Cherreads

Chapter 2 - PERJALANAN

Namaku Verez Montagne. Lelaki berusia 28 tahun, berdarah campuran antara dua negara : Italy dan Prancis.

Namun, tak ada yang bisa menyangka darah Italy mengalir dalam nadiku.

Mataku tajam, penuh sorot tenang, seperti langit Paris di musim gugur.

Rambutku keriting gelap, sedikit liar tapi lembut, seperti irama biola yang sedang jatuh cinta.

Ibuku, seorang wanita asli Italy menurunkan pesonanya kepadaku.

Sementara ayahku, keturunan prancis asli memberikan keteguhan bermusik dalam jiwaku.

Aku tiba di kota ini bukan sebagai pelancong, tapi sebagai pecinta.

Pecinta nada.

Pecinta seni.

Pecinta kehidupan.

Beberapa kali dalam setahun, aku datang ke Paris membawa satu hal yang setia bersamaku:

biola tua berwarna anggur gelap,

yang menjadi sahabatku sejak aku mampu membaca partitur pertama.

Sudah dua malam aku tampil di sebuah konser dekat Panthéon, bangunan megah yang menjulang tenang di atas bukit Sainte-Geneviève.

Di sanalah aku membiarkan jiwaku mengalir bersama alunan musik yang kupetik dari senar-senar kenangan.

Aku bukan musisi terhebat, tidak. Tapi aku mencintai musik dengan cara yang tak bisa dijelaskan logika.

Bagiku, musik adalah bahasa sunyi yang mampu berbicara saat semua kata kehilangan maknanya.

Aku adalah seorang seniman musik, dan Paris adalah salah satu panggung terbesarku.

Sekalilagi.

Aku bukan musisi terhebat sepanjang masa. Tapi aku mencintai musik dengan cara yang paling tulus.

Dan itu membuatku mampu meresapi cara orang-orang di sini menyentuh setiap nada.

Mereka tidak sekadar memainkan musik. Mereka menghidupkannya.

Mereka tidak sekadar mendengar.

Mereka merasakan.

Seni membuatku berpikir…

Tak ada yang mudah di dunia ini kalau kau tidak berani mencobanya.

Tapi jika kau bersungguh-sungguh, maka kau akan bertumbuh, berdiri, dan bertapak.

Perbedaan bukanlah penghalang, melainkan warna yang menyempurnakan perjalanan.

Paris tidak asing lagi bagiku.

Aku tahu jalan-jalan sempit di LatinQuarter yang dipenuhi aroma kopi.

Aku sering duduk di tepiSungaiSeine, menyaksikan cahaya kota yang memantul di permukaan air, sambil memainkan potongan melodi yang tiba-tiba muncul dari hatiku.

Hidup di sini membuatku percaya:

Tak ada yang mustahil jika kau berjalan dengan cinta.

Perbedaan bukan batas, tapi jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam.

Kau tak harus lahir di tempat ini untuk disebut milik Paris.

Kadang, cukup dengan mencintainya sepenuh hati.

Dankini, di kota ini, di antara gedung-gedung tua dan langit yang selalu abu-abu menjelang senja,

Aku, Verez masih berjalan.

Masih mencari.

Mungkin bukan hanya panggung.

Tapi juga seseorang yang akan mengerti nada dalam diamku.

***

Dulu, saat aku mulai menyukai musik ini, tak ada seorang pun yang ingin mendukungku, termasuk orang tuaku.

Sebenarnya ayahku pecinta musik, tapi karena ibu tidak menyukainya.

Ayahku mengikutinya...

Akhirnya mereka tidak mencintai musik. Karena, orang tuaku gila akan bisnis.

Namun saat ini, mereka sudah menaruh restunya padaku.

Sebagai musisi profesional.

Aku jadi teringat, di saat aku benar-benar terpuruk, di saat itulah hadir Valerie dalam hidupku.

Dia membuat semangatku kembali tumbuh.

Tapi pada akhirnya, Valerie hanya memperbudak aku, memanfaatkan diriku untuk kesenangan dan olokan kekasihnya.

Dia hanyalah wanita yang mencintai dunia gemerlap, pria-pria terkenal dan terpandang di Eropa.

Entah kenapa, dulu aku sempat memujanya. Memuja seorang gadis yang tak pernah mencintaiku.

Gadis yang bahkan lebih tua dua tahun dariku.

Dan kini, aku bahkan tak ingin mengingatnya lagi.

Sudah beberapa menit aku berjalan kaki, meninggalkan hotel tempat seharusnya aku berada.

Entah sudah seberapa jauh langkahku membawaku pergi dari kawasan Panthéon, tempat konserku digelar semalam.

Aku hanya mengikuti ke mana kaki ini ingin pergi, hingga akhirnya aku tiba di jantung kota yang lebih sibuk, di trotoar Champs-Élysées yang luas dan megah.

Aku menoleh ke belakang dan sekeliling, memastikan tak ada lagi Valerie yang mengikutiku.

Walau telah jauh dari hotel, bayangannya seolah masih menghantui langkahku.

Tapiternyata, itu hanyakhayalankusendiri.

Malam sudah turun sepenuhnya, namun Paris tak pernah benar-benar gelap.

Cahaya lampu-lampu kota menyala terang di sepanjang Champs-Élysées.

Indahsekali.

Cahayanya menyinari setiap langkah, mengiringi arus manusia yang lalu-lalang tanpa jeda di atas jalan raya yang legendaris ini.

---

Ada kerumunan orang di depan sebuah toko tua di tepi Champs-Élysées.

