Cherreads

Chapter 26 - Barisan VIP

Di sisi lain ruangan konser yang megah itu,

Sebelum jam 17:00.

Kareesa duduk di barisanVIP bersama Sebastian.

Tempat duduk mereka berbalut kain beludru merah tua, menyatu dengan suasana SalleGaveau yang hangat dan klasik.

Lampu kristal menggantung dari langit-langit dengan cahaya yang lembut, memperindah arsitektur bergaya BelleÉpoque yang menciptakan atmosfer seperti berada dalam lukisan hidup.

Namun, meski segalanya terasa elegan dan memesona, Kareesa justru tampak gugup.

Ini kali pertama ia menonton pertunjukan musik klasik.

Suara-suara riuh rendah dari penonton yang bersiap, senyuman sopan dari para penikmat seni, dan wajah-wajah yang penuh ekspektasi membuatnya merasa seperti orang asing di tengah pesta yang mewah.

Ia melirik jam tangannya.

Sudah pukul lima tepat.

"Konser sudah dimulai," pikirnya.

Tapi entah kenapa, ia merasa sedikit bosan. Mungkin karena ia tidak terbiasa, atau karena pikirannya masih tertinggal di tempat lain.

Ia lalu memainkan ponselnya diam-diam, mencoba mengusir kegelisahan yang tanpa alasan jelas.

Sebastian yang menyadari itu segera menggenggam telapak tangan Kareesa.

Sentuhannya terasa hangat, lembut, dan penuh harapan.

"Pertunjukan sudah dimulai, lihat Kareesa," katanya sambil mengangguk ke arah panggung yang mulai menyajikan pembukaan.

Kareesa menoleh setengah hati.

Namun saat alunan lembut dari orkestra mulai mengalir seperti angin musim semi yang menyapa kulit, matanya perlahan membulat.

Musik itu bukan hanya suara, itu adalah emosi, napas, dan seakan-seakan seseorang sedang berbicara dengan hatinya tanpa kata.

Namun, di tengah keheningan dan kekhusyukan konser,

perut Kareesa tiba-tiba terasa aneh.

"Astaga, kenapa sekarang?" gerutunya dalam hati.

Dengan sedikit malu-malu, ia mencondongkan tubuh ke arah Sebastian.

"Aku... aku ke toilet sebentar," bisiknya.

Sebastian mengangguk dan segera menuntunnya keluar.

Di luar toilet, Sebastian menunggu dengan sabar, mendengar lantunan Waltz No. 2 yang mengalun lembut dari dalam ruangan.

Nada-nadanya yang menyayat dan melayang-layang seperti membawa ingatan jauh ke masa lalu.

Meski berada di luar, Sebastian tampak terpukau, seolah musik itu tetap berhasil menjangkau jiwanya.

Setelah sekian lama, akhirnya Kareesa keluar dari toilet dengan wajah kesal.

"Kayaknya karena kebanyakan minum tadi di café," gerutunya pelan.

Sebastian tampak khawatir, lalu memeluk Kareesa dengan erat.

Saat mereka masuk kembali ke ruangan konser, lantunan

"Can't Help Falling in Love" baru saja berakhir.

Sebastian bertepuk tangan dengan mata berbinar.

"Wow. Indah sekali… pemain biolanya sungguh luar biasa," katanya penuh kekaguman.

Kareesa hanya sempat menoleh sekilas ke panggung.

Pemain biola itu menunduk, wajahnya tidak terlihat jelas.

"Ya ya… bagus," jawabnya datar, berusaha menyembunyikan fakta bahwa dia nyaris tidak mendengar apa pun dari penampilannya.

Mereka kembali duduk di kursinya.

Di samping mereka, terdengar seorang wanita terisak pelan.

Mungkin seseorang yang memiliki kenangan tersimpan dengan lagu itu.

Kareesa sesekali menoleh, merasa kikuk.

Tapi kemudian, ia ikut memberi tepuk tangan saat semua orang bertepuk tangan, karena itu yang harus dilakukan.

