Cherreads

Chapter 22 - Glady Resik

Aku menarik napas.

Duduk di tepi ranjang, membuka kancing kemejaku satu demi satu.

“Just didn’t sleep well last night.”

(Aku hanya tidak tidur nyenyak tadi malam.)

“Because of the concert?”

(Karena konsernya?)

“Or....Because of Valerie.?”

(Atau...Karena Valerie.)

Vario memicingkan mata, lalu duduk di kursi seberangku.

“Yess, She messaged me. Said she’s coming to the concert. Said she bought a ticket.”

(Ya, dia mengirimiku pesan. Katanya dia akan datang ke konser. Katanya dia sudah membeli tiket.)

Vario menghela napas panjang, dan berkata,

“She’s persistent.”

(Dia gigih.)

“No. She’s desperate. There’s a difference.”

(Tidak. Dia putus asa. Ada perbedaannya)

Kataku menyela.

Aku lalu berdiri, berjalan menuju cermin besar di sudut ruangan.

Menatap wajahku sendiri.

Bukan sebagai Verez musisi.

Tapi pria yang, dalam diamnya, belum benar-benar melupakan senyuman asing di taman.

Dan Vario tidak tahu itu.

“You’re thinking about her again, aren’t you?”

(Kamu memikirkannya lagi, bukan?)

tanya Vario pelan.

Aku menatap bayanganku di cermin.

Aku tidak menjawab.

Tapi diamku sudah cukup sebagai jawaban.

Dia berdiri, menghampiriku, dan menepuk pundakku.

“You’re at your peak, Verez. And tonight, the world will listen. Forget what hurts you. Let the music speak.”

(Kamu sedang berada di puncak, Verez. Dan malam ini, dunia akan mendengarkan. Lupakan apa yang menyakitimu. Biarkan musik berbicara.)

Aku hanya mengangguk.

Kami lalu duduk, membicarakan teknis, sound check, tata panggung, bahkan tentang kemungkinan memperluas tur ke Tokyo dan BuenosAires.

Tapi di tengah percakapan itu, pikiranku terus tertuju pada dua wanita:

Valerie, yang mencoba kembali.

Dan

Gadis taman itu, yang tidak sempat menyebutkan namanya langsung, tapi sudah mencuri nadaku.

Setelah berbincang dengan Vario dan memastikan semuanya dalam kendali, aku melangkah turun dari kamar hotel, menggenggam erat biola terbaikku,

"Il Diamante", begitu aku menjulukinya.

Sebuah biola langka berusia lebih dari ratusan tahun, dibuat oleh luthierlegendaris dari Cremona, Italia.

Kayunya berasal dari pohon maple tua yang hanya tumbuh di pegunungan Val di Fiemme, yang konon katanya mengandung resonansi paling murni untuk nada-nada jiwa.

Biola ini lebih dikenal dengan nama Biola Antonio Stradivari 1715 “Il Cremonese” adalah salah satu biola paling legendaris di dunia, dan bukan kaleng-kaleng dari segi bahan, teknik, dan sejarahnya.

Bahan-bahan utama “IlCremonese” adalah:

1. Topplate (bagian depan)→ Terbuat dari spruce (kayu cemara Alpen) yang ringan tapi kuat.→ Kayu ini punya serat halus dan padat yang membantu menghasilkan resonansi suara yang jernih dan kaya.

2. Backplate (bagian belakang), sides (sisi), dan scroll (kepala biola)→ Terbuat dari maple (kayu maple Eropa).→ Dipilih yang punya flame (pola serat bergelombang cantik), bukan cuma biar estetik tapi juga kuat dan tahan lama.

3. Fingerboard→ Terbuat dari ebony (kayu hitam pekat yang sangat keras), jadi tahan terhadap tekanan jari dan gesekan dawai.

4. Varnish (lapisan pelindung)→ Nah, ini bagian yang paling misterius dan legendaris.Stradivari punya resep rahasia buat varnish-nya—diduga campuran resin, minyak biji rami, dan bahan alami lainnya yang sampai sekarang masih jadi perdebatan di kalangan ahli luthier (pembuat biola).

5. Bridge dan tailpiece→ Biasanya dari maple atau ebony juga, tergantung gaya pembuatan ulang atau restorasinya.

Aku menatap Biola itu dengan istimewa.

Kenapa istimewa?

Resonansi suara Il Cremonese dianggap mendekati kesempurnaan akustik:

seimbang, kuat, dan emosional.

