Pagi itu cerah di Paris.
Cahaya matahari merayap perlahan melalui celah tirai beludru krem yang menggantung anggun di kamar suite lantai atas Hôtel de Crillon.
Bangunan bersejarah bergaya neoklasik itu menyambut pagi dengan keheningan mewah, hanya suara samar burung merpati dan detik jam antik yang terdengar.
Aku membuka mata perlahan.
Mataku menatap langit-langit berornamen emas, dan seperti kebiasaan yang tak pernah kulanggar, tangan kananku langsung meraih ponsel di atas nakas marmer.
Tidak ada pesan.
Hanya deretan notifikasi biasa.
Jadwal hari ini… hanya satu agenda: pertemuan penting para musisi di gedung dekat Rue Soufflot.
Tak ada yang istimewa.
Tak ada juga pesan dari Valerie, wanita yang sempat mengganggu malamku kemarin.
Benar, dia pasti menyerah setelah kutinggalkan ke taman semalam.
Sama seperti yang lain, yang terlalu yakin bisa menembus dinding yang kubangun rapat.
Aku menghela napas pendek.
Lalu bangkit.
Langkahku menuju jendela,
membuka tirai sepenuhnya.
Paris menyambutku dengan megah seperti biasa.
Atap-atap abu-abu, dentingan roda sepeda di kejauhan, aroma croissant dari boulangerie bawah yang samar tercium hingga atas.
Kriingg…
Telepon hotel berdering.
Aku melangkah kembali ke meja dan mengangkat gagang telepon berlapis kuningan itu.
“Bonjour monsieur, le petit déjeuner est servi dans une heure. Souhaitez-vous descendre au restaurant ou devrions-nous vous l'apporter dans votre chambre?”
(Selamat pagi, Tuan. Waktu sarapan tinggal satu jam lagi. Apakah Anda ingin turun ke restoran atau kami antarkan ke kamar?)
Suaranya ramah, khas receptionisPrancis yang selalu terdengar profesional tapi hangat.
Aku menjawab tenang, dengan bahasa Prancis yang cukup fasih.
“Je descendrai dans trente minutes. Merci.”
(Saya akan turun dalam tiga puluh menit. Terima kasih.)
“Très bien, merci monsieur.”
(Baik, terima kasih Tuan.)
Klik.
Aku pun melangkah ke kamar mandi, membiarkan air hangat membasuh wajahku yang lelah.
Di balik kaca berembun, wajahku menatap balik dengan sorot yang sulit dijelaskan, campuran antara keyakinan dan kekosongan.
Setelah selesai mandi, aku mengenakan pakaian santai: kemeja linen abu muda dan celana panjang hitam.
Kemudian,
kuambil case biola dan tas kulitku.
Agenda hari ini bukan sekadar pertemuan, tapi hari latihan terakhir sebelum konser besar.
Aku berjalan menyusuri lorong menuju lift. Lantai marmer memantulkan bayanganku yang tinggi dan tenang.
Dering.
Ponselkubergetar.
Sebuah panggilan masuk dari nomor Italia. Temankusejakkecil.
Kuangkat sambil menekan tombol lift.
“Verez, sei sveglio?”
(Verez, kamu sudah bangun?)
“Sì, sto per fare colazione. Dopo vado direttamente al luogo delle prove.”
(Ya, ini aku mau sarapan. Habis itu langsung ke lokasi latihan.)
“Perfetto. Ti vedo lì.”
(Bagus. Sampai ketemu di sana.)
Aku menutup telepon dengan senyum singkat.
Lift terbuka,
membawaku turun ke lantai restoran.
Aroma kopi Arabica dan mentega panggang langsung menyambutku saat pintu terbuka.
Langit-langit tinggi, lampu kristal yang menggantung megah, dan para tamu berpakaian rapi tengah menikmati pagi mereka.
Aku duduk di meja favorit dekat jendela.
Pelayan menghampiri, membawakan croissant hangat, pot kecil selai aprikot, telur orak-arik, dan kopi hitam pekat.
Sarapan pagi ini mungkin tenang.
Tapi pikiranku tidak.
Ada satu bayangan yang sejak kemarin tak bisa kuhentikan.
Wajah itu.
Tatapan mata yang menoleh cepat dari trotoar luar restoran.
Gaun yang anggun, rambut tergerai... dan rasa asing yang menyesakkan.
Dia melihatku.
Dan aku melihatnya pergi.
Ternyata itu hanya khayalanku.
Aku menyentuh gelas kopiku, namun panasnya tak bisa menenangkan getar di dadaku.
Selesai sarapan, aku bangkit.
Langkahku mantap, tapi hatiku, belum sepenuhnya tenang.
Hari ini, entah kenapa, aku ingin segera sampai ke Rue Soufflot.