Sebastian terlihat sangat antusias, bahkan lebih dari siapa pun.

Tiket yang awalnya ia beli untuk Kareesa, kini justru membuat dirinya tenggelam dalam euforia musik.

Sepanjang acara berlangsung, Kareesa tidak bersungguh-sungguh menyaksikan pertunjukan itu.

Sesekali dia memainkan game favoritnya di ponselnya.

Lalu…

"Historia de un Amor" mulai dimainkan.

Alunan nada itu begitu mendalam, menyayat tapi hangat, menyentuh jiwa dengan cara yang tak bisa dijelaskan.

Kali ini, untuk pertama kalinya malam itu, Kareesa benar-benar menoleh ke panggung.

Musik itu terasa seperti suara hatinya yang berbicara tanpa perantara.

Dan saat ia melihat sang pemain biola…

Senyum itu, senyum yang hangat dan misterius, tampak jelas di balik instrumennya.

Meski wajahnya sebagian tertutupi oleh biola dan rambutnya yang mulai jatuh, entah kenapa hati Kareesa seperti ditarik mundur ke taman itu, ke momen ciuman yang tak disengaja itu.

Itu seperti dia.

Namun, bedanya yang di taman itu terlihat berantakan, dan wajahnya terlihat tidak seglowing di panggung ini.

Itu senyum yang sama.

Degup jantungnya seolah terhenti, lalu berpacu kencang tak terkendali.

"Kenapa... kenapa terasa mirip sekali..." batinnya, berusaha menolak perasaan yang tiba-tiba datang itu.

Di sampingnya, Sebastian tersenyum puas melihat Kareesa yang kini memandang panggung dengan ekspresi terpukau.

"Kamu suka? Keren kan?" tanyanya lembut.

Kareesa tak menjawab segera.

Matanya masih terpaku ke arah panggung, seolah ingin menangkap sesuatu lebih dari sekadar pertunjukan.

Mulutnya akhirnya membuka pelan, suaranya nyaris berbisik.

"Ya..."

Tapi hatinya berkata lain,

"Kenapa aku merasa… aku mengenalnya?"

Konser pun selesai dengan meriah.

Riuh tepuk tangan menggema dari seluruh penjuru ruangan konser seperti gelombang ombak yang memecah pantai.

Semua orang berdiri, memberi standing ovation penuh penghargaan.

Suara teriakan, pujian dalam berbagai bahasa dunia, Italia, Prancis, Inggris, dan Mandarin mengisi udara seperti melodi tambahan yang datang dari hati para penonton.

Di antara lautan manusia itu, Kareesa bangkit dari duduknya, namun tubuh-tubuh tinggi menjulang di sekelilingnya membuat pandangannya terhalang.

Ia berjinjit, mencoba mengintip ke panggung, berharap sekilas saja bisa melihat wajah pria pemain biola itu dengan jelas.

Tapi lagi-lagi gagal.

Hanya kilatan cahaya panggung dan punggung para penonton asing yang memenuhi pandangannya.

Kepalanya menoleh ke arah panggung, tapi tak bisa menemukan titik fokus.

Ia mendesah pelan.

"Pantas saja wanita di café itu berkata 'Verez'," ucap Sebastian, masih memandangi panggung dengan mata berbinar.

"Ternyata Verez memang benar-benar hebat! Kamu mau tidak, kalau nanti pernikahan kita... kita panggil dia untuk tampil?"

Kareesa menoleh cepat.

Pernikahan.

Kata itu bergema di dalam benaknya seperti gema biola yang menggantung di udara barusan.

Sesuatu dalam dirinya terasa berat, entah kenapa. Tapi ia tetap mengangguk pelan, suaranya seperti keluar dari ruang yang jauh:

"Boleh..."

Suara Sebastian terdengar bersemangat, sementara hati Kareesa justru terasa tenggelam.

Saat mereka kembali duduk, sorotan lampu panggung berpindah ke sisi lain.

