Risma duduk di teras rumahnya yang sederhana, secangkir teh melati di tangan mulai dingin. Kucing anggora putih, Lilo, tidur di pangkuannya. Angin sore menyapu rambutnya yang tergerai, tapi pikirannya jauh melayang.
Rumah itu kecil, berlantai keramik lama, dindingnya sempat dicat ulang oleh Tora sebelum berangkat kerja ke luar kota. Dari jendela dapur, terdengar suara detak jam tua, mengisi sunyi yang tak pernah benar-benar hilang.
“Mamaa! Mobilnya bisa nyala pakai remote, lho!”
Naya, putrinya yang berumur lima tahun, berlari sambil membawa mobil mainan.
Risma tersenyum hangat, membelai kepala Naya. “Iya, keren ya, Sayang?”
Naya kembali bermain, sementara Risma menatap langit senja. Di kepalanya berputar kenangan, wajah-wajah pria yang pernah singgah dalam hidupnya. Tapi hatinya tetap setia pada satu pria… suaminya, Tora.
Tapi akhir-akhir ini, bayangan Tora terasa makin jauh. Ia tetap suaminya, namun kehadirannya makin seperti bayang-bayang. Telepon yang makin jarang, pesan singkat yang makin hambar.
“Masihkah aku satu-satunya untuknya?” bisik Risma dalam hati.
Pintu depan berderit, suara Bu Atik, tetangga sebelah, terdengar.
“Assalamualaikum, Risma! Saya bawa cemilan nih, pastel dan bakwan.”
Risma menoleh dan tersenyum. “Waalaikumsalam, Bu Atik.”
Ia mengangguk, menerima plastiknya. “Makasih, Bu. Naya pasti suka.”
Bu Atik menggodanya, “Lagi ngelamun, ya? Pikiran emak-emak pasti banyak.”
Risma tertawa kecil. “Iya, Bu. Kadang mikirin banyak hal.”
Bu Atik melirik dan berbisik, “Pikiran emak-emak atau pikiran mamah muda yang cantik?”
Risma hanya tersenyum. Itu memang candaan Bu Atik, tapi hatinya tetap tenang.
Risma mengusap lembut kepala Lilo yang masih tidur di pangkuannya. Suara tawa kecil Naya dari halaman belakang membawa kehangatan tersendiri di hatinya. Meski hidup sederhana, kebahagiaan sederhana seperti ini yang selalu ia syukuri.
“Bu Atik, makasih ya buat cemilannya. Senang banget bisa ngobrol-ngobrol santai sama Ibu,” kata Risma sambil tersenyum ramah.
“Sama-sama, Risma. Nanti saya bawa teh manis juga, biar makin lengkap,” jawab Bu Atik dengan senyum lebar.
Setelah Bu Atik berlalu, Risma kembali menatap ke kejauhan. Kenangan itu datang lagi, seperti gelombang yang tak bisa ditahan.
Ada hari-hari di mana ia ingin menangis tanpa sebab. Bukan karena luka baru, tapi karena luka lama yang belum sembuh.
Ia selalu bilang pada diri sendiri bahwa ia kuat. Tapi kuat bukan berarti tak pernah goyah.
Sunyi kembali terasa. Jam berdetak pelan, angin sore membawa rasa sepi. Risma memeluk tubuhnya sendiri, mencoba menghangatkan hati yang terasa hampa.
Risma menatap langit senja sambil memikirkan suaminya, Tora. Hubungan mereka baik-baik saja, penuh pengertian dan kasih sayang, meski Tora sering kali harus bekerja jauh di luar kota. Kesibukannya mencari nafkah membuatnya jarang pulang, tapi Risma selalu setia menunggu dan menjaga rumah serta putri kecil mereka, Naya.
“Harus bagaimana aku, ya?” bisik Risma pelan, mencoba menguatkan diri.
Naya mendekat, menarik lengan bajunya. “Mama, main sama Naya, yuk!”
Risma mengangguk, meletakkan cangkir teh dan menggendong putrinya. Untuk Naya, ia harus tetap kuat, tetap ceria.
Risma menggendong Naya ke dalam rumah, menuju ruang tamu yang sederhana tapi hangat. Mainan-mainan bertebaran di lantai, warna-warni yang cerah seperti membawa sedikit kebahagiaan di tengah keruwetan pikirannya. Ia tersenyum saat Naya mengajak bermain mobil-mobilan, suara tawa kecilnya seolah jadi obat terbaik.
Tapi di balik senyum itu, Risma tahu betul hatinya masih dipenuhi kecemasan. Tora yang semakin jarang pulang, pekerjaan yang menumpuk, dan masa depan yang belum jelas. Namun untuk Naya, Ia harus menepis semua keraguan itu.
Malam-malam panjang tanpa kabar, ulang tahun pernikahan yang dilupakan, dan pagi-pagi di mana hanya suara televisi yang menemaninya sarapan… semua menjadi rutinitas yang ia pelajari untuk terima.
