Hujan turun sejak pagi. Tak deras, tapi cukup membuat langit kelabu dan udara terasa sendu. Risma berdiri di dapur, menatap kosong ke arah tetesan air yang meluncur di jendela. Aroma kopi hitam menguar dari cangkir, tapi tak mampu mengusir rasa pahit yang bersarang di dadanya.
Naya sedang tertawa kecil di depan televisi, menonton kartun sambil memeluk bantal besar. Suara tawa anak itu seharusnya mampu membuat Risma ikut tersenyum, tapi kali ini tidak.
Pikirannya kacau. Sejak pagi itu… pagi di mana ia dan Bima menghapus batas yang selama ini dijaga… Risma tak pernah benar-benar sama lagi.
Ia masih istri Tora. Tapi pikirannya tak bisa lepas dari genggaman Bima… di pagi kelabu itu, di lantai dua tempat segalanya berubah.
Ponsel Risma bergetar. Notifikasi WhatsApp muncul. Nama Bima terpampang jelas di layar. Ia ragu membuka pesan itu, tapi rasa penasaran mengalahkan semuanya.
“Pagi. Udah hujan dari subuh. Jangan keluar ya...
Kalau dingin, inget pelukanku, yaa…”
Risma terdiam. Matanya terpaku pada layar, lalu jemarinya mengetik pelan-pelan, mencoba bersikap biasa saja.
“Pagi. Aku nggak keluar. Kamu kerja?”.
Beberapa detik kemudian, pesan dari Bima muncul lagi.
“Kerja, Mbak. Tapi pikiranku nyangkut di kamu terus… Kalau bisa, aku pengin nemenin kamu seharian. Biar hatimu nggak dingin-dingin amat."
Risma menahan senyum. Gombal. Tapi kenapa dada ini hangat sekali? Lelaki itu… dengan segala rayuan manjanya… perlahan menembus tembok yang selama ini ia bangun sendiri.
Tapi sebelum ia bisa menikmati hangatnya perasaan itu lebih lama, kenyataan kembali mengetuk pintu kehidupannya.
Belum sempat ia tenggelam lebih dalam dalam rasa yang tak seharusnya, suara mobil terdengar memecah suara hujan yang samar.
Suara itu tajam. Terlalu familiar. Dan jantungnya seperti ikut terhenti.
Risma langsung menoleh, tubuhnya menegang… TORA.
Dengan jaket kulit yang basah oleh gerimis, dan wajah yang tampak lebih dingin dari biasanya, ia masuk tanpa banyak kata. Hanya melempar pandang pada Risma yang masih terpaku di dapur… seolah tak mengenalnya.
“Gak ada kopi?” suaranya datar, tapi mengandung letupan yang siap meledak kapan saja.
“Baru diseduh,” jawab Risma pelan.
Tora masuk ke kamar, melempar tas kerja ke atas kasur. Ia bahkan tak menyapa Naya.
Risma menghela napas panjang, lalu menyusul dengan cangkir kopi di tangan.
“Kamu kenapa?” tanyanya hati-hati.
Tora menoleh cepat, menatapnya dengan tatapan tajam.
“Kamu tanya aku kenapa? Harusnya aku yang nanya. Kamu kenapa?!” suaranya meninggi.
Risma terkejut. “Apa maksudmu?”
“Aku tanya, kamu kenapa jadi makin beda? Makin jauh? Teleponku nggak kamu angkat. Kamu balas WA berjam-jam. Kamu kira aku gak sadar?”
Nada curiga dalam suara Tora membuat jantung Risma berdegup kencang. Tapi ia tetap tenang. “Kamu juga begitu. Pulang seminggu sekali. Itu pun cuma untuk tidur. Aku harus nunggu kamu jam berapa pun, seolah aku ini nggak butuh didengar.”
Tora berdiri. Tangannya mengepal.
“Jadi kamu balas aku dengan cara kayak gitu? Kamu pikir aku bego? Kamu pikir aku gak tahu cowok muda yang sering kamu samperin itu?”
Risma terdiam. Dada sesak. Tora tahu?
Tora menatapnya tajam. “Bima, ya? Cowok counter HP itu?”
Risma tak menjawab.
Tora tertawa miring. “Wah, keren juga kamu. Brondong, ya? Pinter milih selingan.”
“Mau sampai kapan kamu nuduh tanpa bukti?” Risma mencoba tetap tenang.
Tora mendekat. “Dan kamu pikir aku juga suci? Kamu pikir aku gak bisa cari pelampiasan juga?!”
Dan di situlah semuanya pecah.
“Jadi kamu ngaku? Kamu juga selingkuh?” mata Risma mulai berair.
“Daripada tidur sendirian setiap malam, ya aku nyari yang mau dengerin. Sama kayak kamu, kan?”
Dunia Risma runtuh perlahan. Ia tahu rumah tangganya sudah lama retak. Tapi mendengar pengakuan itu dari mulut suaminya langsung… berbeda rasanya.
Tora mengambil kunci mobil. “Aku mau keluar. Jangan cari aku.”
Dan seperti biasa, ia memilih pergi. Meninggalkan keheningan yang tak memberi jawaban apa-apa.
