Malam di Depan Rumah Chika
Langit mulai gelap. Lampu-lampu jalan menyala dengan redup keemasan, memberi suasana hangat di antara semilir angin malam.
Reivan mengantar Chika sampai depan rumahnya. Mereka berdua berhenti, berdiri dalam diam sejenak.
Chika menoleh dengan senyum canggung.
> "Ehm... terima kasih buat hari ini. Aku benar-benar senang…"
"Aku juga," jawab Reivan singkat, dengan senyum kecil yang hanya muncul sesekali.
Chika memandangi wajah Reivan sesaat, lalu buru-buru membuka pintu.
> "Baiklah, selamat malam…"
"Selamat malam, Chika."
Pintu menutup.
Dan dunia kembali sunyi.
---
Wujud Asli Sang Bayangan
Reivan memutar tubuhnya dan mulai berjalan. Langkahnya santai, ringan.
Tapi ketika ia melewati lampu jalan terakhir...
Tangan kirinya terangkat perlahan ke dalam saku jaketnya.
Ia mengeluarkan sebuah topeng hitam separuh—terbuat dari bahan misterius mengilap yang hanya menutupi mata dan sebagian wajahnya.
Topeng itu—dikenal dalam dunia bawah sebagai "Topeng Sang Pemburu Senyap."
Begitu topeng itu dikenakan, angin malam seolah berdesir lebih kencang.
Bayangan menjalar dari kakinya.
Kaos hitam dan jaket abu miliknya mulai... mencair.
Berubah menjadi siluet pekat seperti kabut malam yang hidup, menjalar dan membentuk jubah hitam elegan yang berkibar ringan, tak terpengaruh gravitasi.
Sosok "Reivan" kini telah lenyap.
Yang berdiri di sana sekarang adalah…
Night Hunter.
---
Dari Atas Gedung—Tiga Mata-mata Menyaksikan
Ketiga agen yang masih mengamati dari kejauhan langsung terpaku.
> "...Apa... yang barusan terjadi?"
"Jubah itu... berubah?! Seolah bukan dari dunia ini…"
Salah satu dari mereka, yang paling senior, menggigit bibirnya.
> "Ini... ini bukan sekadar target biasa."
"Apa ini... yang harus kita lawan...?" bisiknya lirih, tubuhnya bergetar.
Mereka tak berkata-kata lebih lama.
Ketakutan telah merasuk.
Tanpa menunggu lebih jauh, ketiganya mundur cepat—mengaktifkan jammer komunikasi untuk menyamarkan jejak—dan langsung menghilang dari lokasi.
---
Markas Rahasia – Specter Eidolon & Black Mantis
Beberapa saat kemudian, di ruang bawah tanah dengan puluhan monitor menyala, agen-agen elit dari dua organisasi bayangan—Specter Eidolon dan Black Mantis—menunggu laporan.
Pintu terbuka cepat. Ketiga mata-mata masuk, wajah mereka tegang.
> "Lapor… Target menunjukkan transformasi anomali..."
"Kami menyaksikan langsung. Dia mengenakan topeng, lalu... pakaiannya berubah, seperti hidup."
"Kemungkinan besar... dia adalah entitas Night Hunter itu sendiri."
Ruangan hening.
Salah satu eksekutif tertinggi Black Mantis berdiri perlahan dari kursinya, menatap tajam ke layar monitor yang menampilkan rekaman buram Reivan dari kejauhan.
> "Jadi... dia akhirnya bergerak."
"Night Hunter... Mulai menunjukkan taringnya."
---
Keesokan Harinya – SMA kurogane
Pagi pun datang.
Reivan kembali mengenakan seragam SMA seperti biasa. Dingin, tenang, dan nyaris tidak mencolok. Seolah-olah bukan orang yang semalam membuat tiga organisasi bayangan panik bukan main.
Tapi hari ini terasa… berbeda.
Tiga gadis sudah menunggunya di pintu masuk sekolah.
Chika, yang tampak lebih cerah dari biasanya, sesekali melirik curi-curi pandang.
Aveline, yang sudah mendengar dari orang lain bahwa Reivan terlihat bareng Chika kemarin.
Dan satu lagi… Lyra, si gadis cerdas dan ketus, mulai curiga dan juga... tak ingin tertinggal.
> "Reivan, kau pulang bareng Chika kemarin ya?" tanya Lyra dengan nada datar, tapi matanya menyipit.
Aveline menimpali, "Kenapa nggak nunggu aku? Biasanya kamu pulang bareng..."
