Cherreads

Chapter 2 - mulai bangkit

CH 1

Dua tahun telah berlalu. Tepat di hari ulang tahunnya, Ruphas Forsaken memulai langkah besar yang telah ia rencanakan lama—sebuah pemberontakan para budak terhadap penguasa tirani: ras Xeridians.

Bersama tiga temannya—Silphi, Rouner, dan Heirg—Ruphas mulai mengumpulkan orang-orang yang menyimpan kebencian mendalam terhadap para Xeridians. Mereka adalah korban. Mereka semua pernah kehilangan.

Suatu hari, disaat mereka sedang berkumpul, Silphi bertanya dengan nada ragu,

"Memangnya kau bisa menyakinkan anak-anak untuk ikut memberontak?"

Ruphas menatap dengan tajam, yakin.

"Tentu. Aku sudah punya rencana."

Sudah sejak dua tahun lalu, sejak ia berhasil menciptakan sebuah pedang pertamanya, semua ini sudah mulai disusun perlahan.

Flashback dua tahun yang lalu –

Dalam hati, ia bergumam penuh kesombongan,

"Tentu saja aku ini jenius. Siapa lagi yang bisa membuat pedang hanya dalam seminggu? Hahahaha…"

Dari kejauhan, pemimpin Xeridians tersenyum tipis sambil mengamati. Namun Ruphas tak menyadarinya.

Di tengah kegembiraannya akan keberhasilan menciptakan pedang, seorang anak kecil—usia sekitar enam tahun—mendekatinya dengan tubuh gemetar dan mata berlinang.

"Hei... kenapa kau mendekatiku? Ada yang kau butuhkan?" tanya Ruphas, agak kesal karena kelelahan.

Anak itu mencoba bicara meski suaranya tersendat,

"Kakak... tolong... buatkan aku satu pedang."

"Hah?" wajah Ruphas menegang.

"Kenapa aku harus membuatkan pedang untukmu? Siapa kau? Siapa kakakmu? Kenapa aku harus—ah... sudahlah..."

Ruphas berbalik pergi.

Namun tangan kecil itu menarik ujung bajunya. Tangisnya makin keras.

"Kakakku… dia… dia akan diperjualbelikan karena tidak bisa membuat satu pedang pun..."

Anak itu bersujud, memohon sepenuh hati agar Ruphas menyelamatkan sang kakak.

Namun dengan nada dingin, Ruphas menepisnya. Egois dan lelah, ia hanya menghela napas, menyuruh anak itu pergi.

Malam itu, Ruphas pulang ke rumahnya—tumpukan tanah dan jerami, satu-satunya tempat ia bisa berbaring. Ia membujuk diri sendiri.

"Hoaaam... sebaiknya aku tidur lebih awal. Besok aku akan mendapatkan uang dari pedang yang kubuat."

Keesokan harinya, Ruphas melangkah dengan gembira. Namun saking senangnya, ia tak memperhatikan jalan. Tubuhnya bertabrakan dengan prajurit Xeridians.

Wajahnya pucat. Para Xeridians—tinggi, kurus, dan tampak menyeramkan, dengan kepala tak bertulang, kulit mencair perlahan seperti lilin panas—mengelilinginya.

"Hei, bocah! Kau buta, hah? Mau kubunuh kau!?" gertak salah satu prajurit sambil menodongkan tombaknya.

Ruphas gemetar, tak sanggup berkata apa-apa. Tanpa sadar, ia mengompol.

Tawa para prajurit meledak. Tawa kejam, penuh hinaan.

Mereka akhirnya pergi. Ruphas berlari menjauh dengan tubuh gemetar, napas tersengal.

"Hhh... hhh... hampir saja... Aku tidak ingin mati... bukan sebelum aku jadi kaya..."

Ia terus berjalan. Di tengah perjalanan, matanya menangkap segerombolan prajurit Xeridians terbang di langit—menggunakan pedang sebagai alas terbang.

"Wah... bagaimana mereka bisa—"

Namun kata-katanya terhenti.

Di antara barisan prajurit itu, berdiri sang Pemimpin Xeridians... dan di belakangnya...

Ruphas terdiam. Matanya membelalak.

"Itu... itu anak kecil itu...! Dan... kakaknya?!"

Dua tubuh tergeletak. Membeku. Tak bernyawa. Hancur. Tapi kepala mereka tetap utuh, seolah sengaja dibiarkan... menyaksikan dunia.

Perut Ruphas mual. Ia jatuh berlutut. Muntah.

"Tidak... tidak... mengapa mereka ada di sana? Kenapa mereka dibawa seperti itu? Jika aku membantu... mungkinkah mereka masih hidup? Apakah... ini salahku? Apakah... aku lebih buruk dari ras Xeridians?"

Air mata menetes di pipinya. Matanya memerah. Tinju terkepal.

Amarah. Penyesalan. Dendam.

Namun dalam detik yang sama, ia sadar...

Ia terlalu lemah, ia tidak bisa melindungi orang disekitarnya, egoismenya menghancurkan dirinya sendiri

Tubuhnya roboh. Lututnya menancap tanah. Dunia di sekelilingnya perlahan memudar. Suara menghilang. Nafas hilang.

Ruphas pingsan.

Saat ia membuka mata, hanya kekosongan menyambut. Tak ada warna. Tak ada suara. Tak ada kehidupan.

Ia berjalan. Tanpa arah. Tanpa henti. Dalam kehampaan yang sepi dan menyesakkan.

Berjalan.

Berjalan.

Berjalan...

Sampai kenangan lama muncul di benaknya—saat bersama keluarga, teman-teman, di Bumi.

Tangis tak terbendung. Di antara sunyi yang mutlak, ia bergumam...

"Akankah aku bisa menjadi sangat kuat? Akankah aku bisa menjadi dewa? Atau... dewa yang membunuhku?"

Air mata berhenti. Hatinya membara.

Ruphas berdiri tegak, dan berteriak.

"Aku tidak akan menjadi lemah. Aku akan membuat semua ras tunduk di hadapan manusia. Aku akan membawa umat manusia ke puncak dunia... Bahkan dewa sekalipun—aku tidak takut!!."

More Chapters