Cherreads

Chapter 24 - PANDANGAN TIDAK JELAS

Sebastian menghampiri Kareesa, ia perlahan berdiri dari sofa, lalu berjalan mendekati Kareesa yang kini sudah berdiri anggun tak jauh darinya.

Dengan lembut, ia meraih telapak tangan Kareesa yang hangat, halus, dan terasa begitu nyata.

Tatapan mereka saling bertemu dalam diam, menyimpan percakapan yang tak terucap.

Ada sesuatu yang tenang, namun juga menggema seperti simfoni dalam dada mereka.

LadyElisabeth bangkit dari tempat duduknya, langkahnya ringan namun penuh wibawa. Ia mendekat, lalu mencium kedua pipi Kareesa dengan penuh kasih sayang.

Sentuhan itu bukan sekadar formalitas calon mertua, melainkan seperti seorang ibu yang menyambut putrinya pulang dari perjalanan panjang.

“Berbahagialah… Jika Sebastian membuatmu menangis, katakan padaku. Aku akan menghukumnya,” ucap Lady Elisabeth dengan senyum hangat namun penuh arti.

Kareesa tersenyum kecil, tersentuh.

Matanya sempat berkaca-kaca, namun ia menahannya.

Dalam hatinya, ia merasa hangat.

Seperti akhirnya ia punya tempat untuk berpulang.

Sebastian melirik ke arah ibunya dengan tatapan geli, lalu menimpali dengan nada bersungguh-sungguh,

“Aku pasti akan membahagiakannya, Ma. Tidak mungkin aku menyakiti wanita yang kucintai...”

Kedua perempuan itu tertawa kecil bersama. Tawa yang terdengar ringan, seperti nyanyian sore di balkon Prancis, menenangkan namun penuh makna.

“Ya sudah, kalian sudah mau berangkat?” tanya Lady Elisabeth, melirik jam antik yang berdiri di sudut ruangan.

Sebastian mengangguk sambil meraih jaketnya. “Kami akan makan dulu di dekat Salle Gaveau. Di café kecil yang Kareesa suka itu, sebelum konser.”

Lady Elisabeth tersenyum dan mengangguk pelan. “Ya sudah, pergilah… Sudah hampir jam tiga.”

Dari balik koran yang tak sepenuhnya ia baca, Mr. Phillips akhirnya bersuara.

Nadanya dingin, khas pria tua Inggris yang selalu menahan perasaannya dengan logika dan aturan.

“Hati-hati di jalan.”

Sebastian dan Kareesa mendekat untuk berpamitan. Mereka menyalami Mr. Phillips, yang hanya mengangguk singkat namun penuh wibawa, lalu memeluk Lady Elisabeth satu per satu.

“Aku sudah pesankan tiket konser untuk kalian juga, jika malam nanti kalian ingin menyusul,” kata Sebastian sebelum pergi.

Lady Elisabeth tertawa pelan, lalu menepuk bahu putranya sambil mengangguk pelan.

“Mama mengerti… Nikmati malam kalian. Paris selalu menyimpan kejutan, sayang.”

Sebastian tersenyum kecil, menatap ibunya dengan penuh rasa sayang.

Kareesa menunduk sopan, lalu keduanya melangkah meninggalkan pasangan bangsawan tua itu.

Mereka berjalan beriringan menuruni lift dan tangga spiral yang elegan, lantai marmer berkilau memantulkan langkah mereka.

Di luar, langit Paris sedang berubah jingga keemasan, warna senja yang memeluk kota dengan keanggunan yang sulit dituliskan.

Angin musim semi berhembus pelan, membawa aroma bunga magnolia dari taman kecil di seberang apartemen.

Mobil mewah hitam dengan sopir berseragam sudah menunggu di depan gerbang besi tempa.

Sang sopir segera membukakan pintu, dan Sebastian dengan sigap mempersilakan Kareesa masuk lebih dulu, sebelum ia menyusul dan duduk di sampingnya.

Pintu tertutup lembut.

Deru mesin mobil mulai terdengar pelan, lalu kendaraan itu melaju meninggalkan area elit RueduFaubourgSaint-Honoré, menuju SalleGaveau, salah satu aula konser klasik paling bergengsi di Paris.

Yang jaraknya tidak begitu jauh.

Di dalam mobil, Kareesa menatap keluar jendela, melihat siluet kota yang mulai bersinar ditimpa cahaya senja.

Sebastian menatapnya diam-diam.

Di balik ketenangan wajah Kareesa, ia tahu ada sesuatu yang sedang dipendam.

Tapi malam ini… ia ingin percaya.

Bahwa di antara lampu kota, musik klasik, dan angin Paris yang tak pernah tidur, akan ada jawaban dari hatinya.

Dan mungkin... takdir sedang menulis babak baru bagi pasangan itu.

***

Cahaya mentari sore menyapu hangat jalanan RueduFaubourgSaint-Honoré saat Sebastian dan Kareesa melangkah memasuki sebuah caféelegan tak jauh dari Salle Gaveau.

Aroma kopi hangat dan butter dari croissant memenuhi udara, sementara denting sendok dan suara tawa kecil para pengunjung mengisi suasana.

Meja-meja mulai dipenuhi orang-orang berpakaian rapi;

sebagian orang membawa brosur konser sore ini.

Sebastian memilih tempat duduk di sudut jendela, tempat sinar matahari masuk lembut melalui kaca besar.

Ia menarik kursi untuk Kareesa seperti seorang pria bangsawan sejati.

Kareesa duduk dengan anggun, gaunnya berwarna biru tua yang lembut berpadu dengan coat panjangnya yang elegan.

"Aku pesan makanan ringan saja ya, biar kita tidak telat ke konsernya," kata Sebastian dengan senyum hangat.

