Siang di Paris menyinari jendela besar apartemen tua bergaya bangsawan itu.
Tirai tipis melambai pelan diterpa angin, sementara sinar mentari membias di permukaan meja rias yang penuh dengan botol kecil parfum, kuas rias, dan perhiasan antik milik keluarga Sebastian.
Kareesa duduk di hadapannya, membingkai wajahnya dengan jemari yang halus, mencoba menata dirinya sebaik mungkin.
Waktu menunjukkan pukul dua siang saat suara ketukan halus terdengar di pintu.
“Boleh aku masuk?” suara Sebastian terdengar tenang dari balik pintu.
Kareesa menoleh perlahan, matanya masih menghiasi kelopak mata dengan eyeshadow warna nude lembut.
Senyum kecil menghiasi wajahnya yang tertangkap di pantulan cermin berbingkai emas.
“Ya, silakan Sebastian," jawab Kareesa lembut.
Pintu terbuka,
dan Sebastian masuk perlahan.
Penampilannya rapi seperti biasa, kemeja linen putih dilapisi jas ringan abu-abu pastel, rambut disisir rapi, namun sorot matanya hangat, seolah seluruh Paris adalah latar belakang untuk Kareesa seorang.
“Apa kamu sudah siap?” tanyanya sambil melangkah mendekat.
“Bukankah acaranya jam lima sore?” Kareesa menjawab sambil meliriknya melalui cermin.
“Ya… Tapi kita makan siang dulu. Aku pikir kita harus berangkat lebih awal. Paris akhir pekan selalu padat, dan… yah, Mama dan Papa juga menyarankan begitu. Mungkin mereka akan langsung menyusul dari tempat lain,” katanya sambil berdiri di belakang Kareesa, menyentuh rambut panjangnya dengan lembut.
Jemarinya menyentuh pundaknya, seolah ingin merapikan helai rambut yang sebenarnya sudah sempurna.
“Aku belum pernah ke acara musik seperti ini sebelumnya,” ujar Kareesa sambil menyisir alisnya dengan perlahan.
“Apalagi konser orkestra…”
Sebastian tersenyum,
menatapnya melalui cermin.
“Untuk itu kamu harus tahu, supaya kamu tidak penasaran,” katanya lembut, lalu menambahkan dalam hati,
"Kamu cantik sekali, Kareesa…"
Hening sejenak.
Wajah mereka terpantul bersama dalam cermin, dan sesaat dunia di luar kamar itu seolah berhenti berputar.
Lalu Sebastian berkata:
“Aku tunggu di luar, ya? Kamu mau makan di sini atau di luar?”
“Terserah kamu,” jawab Kareesa, masih setia merapikan sentuhan akhir pada makeup-nya.
“Oke, kita makan di luar. Di dekat Salle Gaveau ada restoran yang aku suka. Tenang saja, tidak terlalu formal. Aku ingin kamu nyaman,” katanya sambil bergerak menuju pintu. “Jangan terlalu lama ya…”
“Hmm…” gumam Kareesa dengan senyum tipis, menahan perasaan hangat yang ia sendiri tak mengerti.
Saat pintu menutup lembut di belakang Sebastian, Kareesa berdiri.
Ia berjalan ke lemari, membuka pintu geser dan memilih gaun sederhana warna biru gelap, tidak terlalu mencolok namun anggun.
Ia mematut dirinya di depan cermin, mencoba menyelaraskan dirinya dengan dunia baru yang kini ia jejaki bersama Sebastian.
Ia menghela napas.
Sebastian selalu romantis, perhatian, dan lembut. Tidak ada satu pun kekurangan yang bisa ia sebutkan tentang pria itu.
Namun, mengapa… mengapa hanya wajah pria di taman itu yang tak kunjung hilang dari pikirannya?
Wajah asing yang belum ia kenal, tapi seperti mengukir sesuatu di dadanya.
Entah kenapa, dia harus terpaku saat pria itu menciumnya.
Ciuman itu.
Tatapan itu.
Senyuman itu.
Momen tak terduga di antara daun-daun gugur dan musik klasik dari kejauhan.
Ia menggigit bibir bawahnya.
Apa mungkin… dia ada di konser sore nanti?
Kareesa tidak tahu bahwa takdir sedang menulis babak baru dalam hidupnya.
Sebuah simfoni yang akan dimulai saat langit senja berubah jingga, saat musik mulai dimainkan, dan ketika hati yang pernah saling bersentuhan… kembali bertemu dalam denting yang tak pernah direncanakan.
Langkah kaki Sebastian bergema pelan di lantai marmer apartemen mewah itu.
Dinding-dinding tinggi bergaya klasik Prancis dihiasi lukisan tua dan lampu gantung kristal yang memantulkan kilau mentari.
Jasnya rapi, dasinya tertata sempurna, sepatu kulitnya mengilap, ia tampak seperti pewaris bangsawan sejati.
Tapi di balik ketampanan dan penampilan sempurna itu, tersembunyi sesuatu yang tak bisa ia jelaskan… sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Di ruang duduk yang luas, LadyElisabeth, ibu Sebastian, sedang duduk santai membaca majalah sambil menyeruput teh.
