Markas Besar Specter Eidolon – Ruang Pengamatan Tingkat Tertinggi
Seluruh ruangan gelap, hanya diterangi cahaya biru redup dari layar hologram yang kini diam membeku. Tayangan terakhir yang mereka lihat adalah tubuh-tubuh agen mereka tumbang satu per satu… oleh seorang remaja.
Reivan Arkady.
Tidak—mereka akhirnya mengakui: Night Hunter.
> "...Apa yang kita lihat tadi benar-benar… manusia?"
"Tidak. Itu bukan manusia. Itu predator. Dan kita—ternyata kelinci."
Suara pemimpin tim eksekusi Specter bergetar.
Tak ada yang menjawab. Semua terlalu sibuk menyerap kenyataan pahit bahwa rencana sempurna mereka dipermalukan.
Lalu suara keras menghentak dari atas ruangan.
DUARRR!!
Papan kendali hancur.
Seseorang menghantamnya dengan tinju—tatapannya gelap.
Vice Commander Lucius, sosok yang ditakuti di dunia bayangan, kini menggertakkan giginya.
> "Kirim perintah baru."
"Jangan dekati dia. Pantau dari jarak aman. Dan… cari tahu apa sebenarnya tujuan anak itu berada di sekolah itu."
---
KEESOKAN HARINYA – SEKOLAH
Langit pagi cerah seolah tak tahu bahwa malam sebelumnya dunia bayangan porak-poranda.
Siswa-siswi kembali sibuk beraktivitas, berlarian, berbagi gosip, dan tentu saja… mengamati Reivan.
Sejak hari pertama, dia memang misterius. Tapi hari ini, suasananya berbeda. Tatapannya sedikit lebih tajam, langkahnya lebih tenang, dan senyumnya...
Senyum itu membuat jantung beberapa gadis nyaris copot.
Di koridor kelas 1-B, tiga gadis cantik berkumpul: Aveline, Chika, dan Lyra. Mereka sama-sama menyadari satu hal...
> Reivan semakin tidak bisa diabaikan.
Aveline tampak sedikit gelisah, karena sejak tadi Reivan tidak menegur seperti biasanya. Tapi sebelum ia sempat menyapanya lebih dulu, suara langkah bersemangat datang dari belakang.
> "Reiiivaaan~!"
Chika, si gadis ceria dan blak-blakan, langsung menyambar lengan Reivan dengan senyum lebar.
Semua mata di koridor otomatis menoleh.
> "Hari libur nanti, ikut aku ya! Aku tahu satu tempat makan ramen pedas yang super enak dan kamu harus nyobain!"
"Janji ya? Nggak boleh nolak. Udah aku catet di kalender!"
Reivan menatap Chika dengan wajah datar sejenak.
Lalu tersenyum tipis.
> "Ramen pedas, ya? Oke."
"Kita berangkat jam berapa?"
Aveline yang mendengar itu hanya bisa terdiam. Matanya sedikit membesar.
Chika langsung tertawa senang.
> "Jam dua siang! Aku jemput kamu, ya! Hihi, aku udah nggak sabar!"
Sementara itu, Lyra—si gadis pendiam dengan rambut pendek perak dan tatapan tajam—mengamati dari kejauhan. Ia tak suka keramaian, tapi hari ini ia mencatat satu hal di buku kecilnya:
> Target baru: Chika. Status: saingan aktif.
---
SELESAI JAM SEKOLAH
Sebelum Aveline sempat mendekati Reivan untuk pulang bersama seperti biasanya, Reivan malah menghampirinya lebih dulu.
> "Aveline, pulang duluan ya. Aku mau… istirahat sebentar."
Aveline menatapnya, seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi ia urung.
> "Baik, jaga dirimu, ya," katanya pelan.
"Jangan sampai jatuh cinta sama gadis tukang ramen."
Reivan mengerling kecil, lalu berjalan pergi.
Aveline menatap punggungnya lama—ada sesuatu yang berubah.
---
Sementara itu, di tempat lain, di sudut sekolah…
Seseorang sedang mengamati Reivan dari balik kamera pengintai tersembunyi.
> "Reivan Arkady… siapa sebenarnya kau?"
"Terlalu tenang untuk remaja biasa… dan terlalu lihai untuk seorang pemula."
Operasi baru mulai bergerak.
Bukan hanya organisasi gelap… tapi dunia sekolah pun mulai memanas.
---
Esoknya di hari libur.....
Jam 14:00 – Di Depan Stasiun Kota Aetherion
Angin sore bertiup lembut, membawa aroma musim semi dan bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang trotoar. Suasana kota begitu hidup. Orang-orang lalu lalang, keluarga berlibur, pasangan bergandengan tangan.
