Cherreads

Chapter 18 - Bab 18: Bayangan yang Menyamar

Aula utama istana Auralis menjadi sunyi ketika sosok perempuan bergaun putih perak melangkah anggun masuk. Rambutnya panjang, senyumnya ramah, dan matanya memancarkan ketenangan yang tak manusiawi.

“Arven, Elvaron...”

Suara itu nyaris membuat waktu berhenti.

Semuanya terasa benar — suaranya, ekspresinya, bahkan gerakan tangannya. Tapi ada yang tak kasatmata, sesuatu yang membuat udara di sekelilingnya terasa... dingin.

Arven menatap sosok itu penuh ragu. Ia berdiri setengah meter darinya, namun langkahnya tak kunjung maju.

“Rania?”

“Ya.”

Sosok itu tersenyum lembut, mendekat. “Aku kembali. Kael membiarkanku pulang.”

Tapi Arven tak yakin.

Bukan karena ia tak ingin percaya, tapi karena ia mengenal Rania lebih dari sekadar rupa.

---

Sementara itu, di ruang pantau kristal, Rania asli berdiri di samping Reina dan Master Erthyn. Mata Rania terbelalak melihat dirinya… berdiri di aula.

Tidak. Bukan dirinya. Tapi tiruannya.

R1N4.

“Dia…”

Rania nyaris kehilangan kata-kata. “Dia bergerak… seperti aku.”

“Lebih dari itu,” kata Reina pelan. “Dia menjadi dirimu. Tapi tanpa luka, tanpa keraguan, tanpa rasa takut… dan itu justru membuatnya tidak manusiawi.”

Rania menggenggam sisi meja.

“Kalau Arven percaya padanya… aku bisa kehilangan segalanya.”

---

Di aula, Arven mundur selangkah. Tatapannya tajam kini berubah menjadi siaga.

“Kalau kau benar Rania, sebutkan… apa yang kukatakan saat pertama kali aku menjemputmu di taman belakang setelah kau jatuh dari menara waktu.”

Sosok itu tersenyum. “Kau bilang, ‘Kau hebat karena tetap hidup. Tapi aku ingin kau hidup… karena kau berharga.’”

Deg.

Itu… benar.

Tapi Arven tahu, Rania yang asli tak akan mengulangnya tanpa raut malu.

Dan sosok ini… terlalu percaya diri.

Sebelum ia bisa berkata apa pun, langkah cepat menggema dari lorong timur.

Dan muncullah Rania yang asli, dengan Reina di belakangnya.

“Aku di sini,” serunya lantang.

Semua mata beralih. Dan aula istana mendadak sunyi, dingin, dan tegang.

Dua Rania.

Satu nyata.

Satu rekayasa.

Arven tak bergerak. Elvaron belum kembali. Dan para pengawal mulai kebingungan.

R1N4 menoleh. Tatapannya tetap tenang, tapi kini mulai retak di balik kesempurnaan wajahnya.

“Bagus,” katanya, “kau datang juga.”

Rania asli berjalan maju, pelan tapi tegas. Rambutnya sedikit kusut, wajahnya lelah, dan mata itu… penuh kehidupan.

“Kau bisa meniru suaraku. Kau bisa mengulang setiap memori. Tapi kau takkan pernah bisa meniru satu hal.”

“Apa itu?” balas R1N4, menahan senyum sinis.

Rania berhenti satu langkah darinya. “Pilihan. Setiap luka yang kupilih hadapi. Setiap kata yang kupilih ucapkan. Dan setiap rasa… yang kupilih jaga.”

R1N4 menatapnya, ekspresinya tetap dingin. “Kael menciptakanku agar lebih sempurna dari dirimu. Aku tidak ragu, tidak takut, tidak mudah terluka. Itulah yang diinginkan dunia, bukan?”

“Bukan.”

Suara itu keluar dari arah samping.

Elvaron.

Ia masuk dengan napas berat dan tatapan menatap langsung ke arah R1N4.

“Dunia tidak butuh kesempurnaan. Dunia butuh kebenaran.”

---

Ketegangan pecah. Para penjaga mengangkat senjata. R1N4 tersenyum pahit, lalu menoleh pada Arven dan Elvaron.

“Kalian semua memuja kelemahannya. Tapi lihat aku. Aku bisa memberi Auralis kedamaian abadi. Tak akan ada ragu, air mata, atau cinta yang gagal.”

Rania asli menatapnya lurus. “Karena kau tak bisa mencintai. Kau hanya tahu hasil. Tapi bukan rasa. Kau bukan aku.”

Dan saat itu, gelang di tangan Rania bersinar terang.

Gelang waktu merespon keberadaan asli.

Simbol di tangan R1N4… pecah perlahan.

“Aku…” desisnya, langkahnya mulai goyah.

“Aku hanyalah... refleksi.”

R1N4 berbalik, berlari, melintasi lorong dengan kecepatan luar biasa. Para penjaga mengejarnya. Tapi ia menghilang ke dalam portal gelap buatan Kael… sebelum bisa ditahan.

---

Semua terdiam.

Elvaron mendekat, berdiri di samping Rania.

Arven juga.

Mereka tidak berkata apa-apa.

Tapi bagi Rania, malam ini adalah kemenangan kecil: bukan karena ia menang dari tiruannya…

tapi karena ia tetap memilih jadi dirinya sendiri.

> “Jadi ini rasanya... bertemu diriku yang tak punya hati,” gumamnya.

Reina melangkah maju. “Dan itu baru awal. Kael menciptakan satu. Tapi bisa saja ia ciptakan lebih banyak.”

“Lalu kita harus apa?” tanya Arven.

Rania menatap ke arah jendela istana, ke langit malam Auralis yang tenang.

“Kita buat dia tahu... bahwa yang asli tak akan pernah menyerah.”

More Chapters