Spanduk bertuliskan SALE menggantung di kaca etalase, tapi justru kerumunan itu mengelilingi seorang pedagang jalanan.

Di atas meja kecilnya, ia memamerkan benda mungil berbentuk bola salju, berisi miniatur Menara Eiffel yang dikelilingi cahaya warna-warni, berputar perlahan seperti menari.

Beberapa pasangan muda memandanginya dengan sorot mata kagum.

Ada yang tertawa kecil, ada pula yang saling menggenggam tangan, seolah benda itu adalah lambang cinta mereka.

Aku menatapnya sebentar.

Dulu, mungkin aku akan ikut terpukau.

Tapisekarang?

Rasanyakosong.

Cinta, yang dulu kuanggap sebagai harmoni paling indah seperti gesekan senar biola, kini terasa sumbang.

Tak ada yang tersisa dari rasa itu.

Bahkan benda berbentuk cinta pun tak lagi menggugahku.

Aku melangkah pergi, membiarkan kerumunan itu tetap sibuk dalam kekaguman mereka.

Mungkin cinta memang masih hidup di dunia ini, tapi bukan di dalam diriku.

Aku terus berjalan sampai melewati seorang pedagang kecil yang berdiri di atas panggung portabel, memperlihatkan barang aneh yang baru pertama kali kulihat.

Sebuah karya seni dari serpihan kayu, dipahat dengan detail yang mengesankan, membentuk benda-benda kecil yang katanya penuh makna bagi para peminatnya.

Aku hanya melihatnya sekilas, tak terlalu peduli, lalu kembali melanjutkan langkahku menyusuri trotoar Champs-Élysées yang tampak tak pernah tidur.

Yang membuatku heran adalah bagaimana semua orang di sana bisa terpukau pada benda itu.

Padahal, dari sudut pandangku, tak ada yang benar-benar istimewa.

Sebuah pajangan berbentuk bola salju melambangkan cinta, bisa berputar dan berkedip oleh cahaya mini warna-warni.

Serpihan kayu yang dipahat membentuk sebuah kenangan.

Aku pernah melihat yang semacam itu di sebuah acara televisi bertema romansa.

Memang, saat diperhatikan lebih dekat, cahayanya cukup memukau, berputar lembut mengelilingi miniatur Menara Eiffel, menciptakan siluet keindahan malam kota Paris dalam versi mungil. Tapi entah kenapa, aku tetap tak tergugah.

Mungkin, bukan barangnya yang unik.

Mungkin, hanya aku yang terlalu dingin untuk peduli.

---

Kakiku terus melangkah mengelilingi area Champs-Élyséestrotoar.

Tak ada tujuan pasti ke mana aku akan pergi.

Tiba-tiba langkahku terhenti oleh sebuah keributan kecil dari arah kejauhan.

Aku mendengar adanya pertikaian dari seberang pandanganku.

Cukup berjarak, namun tidak sejauh pandanganku menjangkaunya.

"I'm telling you! it's over! I don’t love you anymore!"

(Aku bilang kamu! Semuanya selesai! Aku tidak mencintaimu lagi! )

Suara seorang pria terdengar jelas, mencaci-maki dengan nada berat dan tinggi.

Aku spontan menoleh ke arah suara itu berasal, yang ternyata tidak jauh dari tempatku berdiri.

Pria itu mengenakan sweater cokelat tebal, mirip denganku.

Bedanya, sweater milikku bermotif kotak-kotak, sedangkan miliknya polos, berbulu lembut di bagian kerah leher dan lengan.

Cuaca memang sedang sangat dingin di sini, dan kami terlihat seperti dua anak muda yang sama-sama tenggelam dalam malam Paris yang penuh kerlap-kerlip cahaya toko.

"But I still love you... please, don't do this!"

( Tetapi aku masih mencintaimu... Tolong, jangan lakukan ini! )

"You mean everything to me!"

( Kamu berarti segalanya untukku! )

Terdengar suara isak tangis perempuan berambut keriting panjang.

Matanya sembab, suaranya pecah.

Dia berdiri tak jauh dari pria itu, dengan posisi berhadapan langsung.

Jelas, mereka adalah sepasang kekasih, atau mungkin sudah tidak lagi.

Pria itu masih berdiri tegak, penuh kemarahan.

"Then why did you betray me? You think love fixes everything?"

( "Lalu mengapa kau mengkhianatiku? Kau pikir cinta bisa memperbaiki segalanya?")

Wanita itu mencoba menggenggam tangan pria yang begitu keras menolaknya.

Lututnya bergetar, suaranya nyaris tercekat oleh tangis.

Tapi dia terus memohon.

"I made a mistake, but my heart never changed!"

( Aku memang salah, tetapi hatiku tidak pernah berubah! )

Namun pria itu menepis tangannya.

"Save it. I’m done being your second choice."

( Simpan saja, aku sudah pernah memberimu kesempatan kedua )

Aku menyaksikan pertengkaran itu dari jarak yang cukup dekat, namun tak cukup untuk mereka menyadari keberadaanku.

Dan entah mengapa, suara isak tangis perempuan itu begitu menyerupai Valerie... saat aku meninggalkannya malam tadi.

Aku bergeming.

Ada perasaan aneh yang menyusup dalam diamku.

Aku hanya berdiri, menatap keduanya dari kejauhan.

Paris malam ini tidak hanya menyimpan cahaya dan keindahan, tapi juga luka dan kehilangan yang menggema di bawah langitnya.

Bersambung...

More Chapters