Karena entah kenapa, ada bagian dari diriku yang merasa…
...dia akan ada di sana.
"... "
***
Setibanya di gedung itu, sebuah bangunan klasik berarsitektur Haussmann yang berdiri gagah di dekat RueSoufflot, udara Paris terasa lebih hangat dari biasanya.
Langkah-langkahku menggema ringan di lantai batu, dan begitu pintu utama terbuka, aku langsung disambut aroma khas kayu tua dan lembaran partitur yang baru dicetak.
Di dalamnya, ruang latihan besar dengan langit-langit tinggi dan jendela besar menghadap jalan, sudah dipenuhi para musisi dari berbagai penjuru dunia.
Beberapa wajah sudah kukenal lama. Beberapa baru kulihat hari ini.
Tapi semua menyambutku hangat, seolah kami semua memiliki bahasa yang sama: nada.
“Verez!”
seru seorang pria berkemeja gelap, rekanku dari Italia.
Aku tersenyum, menghampiri dan saling menepuk punggung, sebuah kebiasaan kami.
Obrolan pun mengalir dengan hangat.
Beberapa bercakap dalam bahasa Italia, sebagian menggunakan bahasa Prancis, dan yang lainnya menggunakan bahasa Inggris formal yang kaku namun tetap bersahabat.
Seorang penerjemah berdiri di tengah, memastikan tidak ada pesan yang salah diterima, terlebih untuk kru kami yang berasal dari Asia Selatan dan Amerika Latin, yang tidak memahami bahasa Prancis maupun Italia.
Atmosfernya begitu internasional, begitu berwarna. Tapi di tengah keramaian itu, aku tetap merasa seperti pusat dari orbit tak kasatmata.
Latihanpundimulai.
Kami duduk melingkar sesuai posisi.
Dirigen berdiri di tengah ruangan, mengangkat baton-nya dengan elegan.
Dentingan awal dari grand piano terdengar, dan saat tiba giliranku,
aku mengangkat biolaku.
Begitu busur menyentuh senar,
semua suara seolah diam.
Nada pertama keluar dari ujung jariku, memecah keheningan dengan presisi.
Suaranya jernih, berlapis-lapis emosi yang tak terlihat, seperti bisikan rahasia dari masa lalu.
Aku memainkan bagianku, komposisi rumit dengan tempo cepat dan peralihan nada yang tidak biasa.
Namun, aku memainkannya seperti tarian, dengan mata yang tak perlu lagi melihat notasi.
Latihan pertama Selesai.
Ruangan diam sejenak…
lalu gemuruh tepuk tangan terdengar.
“Incroyable…” gumam salah satu kru wanita dari Prancis sambil bertepuk tangan.
“Perfecto, comesempre,” ujar rekanku dari Napoli.
Aku hanya mengangguk singkat.
Bukan karena angkuh, tapi karena bagiku, pujian bukanlah tujuan.
Namun tetap saja, rasanya hangat…
…meski tak bisa mengusir dingin dari dalam hati.
Setelah beberapa jam yang intens,
kami diberi waktu istirahat.
Aku berjalan keluar menuju coffee shop kecil di sebelah gedung, tempat kami biasa melepas lelah.
Sebuah tempat mungil dengan dinding bata merah, kursi rotan dan lampu gantung kecil yang menggantung rendah.
Aku duduk di pojok ruangan, memesan noisette, kopi kecil khas Prancis, sambil membuka kembali partitur.
Rekan-rekanku berdiskusi santai.
Tawa sesekali terdengar.
Ada yang memainkan gitar akustik secara iseng di sudut ruangan.
Aku ikut berbincang.
Bahasa Italia, bahasa Prancis,
sesekali Inggris.
Campur aduk, namun mengalir seperti simfonimultibahasa.
Tapi… di antara canda dan diskusi,
aku merasakan sesuatu...
Tatapan...
Seperti ada yang memperhatikanku dari kejauhan.
Aku menoleh cepat ke arah jendela.
Cahaya sore menembus tirai tipis.
Mataku menyisir trotoar luar.
Kosong.
Hanya lalu-lalang biasa. Wanita tua dengan anjing kecil. Seorang pria berseragam pos. Pasangan muda tertawa sambil berbagi baguette.
Tapi tidak ada…
Tidak ada dia.
Atau memang tidak pernah ada?
Aku kembali menatap cangkir kopiku.
Tapi dalam hening itu, hatiku tiba-tiba dipenuhi satu nama… yang kudengar namanya Kareesa.
Wajah itu…
Tatapan itu…
Ciuman itu.
Dia masih membekas.
Dan saat sore berganti senja, aku tahu, pertemuan kami kemarin bukan kebetulan.
Dan detik itu juga, aku bersumpah…
Jika takdir menuliskan pertemuan berikutnya, aku tidak akan melepaskannya lagi.