Chika tersipu, "K-kita cuma jalan-jalan kok! Nggak ada yang spesial!"
Reivan hanya menanggapi dengan senyuman samar.
> "Aku bilang ke Aveline buat pulang duluan. Hari itu... aku ada urusan."
Tiga gadis itu saling pandang.
Pertempuran emosi diam-diam pun dimulai.
Sementara Reivan hanya berjalan mendahului mereka, seolah tak peduli…
Tapi dari pantulan kaca jendela…
Ia tersenyum kecil.
---
Masih di Hari yang Sama – Atap Sekolah
Langit siang menggantung mendung, angin lembut meniup rambut Reivan yang duduk bersandar di pagar atap sekolah.
Tak lama kemudian, seseorang membuka pintu atap dengan kaki ringan.
Kori, sahabat Reivan sejak masa kecil, muncul sambil membawa dua kaleng minuman.
> "Lu butuh yang dingin, Hunter," ucap Kori datar, duduk di samping Reivan.
Reivan menerima kaleng itu tanpa banyak bicara.
Mereka berdua diam sebentar. Tak ada yang perlu dijelaskan—karena Kori sudah tahu segalanya.
Dia satu-satunya yang tahu identitas asli Reivan sebagai Night Hunter, dan satu-satunya yang bisa berbicara padanya tanpa rasa takut sedikit pun.
> "Gimana semalam?" tanya Kori akhirnya.
"Tiga mata-mata. Dua dari Specter, satu dari Black Mantis. Mereka mundur," jawab Reivan santai, seolah membicarakan cuaca.
"Lu kayaknya nikmatin banget dijadiin target pembunuhan."
Reivan terkekeh pelan. "Lumayan buat hiburan."
Kori meneguk minumannya, lalu menoleh dengan mata menyipit.
> "Tapi serius, Reivan… mereka mulai serius. Kalau dua organisasi itu sampai gabung… bahkan lu bisa—"
"Gue udah nyusun potongan-potongan lokasi markas mereka. Malam ini, satu potongan terakhir bakal jatuh."
Kori menghela napas.
> "Lu sadar kan… kalau lu lengah sedikit aja, tamat?"
Reivan menoleh, dan untuk sejenak, sorot matanya berubah menjadi sesuatu yang… gelap.
"Gue nggak akan kalah, Kori. Gue belum selesai bermain."
Mereka pun kembali diam.
Tapi dalam diam itu, ada rasa percaya yang dalam.
Kori tahu… Reivan bukan orang biasa. Dia bukan hanya hunter—dia adalah penentu akhir permainan ini.
---
Malam Hari – Kembali Menjadi Bayangan
Jam menunjukkan pukul 11 malam.
Di sebuah lorong kota yang gelap, angin malam menggulung pelan.
Langkah-langkah ringan terdengar menapak trotoar…
Itu Reivan. Sendirian. Kaos hitam tipis, jaket terbuka, dan ekspresi datar seperti biasa.
Tapi begitu sampai di tikungan sempit antara dua gedung…
Angin berhenti.
Cahaya lampu jalan mulai bergetar.
Bayangan menjalar dari kaki Reivan.
Tangannya merogoh saku.
Topeng hitam separuh itu kembali muncul.
Wush.
Begitu topeng dikenakan, kaos dan jaketnya mencair menjadi bayangan pekat.
Membentuk jubah hitam elegan yang mengalir seperti kabut.
Sosok Night Hunter kembali muncul—dingin, tak tersentuh, dan mengerikan.
Dengan satu gerakan ringan, Reivan menarik kertas holografik dari balik jubah.
Gambaran bangunan, jalur komunikasi, dan data organisasi… semuanya tersebar seperti potongan puzzle.
> "Specter Eidolon… markas cabang tiga di timur kota, penyamaran toko perhiasan."
"Black Mantis… titik pusat di bawah galeri seni tua."
"Dan di tengah kota... titik penghubung. Kemungkinan pusat komunikasi rahasia."
Suara Reivan dalam, rendah, dan tak terbaca emosi.
Namun, sorot matanya berbicara lain. Ia tak hanya memetakan…
Ia bersiap untuk menghabisi.
> "Satu potongan terakhir."
"Lalu... giliran mereka merasakan seperti apa rasanya diburu."
Bayangan Night Hunter pun melesat melintasi dinding—menghilang dalam malam, menuju titik pengamatan terakhir yang akan menyatukan segalanya.
---