macam apa yang Kareesa rasakan saat ini terhadap Sebastian, rasanya belum tepat, belum utuh, jika dikatakan bahwa ia mencintainya sebagai seorang kekasih.
Namun,
pilihan sudah terlalu jauh melampaui perasaannya. Ia tahu, Sebastian tidak menyadari keraguan itu.
Ia sudah menerima lamaran pria itu.
Ia sudah menerima cintanya.
Sebelum ia benar-benar paham apa itu cinta… dan apa itu sekadar kekaguman.
Namun, kenyataannya:
Mereka adalah sepasang kekasih yang telah bertunangan.
Cincin berlian yang kini melingkar di jari manisnya menjadi simbol janji yang baru saja diikrarkan malam ini.
Kareesa menatap cincin itu dalam diam. Cantik… dan berharga.
Namun hatinya tetap gamang, masih terbayang peristiwa manis di taman sore tadi, dan itu bukan dengan Sebastian.
‘Siapa dia pun aku tak tahu… semua karena kebodohanku dan kesalahan hatiku…’
Batinnya menggema sendiri.
Lalu suara Sebastian memecah lamunannya.
“Benarkah, sayang?”
Tanyanya pelan, seolah masih ingin memastikan bahwa semua ini nyata.
Bahwa Kareesa benar-benar telah memilihnya.
Bahwa ini bukan mimpi.
Kareesa menatap pria itu.
Ia menganggukkan kepala dua kali, perlahan.
Ia hanya bisa berharap, bahwa ia telah memilih keputusan yang benar.
Ia mencoba mengubur dalam-dalam bayangan lelaki asing yang meninggalkan rindu di benaknya.
“Ya, Sebastian… sebaiknya kita tidak tidur larut malam, bukan?”
ucap Kareesa, mengulang pesan LadyPhillips tadi, mencoba menutup percakapan yang mulai mengarah pada beban emosional.
Sebastian tersenyum, mengangguk mantap.
“Baik, sayang. Sepulang kita ke Indonesia, aku akan mempersiapkan pernikahan kita secepat mungkin.”
ujarnya tegas, dengan pandangan yang tak lepas dari wajah Kareesa.
Kemudian, Sebastian bangkit perlahan dari pangkuannya, kembali berdiri tegap, namun membawa harapan penuh di matanya.
Kareesa hanya bisa menatapnya pergi ke ruangannya… dengan senyum samar yang menyimpan terlalu banyak rasa.
Walaupun kami tinggal di bawah atap yang sama, dia selalu menjaga jarak yang sopan denganku.
Dia menunjukkan rasa hormat yang tak pernah luntur.
Dia tidak pernah melecehkan atau mengabaikan aku.
***
Masih lewat malam di paris
Malam Paris yang hening menyelimuti Kareesa, tapi isi kepalanya justru riuh.
Saat tubuhnya sudah nyaman dalam balutan nightgown sutra berwarna ivory, pikirannya malah melayang.
Wajah pria asing di taman tadi seolah menari di balik kelopak matanya yang terpejam.
“Why did he kiss me? Why did I let him?” pikir Kareesa, kesal sekaligus bingung.
Napasnya terhembus panjang, mengirim rasa panas ke pipinya yang memerah sendiri.
“It was just a kiss, Kareesa. Forget it.” katanya pelan, bicara pada dirinya sendiri.
Namun, itu bukan sekadar ciuman baginya.
Ada sesuatu yang bergetar di dada.
Perasaan asing.
Sesuatu yang tak pernah dia rasakan meski telah bertahun-tahun bersama Sebastian.
Dia mendadak bangkit.
Jendela kamar yang menghadap jalan Ruedel’Abbédel’Épée dibuka perlahan.
Udara malam Paris menyapa wajahnya.
Lampu-lampu kota berpendar, memantul di jendela toko-toko yang sudah tutup.
Tapi yang dipikirkan Kareesa bukan keindahan Paris, melainkan tatapan pria asing itu.
Dingin, namun dalam.
“Stupid me... I didn’t even ask for his name,” gumamnya dengan senyum getir.
Setelah berdiri cukup lama, dia akhirnya kembali ke tempat tidur.
Kali ini, dia tidak mencoba menghapus bayangan itu dari pikirannya.
Dia justru membiarkannya hadir… mengisi ruang kosong yang Sebastian tak pernah mampu sentuh selama ini.