“Mama janji, ya, kita akan selalu bersama. Mama akan selalu ada buat Naya,” ucap Risma pelan, seperti membisikkan sebuah doa dalam hatinya sendiri.
…
Senja perlahan meredup, digantikan oleh malam yang merangkak masuk dengan pelan.
Suara radio pelan terdengar dari sudut ruangan, sementara Risma membacakan cerita pengantar tidur untuk Naya. Di sela-sela kalimatnya yang pelan dan penuh kasih, pikirannya terus melayang, bertanya-tanya kapan Tora akan pulang kembali.
Risma menarik selimut Naya hingga menutupi dada putrinya, lalu mematikan lampu tidur.
Malam-malam begini, saat sunyi justru terdengar paling bising, Risma sering bertanya pada dirinya sendiri... siapa yang sebenarnya ia rindukan? Dan tanpa perlu jawaban, wajah Bima muncul begitu jelas di kepalanya… tatapannya yang membakar, sentuhan yang masih terasa di kulitnya, serta bisikan-bisikan yang membuatnya luluh tanpa bisa melawan.
Ia mengenalnya dari counter HP tempatnya biasa memperbaiki ponsel… Bima, Remaja berbadan tinggi dengan senyum tenang dan sorot mata yang terlalu dalam untuk anak seusianya. Awalnya hanya bertukar keluh soal harga charger, lama-lama jadi percakapan yang dalam tentang hidup.
“Mbak ini cerewet juga ya soal harga,” goda Bima sambil menata kabel charger di etalase.
Risma tersenyum malu. “Namanya juga emak-emak.”
Percakapan singkat itu terus berulang, dan entah sejak kapan, Risma mulai menunggu-nunggu alasan untuk kembali ke counter itu.
Awalnya hanya candaan receh dan senyum basa-basi. Tapi dari situlah semua bermula… perhatian kecil yang terasa tulus, sorot mata yang membuatnya lupa bahwa ia sudah bukan gadis muda lagi.
Dan di saat-saat sunyi menggerogoti hatinya, Ia teringat pada semua pria muda yang pernah singgah dalam hidupnya… dengan rayuan manis, perhatian sesaat, dan janji-janji samar yang tak pernah benar-benar ditagih.
Mereka datang dan pergi begitu saja, memberi rasa sesaat, tapi tak pernah tinggal lama di hatinya."
Tapi Bima berbeda. Hanya kepada Bima, Risma rela menyerahkan dirinya sepenuh hati… dan tubuhnya, tanpa banyak tanya, tanpa banyak janji. Karena Bima bukan cuma pelarian… dia tempat Risma lari saat semuanya terasa terlalu sunyi.
Ingatan itu membawanya kembali ke suatu pagi di lantai dua counter hp milik Bima. Lampu temaram, suasana sepi, dan detik-detik di mana mereka tenggelam dalam pelukan yang tak seharusnya. Bukan hanya karena Bima lebih muda, tapi karena Risma adalah wanita yang sudah bersuami.
Namun pagi itu, segala batas luluh… entah oleh rindu, kesepian, atau rasa yang sudah lama dipendam. Sentuhan mereka bukan sekadar fisik… ada kerinduan yang mereka lepaskan diam-diam di balik ciuman yang tak pernah dijanjikan.
Ia sempat ragu, sempat ingin mundur. Tapi tangan Bima menggenggamnya terlalu lembut, dan matanya terlalu jujur.
“Kalau ini salah, aku cuma pengin kamu tahu... aku nggak nyesel."
Dan Risma, yang lelah menyangkal rasa sepi, hanya membalas dengan diam.
Mereka sama-sama kesepian, sama-sama merasa ditinggalkan oleh dunia. Dalam bisu yang mengikat, mereka menemukan pelarian. Bukan karena cinta yang dijanjikan, tapi karena kenyamanan yang tak bisa dicari di tempat lain.
Setelahnya, tak ada kata cinta. Hanya tatapan hening, dan sebuah jeda panjang yang tak pernah benar-benar selesai.
Risma memejamkan mata, dada sesak oleh rasa bersalah yang kembali mengendap. Tapi juga oleh kehangatan yang… betapapun ia coba ingkari… pernah membuatnya merasa hidup kembali.
Dan malam itu, tetap jadi rahasia yang tak pernah ia bagi... bahkan pada dirinya sendiri.
Di luar, suara jangkrik mulai terdengar samar. Lampu jalan menyorot temaram ke jendela kamar. Malam terasa panjang, seakan memberi ruang bagi rahasia itu untuk tetap diam di tempatnya.
Mungkin suatu hari, Tora akan tahu. Atau mungkin, Bima akan pergi seperti yang lainnya.
Tapi pagi itu… pagi yang hanya milik mereka… akan tetap ia simpan dalam dada. Sebagai rahasia. Sebagai luka. Tapi juga, sebagai satu-satunya pagi di mana ia merasa dicintai… meski tanpa janji.
***