Restoran Le Comptoir du Relais di Saint-Germain malam itu penuh dengan tawa ringan dan dentingan gelas anggur yang bersulang.
Lampu-lampu gantung bergaya vintage menyinari meja panjang yang dikelilingi oleh para musisi dan penikmat seni.
Aku, Verez duduk di sisi kanan, mengenakan kemeja hitam bergaris halus dan jas abu-abu gelap.
Aku sedang berkumpul dengan rekan satu profesiku, satu kampung dan satu kelahiran.
Aku hanya tersenyum tenang, tapi mataku menyimpan percikan fokus, seperti biasanya, menjelang hari besar.
“Besok malam konser keduamu, Vé,” ujar Tristanio, teman kecilku, satu kampung denganku, rekan pemain cello yang duduk di seberangku, dia berkata sambil menuangkan wine ke gelasku.
“Siap bikin satu Paris terdiam lagi?”
Mendengar perkataan Tristanio, aku hanya tersenyum, tidak menjawab.
Aku lalu menatap keluar jendela kaca besar restoran yang menampilkan lalu lalang orang-orang di trotoarParis yang mulai memucat oleh lampu jalan.
Di luar, sepasang muda-mudi berjalan beriringan, sang pria terlihat menyodorkan jaketnya pada perempuan yang tampak kedinginan.
Seharusnya itu hanya pemandangan biasa.
Namun detik berikutnya, Tatapanku membeku.
Langkah si perempuan melambat, tubuhnya berbalut coat krem dan syal tipis.
Rambutnya keriting bergelombang, tergerai rapi.
Wajah itu... tidak mungkin salah.
Itu dia.
Gadis taman itu.
Gadis yang dulu memandangku dengan mata penuh pertanyaan... yang tidak sengaja kucium dalam percikan emosi yang tak bisa aku jelaskan sampai sekarang.
Tanganku yang menggenggam garpu perlahan melemah. Detak jantungku berdegup tak teratur.
Aku bahkan tidak sadar bahwa Tristanio dan yang lainnya masih melanjutkan percakapan sampai suara mereka seperti meredup di telinga.
Gadis bernama Kareesa itu sedang berjalan di luar... bersama seorang pria.
Tinggi, gagah, elegan.
Ah, tentu. Itu pria yang datang di taman dulu. Apakah pria itu Tunangan dia?
Seketika, kepala Verez dipenuhi satu rasa: kacau.
“Vé? Kau baik-baik saja?” tanya Elise, pemain harpa yang duduk di sebelahku. “Kau kelihatan... jauh.”
“Aku… tidak apa-apa,” jawabku dengan cepat.
Terlalu cepat.
Aku lalu meletakkan garpuku, meneguk anggur.
Tapi tak ada rasa. “Aku hanya… memikirkan partitur terakhir untuk encore besok malam.”
“Klasik. Selalu perfeksionis.” Tristanio tertawa.
Tapi tidak denganku.
Apa yang dia lakukan di sini?
Dengan pria itu?
Kenapa sekarang?
Malam itu, Aku tidak lagi mendengar obrolan. Aku tidak lagi merasakan rasa dari daging panggang yang baru saja disajikan.
Yang aku rasakan hanyalah getaran aneh dalam dadaku, campuran antara gejolak yang dulu tak terselesaikan dan tanda tanya yang baru saja tumbuh:
Siapa dia sebenarnya?
Dan... kenapa tatapannya masih terus menghantuiku, bahkan tanpa dia menatapku?
Aku berusaha menenangkan pikiranku. Tatapan mataku yang semula lekat pada sosok Gadis di taman itu, kini kembali ke piring yang mulai mendingin.
Aku hendak melanjutkan makan malamku, namun ketenanganku tak bertahan lama.
Seorang wanita melenggang santai ke arah meja kami.
Gaun hitam selututnya membentuk lekuk tubuh jenjangnya, dan di tangannya tergantung biola dengan case kulit elegan.
“Bonsoir, Messieurs…” sapa wanita itu manja, dengan suara serak yang seperti sengaja dipelankan untuk menggoda.
“Rebecca.” Aku mengenalnya dan menyebut namanya pelan, setengah kesal.