Risma hanya menatap punggungnya yang pergi. Tak ada air mata. Hanya kekosongan.
…
Malam menjelang. Hujan masih belum reda. Langit tetap muram, seolah ikut merasakan apa yang tersimpan dalam dada Risma.
Risma duduk di depan cermin. Rambutnya tergerai, wajahnya tanpa riasan. Di matanya, ada luka yang tak lagi bisa disembunyikan.
Ponselnya bergetar lagi.
Bima: “Kamu baik-baik aja? Aku nggak bisa tenang kalo kamu diem-diem gini. Bilang aja. Aku dateng sekarang juga kalau perlu.”
Risma menatap layar ponsel. Lama. Lalu mengetik.
Risma: “Datang aja.”
Tak sampai lima belas menit, suara motor berhenti di depan rumah. Bima turun dengan hoodie hijau , menatap Risma dengan cemas dari balik pagar.
“Nggak papa aku masuk?” tanyanya pelan.
Risma mengangguk. “Naya udah tidur.”
Bima masuk, membasuh tangannya di wastafel, lalu duduk di ruang tamu. Sesekali menatap Risma yang berdiri di depannya, seolah ingin membaca isi hati wanita itu. “Kamu habis nangis, ya?”
Risma hanya mengangguk pelan.
Bima berdiri, mendekat, dan menggenggam tangan Risma. “Kalau aku boleh egois… aku pengin kamu nggak sedih lagi. Aku tahu aku bukan siapa-siapa, tapi setiap kali kamu terluka, rasanya aku pengin jadi orang pertama yang nenangin kamu.”
Risma menunduk. Bibirnya bergetar.
“Kamu bukan pelarian, Bim…”
“Aku tahu. Dan aku nggak minta kamu jadi punyaku sepenuhnya. Aku cuma pengin kamu tahu, kalau kamu capek jadi kuat terus… ada aku di sini.”
Risma mengangkat wajahnya. Menatap matanya yang jernih.
“Kenapa kamu segitu pedulinya sama aku?” suaranya nyaris berbisik.
Bima tersenyum pelan. “Aku… gak tahu kenapa, tapi tiap kamu senyum tuh, rasanya… hidupku jadi lebih ringan. Dan, yah… dari semua notifikasi yang masuk, cuma kamu yang bikin aku nungguin tiap bunyi HP.”
Risma menutup mulut, menahan isak.
Bima mendekat, dan memeluknya. Hangat. Lama.
“Kalau kamu minta aku pergi, aku pergi. Tapi kalau kamu butuh tempat untuk curhat… aku gak akan kemana-mana,” bisiknya di telinga Risma.
Dan di saat itu, semua emosi tumpah. Risma menangis dalam pelukan Bima, seperti anak kecil yang baru menemukan tempat aman.
…
Waktu berlalu begitu cepat. Dalam diam yang menghangatkan, mereka hanya duduk, berbagi sunyi.
Jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Bima masih duduk di sofa, Risma di sebelahnya, menyandarkan kepala di bahunya.
Sunyi. Tapi tidak lagi menakutkan.
“Kalau suatu hari kamu pergi, aku harus gimana?” tanya Risma pelan.
Bima menatap langit-langit. “Kalau suatu hari aku pergi, pasti bukan karena aku berhenti sayang. Tapi karena kamu udah nggak butuh aku lagi.”
Risma memejamkan mata. “Aku takut semuanya hancur.”
Bima menggenggam jemarinya. “Kita sama-sama hancur, Teh. Tapi kadang, dua keping yang retak bisa saling menyempurnakan.”
Dan sebelum malam itu benar-benar usai, Bima menatap wajah Risma dengan serius.
Aku gak janji apa-apa, Teh. Tapi… kalau kamu masih izinin aku… aku pengin tetap di sini. Temenin kamu. Gak tiap saat sih, tapi… di pagi-pagi yang kamu ngerasa kosong, aku mau ada.”
Risma tak menjawab. Hanya menggenggam tangannya erat.
Dan seperti tak ingin pagi datang terlalu cepat, mereka tetap diam di sana, saling bersandar di kesunyian.
…
Fajar mulai merangkak naik. Malam yang panjang menyisakan kelelahan dan sisa-sisa kenyataan yang tak bisa dihindari.
Pagi menjelang. Tora kembali ke rumah. Langkahnya berat. Wajahnya kusut.
Begitu membuka pintu, ia melihat Risma tertidur di sofa… Sendirian.
Dan di meja, ada cangkir kopi yang sudah dingin. Bersama secarik kertas kecil bertuliskan:
“Kita bisa pura-pura semua ini baik-baik saja. Tapi kamu tahu, aku tahu… semuanya sudah berubah.”
Tora menggenggam kertas itu erat. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… ia merasa takut.
Takut kehilangan sesuatu yang seharusnya ia jaga sejak dulu.
…
Di ujung jalan, dari kejauhan, seseorang berdiri.
Bima. Hoodie hijau, tatapan tenang. Menatap rumah itu sekali lagi sebelum melangkah pergi.
Karena kadang... yang bikin kita bertahan itu bukan orang yang punya kita. Tapi orang yang datang... pas kita nyaris tumbang.
Dan Bima datang. Saat Risma hampir hancur.
***