"Iya, aku ikut saja," jawab Kareesa ringan, matanya menyapu ruangan yang perlahan semakin ramai.

Sebastian pun memanggil pelayan dan berbicara dengan pelayan, memesan sepiringfoiegras, saladhangat, dan duacangkirtehEarlGrey.

Saat pelayan meninggalkan meja mereka, suasana café mulai riuh oleh suara tawa dan dering telepon.

Di belakang tempat duduk mereka, suara seorang wanita terdengar jelas, meski ia berusaha berbicara pelan, nada emosionalnya tak bisa disembunyikan.

"Sono già qui... Guarderò Verez esibirsi stasera,"

(Aku sudah di sini... Aku akan menyaksikan Verez tampil malam ini.)

katanya,

suaranya tajam namun penuh antisipasi.

Sebastian menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengaduk teh.

Ia menoleh sedikit, cukup untuk menangkap bahasa yang digunakan wanita itu. Italia.

Dan dia memahami sepenuhnya.

"Oh no... In qualunque modo devo tornare tra le braccia di Verez,"

(Oh tidak... Bagaimanapun caranya aku harus kembali ke pelukan Verez)

lanjut perempuan itu, kini suaranya terdengar lirih namun getir, seperti sedang menahan luka.

Kareesa menatap jendela, tak begitu memperhatikan.

Namun Sebastian mencuri dengar,

perlahan mengerutkan keningnya.

"Basta Pablo! Non disturbarmi adesso... È colpa tua se Verez mi ha lasciata!"

(Sudahlah Pablo! Jangan ganggu aku dulu... Karena kamu, Verez memutuskan aku!)

serunya pelan namun tajam.

Jemarinya tampak mengepal di atas meja, sementara suara erangan frustrasi terdengar dari sela rambut panjang yang menutupi wajahnya.

Sebastian bersandar perlahan ke kursinya, meletakkan sendok teh dengan lembut.

Ia melirik Kareesa lalu berbisik pelan dalam bahasa Inggris.

"She's saying... she wants to win Verez back. That someone named Pablo ruined everything and caused Verez to leave her."

(Dia bilang... dia ingin merebut kembali Verez. Seseorang bernama Pablo telah menghancurkan segalanya dan menyebabkan Verez meninggalkannya.)

Kareesa mengerutkan kening.

“You understood that?”

Sebastian tersenyum singkat.

“Just a little Italian. I spent a summer in Lake Como once. She’s clearly obsessed. It’s... rather dramatic, even for Italian standards.”

(Sedikit Italia. Saya pernah menghabiskan musim panas di Danau Como. Dia jelas terobsesi. Itu... agak dramatis, bahkan untuk standar Italia.)

Kareesa hanya mengangkat bahu kecil, kembali menyeruput tehnya.

Sementara itu, Sebastian menatap ke arah wanita itu dengan lebih waspada.

Nama Verez kembali disebut, kali ini dengan nada posesif.

Dan entah kenapa, di dalam hatinya, ada firasat tak enak...

Kareesa dan Sebastian saling menoleh cepat.

Mereka tidak bisa melihat wajah perempuan itu karena posisinya membelakangi mereka, dan rambut hitamnya yang tergerai panjang menutupi sebagian wajah.

Sebastian, yang penasaran dengan nama itu, segera mengambil ponselnya dan mulai mengetik.

"Verez..." gumamnya, matanya menatap layar.

Dalam sekejap, muncul sejumlah artikel dan poster konser malam itu.

Salah satu gambar memperlihatkan sosok pria muda sedang memainkan biola, berdiri di tengah panggung dengan sorotan lampu.

Namun wajahnya tidak terlihat jelas, rambutnya sedikit gondrong, sedikit menunduk, menutupi ekspresi aslinya.

"Lihatlah," bisik Sebastian seraya menunjukkan layarnya kepada Kareesa, "ternyata Verez itu adalah bintangnya. Beruntung sekali kita bisa melihat aksinya."

Kareesa menatap poster itu sesaat.

Nama itu... Verez.

Ia belum pernah mendengarnya.

Matanya berusaha mengenali wajah di layar, namun tak ada satu pun garis wajah yang menyerupai pria misterius yang menciumnya di taman hari itu.

“Tidak mungkin dia,” pikir Kareesa.

Pria itu... tatapannya jauh lebih tajam. Rambutnya pun tidak segondrong yang di layar itu. Ia Lebih hidup.

Dan sentuhannya…

Ia segera mengalihkan pandangan, menyeruput teh yang baru saja disajikan oleh pelayan, mencoba membuang bayangan bibir pria di taman dari pikirannya.

Ia tahu hatinya mulai bermain api.

Dan ia tidak suka itu.

Sebastian, yang tak menyadari kegelisahan Kareesa, tersenyum bahagia melihat makanan datang.

Ia menggeser piring ke arah Kareesa.

"Silakan, ini spesial dari chef-nya katanya. Katanya para musisi besar sering makan di sini sebelum atau sesudah tampil," ujarnya bangga.

"Terima kasih Sebastian," jawab Kareesa pelan, mencoba menenangkan hatinya yang mulai terasa tidak karuan.

Jam sudah menunjukkan pukul 15.30. Jalanan di luar mulai dipenuhi lalu lalang mobil mewah, dan para tamu dengan jas serta gaun malam mulai berdatangan di sekitar Salle Gaveau.

"Setelah makan, kita langsung ke sana ya," kata Sebastian, menatap Kareesa penuh cinta.

Kareesa mengangguk, memaksakan senyum.

Di hatinya, tiba-tiba muncul satu pertanyaan yang belum bisa ia jawab:

"Apa yang akan kulihat malam ini?

Musik... atau kenangan yang tak kuundang?"

Apakah dia akan bosan?

More Chapters