Tapi bukan karena kehadirannya, melainkan waktu kedatangannya.
"Puis-je m'asseoir un instant, s'il vous plaît?"
(Boleh aku duduk sebentar?)
tanya Rebecca tanpa menunggu jawaban langsung menjatuhkan dirinya di sampingku.
Tangannya segera melingkari lengan kiriku, dengan gerakan santai, seakan sudah biasa.
“Kau belum menjawab pesanku semalam,” bisiknya di dekat telingaku, sambil menyenggol pipiku dengan rambut panjangnya yang lurus dan harum parfum mahal.
Aku hanya menghela napas.
Tak ada energi untuk beradu batas dengan wanita yang dikenal genit tapi brilian dalam bermain biola itu.
Sayangnya… kejadian ini tidak luput dari penglihatan Kareesa.
Dari dalam ke trotoar luar, aku melirik tepat saat Pria itu mengajak Kareesa menyeberang ke arah toko buku kecil, matanya tanpa sengaja menoleh ke arah restoran.
Dan tepat di momen itu, mata kami saling bertemu pandang satu sama lain.
Dia melihatku...
Seketika waktu seperti melambat.
Wajah Kareesa yang tadinya lembut berubah. Ia melihat tangan perempuan lain dengan santainya memeluk lengan kiriku, bahkan mencolek pipiku sambil tertawa genit.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena kami sudah terbiasa akrab seperti ini.
Dia terus melihatku, Aku hanya duduk diam.
Dari matanya aku mampu membaca, seolah dia mengatakan:
'Serius? Gitu aja digoda? Dan diem?'
Entah kenapa aku merasa dapat membaca batin Gadis itu melalui matanya.
Terlihat jelas dari ekspresinya,
Ada sesuatu dalam dirinya yang mencubit lubuk hatiku.
Bukan marah bukan cemburu.
Hanya… kecewa.
Aku mengingat kembali momen di taman, ketika ciuman yang tiba-tiba terasa begitu bermakna.
Pasti saat ini dia berfikir bahwa aku adalah lekaki tidak punya hati, mungkin memang hanya menganggapnya mainan…
Aku sadar diriku terlalu lama diam, aku melihat gadis itu buru-buru mengalihkan pandangan.
Tapi langkahnya melambat, dan senyumnya pada pria di sebelahnya tampak mengendur.
Dari kejauhan aku bisa membaca sepertinya mereka sedang berdebat.
***
“Eh… kamu kenapa?” tanya Sebastian yang tajam memperhatikan ekspresinya. “Capek ya?”
Kareesa menggeleng pelan. “Nggak. Aku cuma… inget sesuatu aja.”
Tapi jelas ada yang mengganjal.
Sebastian, tanpa tahu apa yang barusan terjadi, hanya tersenyum lembut. “Kalau kamu kurang mood jalan-jalan dan dinner malam ini, kita bisa balik aja kok. Gak apa-apa.”
Kareesa menatap wajah tunangannya itu. Lelaki yang selalu sopan, setia, penuh perhatian.
Dia mengangguk.
“Boleh. Kita istirahat aja, ya, gak apa-apa kan?”
"Oke... " Sebastian pun memeluk Kareesa dengan erat dan meninggalkan restaurant yang hendak mereka datangi sebelumnya.
***
Sementara itu, di dalam restoran…
Aku menyadari bahwa mata itu, mata yang sama di taman, baru saja menatapku.
Dan pergi.
Wajahnya menegang.
Dia lihat…
Dan Aku tahu.
Sesuatu telah berubah.
Setelah bayangan gadis itu pergi, Rebecca menyadarkan lamunanku.
"Are you okay?" Tanya Rebecca dengan lembut.
Rebecca bukan kekasihku, tapi kami pernah dekat. Dia adalah orang yang membantuku membantu karirku.
Tapi tidak pernah menjadi sepasang kekasih. Kami semua adalah sahabat sahabat satu musisi.
Aku menghabiskan malamku dengan teman-teman dan sahabatku, karena besok adalah hari puncak kami akan tampil di SalleGaveau.
Aku mencoba untuk tidak peduli dengan pandangan gadis yang sudah menjadi milik orang lain itu.
Dan fokus berdiskusi tentang penampilan kami besok