Cherreads

Chapter 3 - Memulai spiritual

CH 2

Tiga hari telah berlalu sejak Ruphas terakhir mengingat dirinya terjatuh di jalan setapak berbatu. Kini, ia terbangun di rumah reyotnya, terbaring di atas jerami kering. Kepalanya berat, seolah dihantam ingatan yang kabur.

"Aku... di rumah?" gumamnya pelan, sambil memegang pelipis. "Bukankah terakhir kali aku—benar! Aku sedang dalam perjalanan menukar pedang itu…"

Tiba-tiba ia terdiam.

Tidak. Ia menggeleng.

"Aku tak akan menukar pedang itu. Pedang itu... adalah untuk balas dendamku terhadap ras Xeridians."

Ia bergegas bangkit. Matanya menelusuri setiap sudut ruangan, mencari pedang buatan tangannya yang telah ia tempa selama berbulan-bulan. Tapi tak ada apa pun di sana. Hampa.

Panik mulai menguasainya. Ia keluar rumah, berlari tergesa ke tempat terakhir ia sadari kesadarannya menghilang.

Napasnya memburu saat akhirnya ia tiba. Tapi seperti rumahnya, tempat itu pun kosong.

Tak menyerah, Ruphas menyisir area sekitar. Batu, semak, reruntuhan. Dua jam berlalu, namun pedang itu seperti ditelan oleh tanah.

Ruphas berdiri terdiam, matanya kosong.

"Apakah seseorang mengambilnya saat aku pingsan...?"

Perlahan, pikirannya mulai menyusun kepingan logika.

"Benar. Aku pingsan... dan tiba-tiba sudah berada di rumah. Seseorang pasti membawaku kembali. Tapi siapa?"

Ia mengepalkan tinju. Wajahnya menegang.

"Xeridians... pasti salah satu penjaga mereka. Mereka sangat licik, mereka mengambil pedang ku disaat aku pingsan, agar aku tidak dapat uang"

Langkah kakinya pulang menjadi berat. Tapi hatinya semakin penuh oleh bara kemarahan.

Di tengah jalan, matanya terpaku pada sebuah lorong sempit yang jarang ia perhatikan sebelumnya—gelap, bau sampah menyengat, dan sunyi. Namun entah kenapa, langkahnya perlahan mengarah ke sana. Seolah sesuatu memanggilnya.

Setiap jejak kaki terasa berat namun pasti. Suara berbisik pelan mengisi telinganya, namun tak bisa ia pahami. Lorong itu seolah bernyawa.

Tiba-tiba—hening. Suara itu lenyap.

Kesadarannya kembali. Ruphas berdiri kaku. Nafasnya mulai cepat. Ketakutan menelusup diam-diam.

Lalu, dari dalam kegelapan, muncul sebuah cahaya biru. Melayang perlahan ke atas seperti nyala roh.

Ruphas menatap dengan mata membelalak. "Itu... Qi?" bisiknya. "Qi... seperti yang kakek ceritakan..."

Ingatan itu menyeruak.

---

Flashback – Warisan Kakek

"Di dunia ini, Qi adalah esensi yang menghubungkan tubuh, pikiran, dan semesta," kata sang kakek, sambil mengelus kepala kecil Ruphas.

"Kau mau jadi seperti kakek?" tanyanya dengan senyum.

"Tentu saja, Kek! Aku mau!" jawab Ruphas polos dan semangat.

Kakeknya tertawa pelan. "Hahaha, dulu kakekmu ini seorang kultivator. Tapi saat hendak menerobos ranah, kakek gagal... dan meridian kakek hancur. Kakek tak lama lagi akan pergi."

"Pergi ke mana?" tanya Ruphas bingung.

Kakek hanya tersenyum. "Kau akan mengerti suatu hari nanti."

Ruphas menggeleng, tak puas. Ia masih terlalu kecil untuk memahami. Ia bingung karena tidak mengerti apa yang dimaksud Meridian oleh kakek.

"Apa itu meridian, Kek?"

"Meridian... adalah jalur energi dalam tubuhmu. Qi mengalir di sana. Jika meridianmu tersumbat, tubuhmu akan melemah, mudah sakit, dan tak seimbang."

Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Sayangnya, Qi di dunia ini sangat sedikit. Dan hanya anak berusia 16 tahun ke atas yang bisa mulai berlatih kultivasi. Tapi ingat ini, Ruphas..."

Kakek menunjuk ke langit malam.

"Jika suatu hari kau berada di dunia lain... maka di sanalah takdirmu sebagai kultivator akan dimulai. Bakat tidak penting. Yang kau butuhkan hanyalah tekad. Tekad untuk terus melangkah dan tidak gentar menghadapi apa pun."

---

Kembali ke Lorong

Ruphas tersentak dari lamunannya. Ia duduk bersila di lantai lorong, memejamkan mata. Ia menarik napas dalam.

Ia mulai merasakan kehadiran Qi di sekitarnya—halus, ringan, namun nyata.

Esensi itu perlahan menyatu dengannya. Mengalir masuk lewat pori-pori, menjalar melalui meridian dalam tubuhnya.

Tubuhnya menjadi hangat, ringan... kuat.

Namun di balik rasa itu, muncul ketakutan baru.

"Apa yang kakek maksud dengan... 'menerobos ranah'? Jika gagal... aku bisa mati?" gumamnya pelan.

Pertanyaan itu menggantung di pikirannya.

Namun ia tahu—jawaban hanya akan datang jika ia terus berjalan.

Saat keluar dari lorong, ia menandai tempat itu dalam pikirannya. Tempat itu... akan menjadi tempat latihannya mulai hari ini.

Setiba di rumah, Ruphas membaringkan diri di atas jerami. Malam menggantung sunyi, tapi pikirannya menyala terang.

Ia memikirkan rencana besar. Ia akan bangkit. Ia akan membalas dendam.

Dan untuk itu, ia butuh kekuatan. Butuh teman. Butuh waktu.

Dengan tekad membara, Ruphas membisikkan kata-kata untuk dirinya sendiri.

"Mulai sekarang... aku akan berlatih. Dan menemukan orang-orang yang bisa kupercaya."

Dan malam itu... ia pun tertidur dalam diam.

More Chapters