Dan di tengah semua itu—berdiri seorang pemuda dengan kaos kasual hitam, jaket abu tipis yang setengah terbuka, dan celana panjang gelap yang memanjang elegan hingga sepatunya yang bersih.
Reivan Arkady.
Bukan Reivan dingin berseragam sekolah seperti biasanya. Tapi versi dirinya yang tampak seperti aktor terkenal yang sedang incognito, dengan rambut hitam pendek yang sedikit terurai oleh angin. Tatapannya lembut, tapi tetap menyimpan kesan dalam yang membuat banyak gadis menoleh tanpa sadar.
> "Siapa dia...?"
"Gila, tampan banget... kayak selebriti..."
"Baru liat cowok setenang. Apa dia nunggu cewek?..."
Tiba-tiba, di tengah kekaguman mata-mata asing itu, suara langkah kecil terdengar. Reivan menoleh.
Dan matanya langsung terpaku.
Chika.
Datang dengan dress kasual biru muda yang bergelombang ringan saat berjalan. Rambutnya dikuncir rendah, dengan pita kecil di samping. Wajahnya tampak bersinar di bawah cahaya matahari, dan senyumnya… tulus, cerah, dan sedikit gugup.
Reivan melihatnya, sedikit tersenyum… lalu berkata dengan nada tenang tapi jelas.
> "Kamu manis banget hari ini."
Chika langsung berhenti sejenak.
Matanya membesar.
Pipinya—memerah seperti tomat matang. Ia memalingkan wajah cepat-cepat, pura-pura melihat ke arah lain.
> "A-a-apa sih… jangan ngomong gitu tiba-tiba," gumamnya cepat.
Tapi senyum itu… tak bisa ia sembunyikan.
---
Jalan jalan di mulai
Mereka berdua mulai menyusuri jalan kota. Mulai dari stand makanan, kedai es krim, hingga taman bunga yang terkenal jadi tempat pacaran murid SMA.
Chika tampak riang dan ceria, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya bisa berjalan berdua seperti ini. Tapi sesekali, ia menyadari sesuatu yang mengganggunya:
Gadis-gadis yang lewat terus menatap Reivan.
Beberapa bahkan terang-terangan menatap dengan kagum.
> "Eh itu cowok tadi... dia ganteng banget, ya?"
"Pasti model..."
"Tunggu, dia sama cewek? Kenapa harus dia duluan sih.."
Chika mengatupkan bibirnya. Ia cemberut.
> "Padahal di sekolah dia biasa aja... Tapi sekarang... kenapa dia kelihatan seperti cowok impian semua cewek?!"
Matanya melirik ke arah Reivan yang sedang fokus membeli takoyaki.
Angin meniup rambutnya pelan.
Tatapan Reivan samar melirik langit. Terlihat tenang, misterius, dan… tampan.
Chika cepat-cepat mengalihkan pandangan saat Reivan menoleh ke arahnya.
> "Chika, kamu mau saus pedas atau manis?"
"M-manis aja!!" jawabnya cepat, lalu menggigit pipinya sendiri dalam hati.
"Kenapa aku gugup banget, sih... Grrr."
---
SISI LAIN — PENGAWASAN DI BALIK BAYANGAN
Tak jauh dari bangunan di seberang jalan, di lantai dua sebuah kafe kecil, tiga sosok bertopeng duduk diam.
Salah satunya mengaktifkan alat perekam visual.
> "Subjek berada dalam status non-bersenjata."
"Interaksi menunjukkan hubungan sosial dengan target perempuan bernama Chika teman sekelasnya."
"Tak ada tanda-tanda siaga atau curiga…"
Namun yang tak mereka sadari adalah:
Reivan tahu mereka ada di sana. Bahkan sejak 10 menit lalu.
Tapi dia memilih tetap berjalan.
Tenang.
Santai.
Senyum kecil yang hanya dimengerti oleh predator yang tahu kapan harus menggigit.
---
SAAT MALAM MULAI TURUN...
Di bawah lampu jalan, Reivan dan Chika duduk di bangku taman setelah seharian berjalan.
> "Makasih ya, Reivan… aku senang banget hari ini," ucap Chika pelan.
"Bisa jalan sama kamu… itu sesuatu yang nggak pernah aku bayangkan."
Reivan menoleh padanya, lalu berkata dengan suara datar tapi hangat.
> "Aku juga gak nyangka kamu secerewet ini kalau di luar sekolah."
Chika memukul bahunya pelan sambil tertawa.
> "Kau jahat."
Tapi di balik tawa itu…
ada sesuatu yang mulai tumbuh.
Dan di balik pohon besar, di antara bayangan, seseorang mengamati mereka… lalu menekan tombol kecil di telinganya.
> "Target menunjukkan afeksi. Kita mungkin harus melibatkan perasaan dalam pendekatan selanjutnya…"
---