Cherreads

Chapter 7 - Pesan sang Emas

CH 7

Ruphas Forsaken terbangun dari alam kesadaran dengan napas memburu. Tubuhnya basah oleh keringat, punggungnya lengket menempel pada lantai batu dingin ruang bawah tanah tempat para budak ditempatkan. Sekitar dirinya, budak-budak muda masih tertidur, kelelahan oleh pekerjaan berat seharian.

Namun, bagi Ruphas, rasa lelah tak ada artinya dibanding pertanyaan yang membebani pikirannya.

"Apa maksud dari... 'Sang Emas'?"

Ia bergumam lirih. Tak ada yang menjawab, selain hembusan angin dari celah retakan dinding dan suara dengkuran lirih para budak lain. Kata itu—dua kata sederhana—masih terngiang jelas di kepalanya, lebih nyata daripada suara kakeknya di masa lalu.

Bukan ilusi. Itu nyata.

Ruphas duduk memeluk lutut, menatap tangannya yang gemetar. Dalam bayangannya, ia kembali melihat cahaya hitam dan putih itu—berputar, lalu membentuk mata yang tajam, seakan melihat seluruh isi hatinya. Kata-kata itu muncul dengan nada menggetarkan: bukan ancaman, tapi juga bukan harapan. Lebih seperti… peringatan.

Tapi peringatan dari siapa?

Pagi menjelang, dan para penjaga Xeridian datang membangunkan mereka tanpa belas kasih.

"Hei! Bangun, makhluk lemah! Tempaan hari ini dua kali lipat. Gerakkan kakimu kalau tak mau dicambuk!"

Ruphas berdiri cepat, menunduk, menyembunyikan segala kegelisahan yang bersarang di matanya. Hari ini bukan waktu untuk terlihat aneh. Sekali saja ia salah melangkah, hidupnya bisa berakhir dengan cambuk, atau lebih buruk lagi—dijadikan tumbal untuk eksperimen ras asing itu.

Ia dan para budak lainnya diarahkan menuju pabrik tempa besar di jantung kamp kerja paksa. Suara logam dipukul, teriakan pengawas, dan aroma besi panas bercampur keringat memenuhi udara. Tangan Ruphas sudah terbiasa meraih palu, meski tubuhnya belum layak disebut kuat. Tapi semangat dalam dirinya—api dendam dan harapan—tak pernah padam.

Pukulan demi pukulan ia hantamkan ke logam. Setiap dentingan seperti penegasan: aku belum menyerah.

Namun pikirannya tak lepas dari kejadian semalam. Alam kesadaran ilahi… ia pernah mendengar sekilas dari cerita kakeknya, namun tak pernah mengira akan mengalami sendiri. Apalagi… di dalamnya muncul sesuatu. Sesuatu yang mengetahui namanya… dan lebih menakutkan, mengetahui sesuatu yang bahkan dirinya sendiri belum mengerti.

"Sang Emas…"

Ia membisikkan kata itu lagi saat menyalurkan Qi ke logam merah menyala yang ditaruh di atas landasan.

Detak palunya seketika goyah. Qi-nya melonjak tak stabil. Logam di depannya retak.

"Forsaken! Apa kau tidur saat bekerja?!"

Cambuk menghantam punggungnya. Ruphas menggertakkan gigi menahan rasa sakit. Ia menunduk cepat, memukul kembali tanpa suara, menahan diri dari membalas. Ia tak bisa, belum sekarang.

Ia tahu, ia harus sabar.

Ia butuh kekuatan.

Ia butuh… jawaban.

Hari berakhir dengan tubuh penuh luka. Ruphas kembali ke ruang bawah tanah, menahan kelelahan yang membuat tiap langkahnya berat. Tapi saat budak lain memilih tidur, Ruphas justru duduk bersila, bersiap kembali menenangkan pikirannya.

Ia mencoba menyentuh sisa-sisa Qi dalam tubuhnya, menyalurkannya perlahan ke pusat meridiannya. Meski tidak membawa pedang, ia mulai mengembangkan sensasi teknik Penyaluran Qi Pedang dengan cara berbeda—ia bayangkan tubuhnya sebagai wadah, dan telapak tangannya sebagai bilah pedang.

Ia mengatur napas. Perlahan. Stabil.

Qi-nya mulai berdenyut ringan. Lembut tapi nyata.

Dan tiba-tiba, seperti kilatan cahaya, pikirannya kembali tertarik masuk ke dalam dirinya.

Kegelapan menyambutnya, namun berbeda dari sebelumnya. Kini, ia berdiri di tanah datar kosong yang membentang jauh. Langit tak berbentuk. Waktu tak terasa.

"Aku di sini lagi… Alam Kesadaran Ilahi."

Tapi tak ada cahaya hitam putih, tak ada mata tajam. Hanya keheningan mencekam yang membuat seluruh tubuhnya merinding.

Ia berkeliling, mencari petunjuk. Tapi tak ada apa pun.

Sampai akhirnya… di kejauhan, muncul sesuatu—seperti bayangan samar, tak memiliki bentuk pasti, hanya seperti gelombang kabut yang menyatu dengan langit.

Namun, kali ini, tidak ada suara.

Tidak ada kata.

Hanya satu hal yang Ruphas sadari: sosok itu tahu dia datang.

Dan yang lebih mengerikan… sosok itu menunggunya.

Perlahan, kabut itu menghilang. Alam Kesadaran Ilahi memudar. Ruphas terbangun kembali di lantai batu ruang budak.

Ia menggigil. Bukan karena dingin.

"Dia… dia menungguku."

Beberapa hari kemudian, saat sedang menimba air dari sumur kamp, seorang budak tua mendekatinya. Ia membawa wajah penuh keriput dan mata sayu yang menyimpan terlalu banyak kisah.

"Aku melihatmu semalam… gemetaran dalam tidurmu," ucapnya lirih.

Ruphas menoleh, sedikit waspada. "Kau mengupingku?"

"Aku hanya memperhatikan. Kau berbeda… Qi-mu bergerak saat kau tidur. Kau sadar?"

Ruphas terdiam. Lidahnya kaku.

Budak tua itu menatapnya tajam. "Jangan heran. Beberapa dari kami dulunya juga seorang kultivator… sampai direnggut paksa dan dijadikan budak di sini. Tapi Qi… tidak bisa dipenjara. Ia mengikuti yang hatinya tetap hidup."

"…Kau ingin mengatakan apa?"

Budak tua itu tersenyum samar. "Hati-hati dengan suara dalam kesadaranmu. Tidak semua yang kau temui di dalam dirimu… berasal dari dirimu."

Ruphas merinding. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi saat ia menoleh kembali, lelaki tua itu sudah pergi, menghilang di antara kerumunan budak.

Malam itu, Ruphas tak bisa tidur. Ia menggenggam lengan sendiri, mencoba memikirkan kembali semua petunjuk.

Alam Kesadaran Ilahi.

Mata hitam putih.

Kata misterius… "Sang Emas".

Dan kini, kabut yang menunggunya.

Siapa pun itu… ia tahu Ruphas. Bahkan mungkin sudah menunggunya jauh sebelum ia lahir.

Tapi satu hal yang Ruphas tahu pasti.

"Aku akan cari tahu… siapa kau sebenarnya."

Dan ketika saatnya tiba, ketika belenggu ini hancur, ketika tubuhku bebas… aku akan datang mencarimu.

Siapa pun kau.

Apa pun kau.

Karena aku… Ruphas Forsaken, tak akan pernah berhenti.

More Chapters