Kayu yang dipakai kemungkinan dikeringkan secara alami selama puluhan tahun sebelum dipahat.

Suaranya tetap luar biasa meskipun sudah berumur lebih dari 300tahun!

Aku tahu alat ini bukan sekadar instrumen.

Ia adalah sahabatku. Ia tahu setiap luka di hatiku, setiap nada yang lahir dari rasa kehilangan dan cinta yang belum sempat kumiliki.

Ia tahu nama gadis yang wajahnya tak bisa kuhapus dari benakku. Kareesa.

***

Aku berangkat bersama Vario menuju gedung konser, Salle Gaveau, tempat sejarah musik klasik pernah menorehkan jejak.

Gedung itu berdiri anggun dengan pilar-pilar putih dan lengkungan emas yang menyambutku seperti sebuah panggung takdir.

Perjalanan kami singkat, hanya sepuluh menit, tapi terasa panjang di benakku. Langit Paris membentang cerah seperti lukisan minyak, awan menggumpal seperti kapas yang manis.

Vario duduk di sebelahku sambil mengecek jadwal, sementara aku hanya bisa diam, tenggelam dalam pikiranku sendiri.

"Tetap fokus, jangan buat hal yang mengganggumu, merusakmu," gumam Vario dalam bahasa Inggris.

Aku hanya tersenyum tipis,

menoleh keluar jendela.

Setibanya kami di tempat konser, suasana masih sepi. Hanya kru dan tim teknis yang sibuk dengan urusannya.

Tapi aura dari gedung itu begitu kuat. Ruangan megah itu seolah sudah menunggu denting pertama dari biolaku.

Aku turun dari mobil mengenakan kacamata hitam, seperti buronan yang menyembunyikan luka hati.

Tapi mereka tahu siapa aku.

Rekan-rekan musisi dari berbagai belahan dunia menyambutku dengan hangat, mereka tahu malam ini bukan malam biasa.

Ini adalah konser "Hati Terdalam", konser impian yang hanya kualami dalam tidur-tidur panjangku selama ini.

Saat gladyresik dimulai, aku memainkan satu bagian pembuka.

Lalu tiba-tiba, tanpa sadar, jemariku mengalun ke komposisi yang tak pernah kusiapkan.

Lagu itu... lahir dari bayangan taman, dari ciuman yang singkat namun dalam, dari air mata yang hampir jatuh di pelataran restoran malam itu.

Seketika seluruh aula hening.

Kru terdiam.

Para musisi mengerutkan dahi lalu perlahan terkesima.

Vario, yang semula berdiri santai sambil memantau, kini diam berdiri tegap, seperti melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat dariku.

Nada-nada itu tidak sempurna,

tapi begitu jujur.

Tidak megah, tapi menusuk.

Itu bukan permainan teknik.

Itu suara hati.

Dan di salah satu kursi penonton yang kosong, duduk seorang pria tua dengan rambut perak dan tongkat berlapis ukiran gading. Dia, Maestro Enzo Bellarosa, legenda hidup pemain biola dunia.

Pria yang karya-karyanya kuteladani sejak kecil. Dia menatapku tanpa berkedip.

Senyumnya mengembang seperti seorang ayah yang baru menyaksikan anaknya lahir kembali di atas panggung dunia.

Saat musik berhenti, dia bangkit perlahan, berjalan menghampiriku. Tangannya yang keriput menyentuh bahuku.

"Tu giochi con l'anima... non con le dita."

(Kau bermain dengan jiwa... bukan dengan jari.)

Aku menunduk penuh hormat. Hatiku hampir meledak oleh emosi.

“Grazie, Maestro...” bisikku nyaris tanpa suara.

Dia tersenyum lalu berjalan pergi pelan.

Tapi jejak kata-katanya tertanam kuat dalam diriku.

Waktu menunjuk pukul 14.00.

Waktunya istirahat makan siang dan persiapan menuju pukul 17.00, puncak konser, saat Paris akan menyaksikan apakah seorang Verez benar-benar pantas di panggung dunia… atau hanya lelaki biasa yang tersesat karena satu ciuman di taman.

Aku berjalan perlahan ke ruang ganti.

Tapi langkahku terasa ringan.

Karena untuk pertama kalinya,

aku tak merasa sendirian.

Biolaku menggenggam semua cerita yang belum sempat kukatakan.

Dan malam ini… akan menjadi malam pengakuan. .

More Chapters