Seorang penyanyi seriosa melangkah anggun ke tengah panggung, Mirusia, wanita bersuara malaikat yang terkenal karena kemampuannya menyentuh jiwa manusia hanya lewat nada tinggi dan getaran vokal.

Cahaya keemasan menyinari rambut pirangnya yang digelung rapi.

Nada pertama ia nyanyikan dengan lirih, dan dunia pun seolah membeku.

Suasana auditorium berubah, menjadi tenang, sendu, seperti senja yang turun perlahan.

Beberapa penonton tampak menyeka air mata. Diiringi gesekan biola lembut dan piano klasik, suara Mirusia menyayat hati.

Lagu itu bukan hanya tentang cinta, tetapi tentang penantian, kehilangan, dan pengharapan.

Kareesa tidak melihat, ia hanya mendengar.

Dan itu justru membuat suaranya terasa lebih menyentuh. Matanya menatap kosong ke kursi di depannya.

Ia tidak tahu siapa penyanyi itu.

Ia bahkan tidak tahu siapa yang mengiringi.

Tapi biola itu... alunan lembut yang mengalir menyentuh relung jiwanya, entah mengapa membuatnya ingin menangis.

Sebastian meremas tangan Kareesa dengan lembut, lalu berkata:

"Aku akan booking Verez."

Kata-katanya meluncur ringan, namun terasa seperti batu yang dijatuhkan ke danau tenang dalam dada Kareesa.

Ia mengerjap, menoleh pelan.

"Tapi… kan pernikahan kita belum tahu kapan?" tanyanya hati-hati, suaranya nyaris tak terdengar di tengah gemuruh emosi lagu yang sedang dilantunkan.

Sebastian tersenyum, tenang dan yakin. "Bukankah lebih cepat lebih baik?"

Kareesa terdiam.

Dadanya serasa diremuk.

Ia ingin menjawab, ingin menolak, ingin mengatakan bahwa ia belum siap, belum yakin, belum pulih.

Tapi di antara suara seriosa dan gesekan biola, mulutnya membeku.

Suaranya tidak keluar, dan hatinya pun ikut membisu.

Di sekitar mereka, suasana menjadi lebih emosional.

Bahkan pria-pria berkemeja hitam dan ibu-ibu bangsawan yang anggun mulai mengusap mata. Mirusia benar-benar membawa semua orang pada perasaan paling jujur yang mereka miliki malam itu.

Kareesa tenggelam di antara suara-suara itu, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Kenapa aku merasa sedih? Kenapa aku ingin menangis? Kenapa lagu ini... seperti mengingatkanku pada seseorang?"

Bayangan akan senyum samar di balik biola tadi kembali melintas di benaknya.

Walau hanya sepersekian detik, senyum itu begitu akrab… seolah milik seseorang dari masa lalu.

Dari taman.

Dari ciuman pertamanya.

"Ini sampai jam berapa sih?" tanyanya perlahan, mencoba mengalihkan kegundahan hatinya.

Sebastian melirik jam tangannya dan menjawab dengan tenang:

"Sebentar lagi selesai. Nyanyian ini yang terakhir."

Nada bicaranya seperti pemandu tur yang tahu seluruh isi gedung dan jadwal pertunjukan.

Kareesa mengangguk.

Ia menoleh sedikit, tidak ke panggung… tapi ke arah suara. Ia tidak sanggup lagi melihat cahaya yang begitu terang, sorotan yang begitu jelas.

Baginya, malam ini justru menjadi panggung untuk menyadari kegamangan hatinya sendiri.

Tepuk tangan panjang kembali terdengar saat lagu selesai.

Tapi di dalam hati Kareesa… konsernya belum selesai. Ada satu nada yang belum terselesaikan.

Sebuah melodi yang masih berputar di dalam dirinya.

Melodi dari taman.

Melodi dari senyum seseorang yang belum ia kenali. Dan hati yang belum bisa ia bohongi.

More Chapters