Tak jauh dari sana, Mr. LionelPhillips, ayah Sebastian, membaca surat kabar pagi dengan kaca mata kecil menggantung di ujung hidungnya.
Di antara mereka,
keheningan yang penuh kelas menyelimuti.
Saat Sebastian melangkah masuk, sang ibu menoleh lembut.
“Kamu sudah mau berangkat?”
Sebastian mengangguk pelan, dan menghampiri mereka.
“Ya, Mama. Tadi aku sudah ke kamar Kareesa. Dia sedang bersiap-siap,” ucapnya sambil mengambil posisi berdiri di dekat jendela.
Lady Elisabeth menatap putranya lama, seolah bisa membaca pikiran yang bersembunyi di balik sorot matanya.
“Are you happy, sayang?” tanyanya pelan, namun tepat sasaran.
Sebastian terkejut.
Pertanyaan itu sederhana, tapi menghantam pusat hatinya.
Ia tak ingin ibunya tahu tentang kegundahan yang diam-diam menggerogoti dirinya. Tentang perasaan yang tak bisa ia pahami.
Tentang Kareesa yang lebih banyak diam, dibandingkan menjelaskan.
“I’m happy, Mom,” jawabnya cepat, dengan senyum tipis yang tidak sepenuhnya meyakinkan.
Mr. Phillips menurunkan korannya sedikit, lalu bersuara tenang tanpa menoleh.
“Cinta itu butuh kesabaran. Jika kamu mencintainya, maka dunia akan berpihak kepada yang tulus.” Ia merapikan posisi kacamata bacanya, lalu kembali pada koran seolah ucapan barusan hanyalah kalimat biasa.
Sebastian menarik napas pelan, lalu duduk di salah satu sofa besar berlapis kain beludru hijau zamrud.
Ia menyandarkan tubuh, mencoba meredakan gejolak yang mengganggunya sejak hari itu, sejak Kareesa memandang lelaki asing itu dengan sorot mata yang berbeda.
“Aku akan selalu mencintainya, Papa. Apa pun keadaannya,” katanya akhirnya, suara rendah tapi jelas, seolah itu adalah janji hidupnya.
LadyElisabeth tersenyum tipis. Ia bangkit dan menghampiri Sebastian, menyentuh wajah putranya dengan lembut seperti ketika ia masih kecil.
“Besok… Mama dan Papa mungkin akan pergi ke Inggris untuk beberapa hari. Kamu tidak apa-apa kan, tinggal berdua di sini?”
Sebastian menoleh. “Kenapa?”
“Kami ada pertemuan penting dengan keluarga dari pihak ayahmu. Lagipula, pesta pertunanganmu sudah selesai, bukan?"
ElisabethPhillips tampak menarik nafasnya, menatap suaminya sesaat, dan kembali menatap anak kesayangannya, kemudian melanjutkan,
"Mama dan Papa akan mulai menyiapkan pernikahan kalian sesegera mungkin.”
Sebastian terdiam.
Pernikahan.
Kata itu mengalir pelan dalam pikirannya, tapi menggema keras.
Pernikahan yang telah ditetapkan dengan Kareesa, wanita yang ia cintai… dan wanita yang mungkin menyembunyikan sesuatu yang tak bisa ia jangkau.
“Kamu jangan melakukan hal nakal sebelum menikah,” ujar Mr. Phillips sambil membalik halaman korannya.
Sebastian tersenyum kecil. “Tidak, Papa. Aku akan menjadi pria yang menjaga seorang wanita. Terutama… wanita yang kucintai.”
Suasana menjadi tenang.
Hanya detak jam antik yang terdengar, berdetak pelan seperti irama waktu yang tak bisa dihentikan.
Namun dari balik lengkungan dinding marmer di ujung ruangan, langkah pelan terdengar.
Kareesa berdiri di sana, anggun dalam balutan gaun biru gelap yang kontras dengan kulitnya yang pucat.
Rambutnya keritingnya yang panjang, digelung setengah, anting-anting kecil menggantung indah di telinganya.
Ia menatap Sebastian dan keluarganya. Matanya menangkap kehangatan keluarga itu yang tampaknya begitu menerima dirinya.
Tapi juga menangkap dialog yang baru saja ia dengar.
Dialog tentang cinta.
Tentang kesetiaan.
Tentang pengakuan tulus seorang pria yang akan menikahinya.
“Aku sudah siap,” ucap Kareesa pelan namun mantap.
Ketiganya menoleh.
LadyElisabeth tersenyum bangga, Mr.Phillips mengangguk singkat, dan Sebastian…
Sebastian menatap Kareesa dengan mata yang rumit. Di matanya ada kekaguman, cinta, namun juga ketakutan.
Ia berdiri, menghampiri Kareesa.
Menatap tunangannya dengan teduh.
“Kamu… luar biasa cantik,” gumamnya.
Kareesa tersenyum lembut.
Namun di balik senyum itu, hatinya bergetar.
Ia tahu bahwa hatinya sedang diuji.
Entah kenapa dia merasa, bahwa konser hari ini… bisa jadi awal dari kisah yang tak pernah mereka rencanakan.
Dan di luar jendela, langit Paris mulai berubah keemasan, seolah tahu… senja akan menyambut sebuah pertemuan takdir yang jauh dari sekadar musik.
Senja dalam simfoni....