Cherreads

Chapter 4 - Chapter 4

Izagiri berdiri dengan tenang di tengah reruntuhan, diapit oleh tumpukan puing dan debu yang melayang tipis. Suara langkah merayap dari para Anomalies kini semakin dekat, menggema seperti irama kematian yang perlahan namun pasti.

Ia memutar lehernya ke kiri dan kanan, terdengar suara krek yang khas, lalu disusul dengan regangan pada pergelangan tangannya, jari-jari mengatup dan membuka, seperti seseorang yang baru saja bangun dari tidur siang dan hendak memulai pekerjaan hariannya.

"Keadaan yang serupa ya, Kakak kesayangan." Ucap Izagiri dengan nada santai, meskipun matanya menyala tajam—penuh kesiagaan dan kenikmatan bertarung.

Feona berdiri tepat di sebelahnya, satu tangan mengangkat rambutnya dan mengikat cepat dengan tali tipis, sementara tangan lain menggenggam belati melengkung dengan ujung yang mengilap.

"Ya, adik kesayanganku. Atau… menjengkelkan?" gumamnya sambil memutar-mutar pisau itu di sela jari, lalu meregangkan pinggangnya ke kanan dan kiri seperti sedang bersiap untuk sesi yoga—padahal di hadapan mereka adalah sepuluh kematian yang lapar.

Mereka berdua berdiri saling membelakangi, seperti dua kutub yang berputar dalam irama maut. Gerakan Anomalies semakin cepat, napas mereka berat, dan tanah mulai bergetar seiring derap merangkak mereka.

Namun di tengah tekanan dan bahaya, tidak ada rasa takut. Yang ada hanya...

Pertunjukan. Dan panggung itu… adalah neraka yang siap mereka buatkan sendiri.

Suara desingan peluru yang nyaris hening terdengar seperti bisikan kematian saat Izagiri mengangkat senapan AH miliknya. Dengan satu tarikan napas, dia mulai menarik pelatuk—satu, dua, tiga tembakan—dan setiap peluru melesat dengan presisi surgawi. Peluru-peluru itu menembus tubuh para Reaver Maw, menancap tepat di sendi pergerakan dan titik lemah mereka.

Feona tidak mau kalah. Dengan langkah ringan dan penuh kelincahan, ia melompat ke sisi kanan Izagiri, pistol peredamnya menciptakan irama bisu yang mematikan. Setiap tembakan Feona adalah tarian, peluru melesat tanpa suara, namun dengan hasil yang brutal—makhluk tanpa kepala itu tumbang satu per satu, seolah sedang dipangkas oleh tangan tak terlihat.

Izagiri bergerak maju, satu tangan tetap menggenggam senapan, tangan lainnya sesekali melempar granat mini khusus untuk mengacaukan sensor pendengaran para Anomalies. Setiap ledakan kecil hanya menambah ruang bagi mereka untuk bergerak, dan setiap celah dimanfaatkan tanpa ragu.

Feona meluncur seperti bayangan, menyelinap di antara reruntuhan, belatinya melayang dan menyayat bagian dalam mulut dada para Reaver Maw. Gerakannya nyaris tanpa suara, namun mengerikan.

Tubuh demi tubuh jatuh. Tanah dipenuhi darah hitam kental dan aroma busuk dari daging membusuk terbakar oleh peluru sihir. Namun langkah Izagiri dan Feona tidak goyah.

Mereka bukan prajurit biasa.

Mereka adalah harapan terakhir.

Dan malam ini… mereka adalah jagal dari kegelapan.

Izagiri melesat maju seperti peluru, menghindari sergapan dari dua Reaver Maw sekaligus. Dalam satu gerakan mulus, ia memutar tubuh dan mengunci leher makhluk besar itu—meskipun makhluk itu tidak punya kepala, bagian atas tubuhnya bisa digenggam seolah itu adalah bahu dan tulang rusuk yang terbuka.

Dengan kekuatan brutal, Izagiri melompat tinggi ke udara, membawa Reaver Maw bersamanya. Dalam putaran di udara yang singkat, ia mengubah momentum dan menghantamkan tubuh makhluk itu ke tanah dengan suara keras BOOM!—tanah retak, dan debu mengepul.

Namun makhluk itu masih bergerak, meronta dengan raungan serak dari mulut dadanya yang menganga.

Seketika itu juga, Feona datang seperti bayangan yang melesat cepat. Dengan gerakan terlatih, ia meluncur ke arah tubuh Reaver Maw yang tergolek, dan dengan satu ayunan presisi, ia menusukkan belatinya tepat ke bagian inti berdenyut yang tersembunyi di antara tulang dada makhluk tersebut.

Makhluk itu menggeliat keras, tubuhnya berkedut hebat seolah sedang mengalami kejang-kejang terakhir, sebelum akhirnya tubuhnya terdiam. Cairan hitam menyembur dari luka itu, dan Reaver Maw itu mati dalam diam, dengan sorotan tajam Izagiri dan ketenangan mematikan dari Feona.

"Kau masih kuat juga ya, Reaper." Ucap Feona sambil menarik belatinya kembali.

"Kalau aku tidak kuat, siapa yang jaga kakaku tersayang?" Izagiri menatapnya sambil tersenyum miring.

Feona mendengus kecil, tapi tak bisa menahan senyuman tipis di sudut bibirnya.

Mereka berdiri di antara puing-puing dan darah yang menggenang, nafas masih teratur meski tubuh tegang. Asap dari tembakan sebelumnya mulai menghilang, menyisakan udara yang lembap dan aroma besi yang menusuk.

Feona melirik sekeliling. “Tidak ada lagi Reaver Maw... setidaknya untuk sekarang,” gumamnya, mengatur ulang pelurunya dengan cepat.

Namun perhatian mereka segera tertuju pada kejauhan, di mana siluet-siluet gelap mulai bermunculan dari balik reruntuhan bangunan. Gerombolan Dread—makhluk-makhluk yang pernah menjadi manusia—bergerak terseret, namun jumlah mereka mengerikan. Puluhan, mungkin lebih.

Mereka tidak melihat, tapi jelas mereka mendengar.

Suara benturan Reaver Maw tadi... sudah cukup menjadi panggilan makan malam.

"Mereka mendekat. Reaksi lambat, tapi insting mereka kuat," ujar Izagiri dengan nada tenang, namun matanya sudah menghitung jarak dan kemungkinan jalan keluar.

"Pendengaran mereka... terlalu sensitif," Feona merespon sambil perlahan menarik Izagiri untuk mundur ke arah gang sempit yang penuh bayangan.

"Sepertinya kita harus menjauh sebelum pesta dimulai," kata Izagiri, memasang kembali peredam senjatanya dan memeriksa suntikan yang ia bawa sebelumnya.

Mereka mulai mundur perlahan, tidak tergesa, tidak panik. Dalam senyap, dua sosok bayangan G.C.O ini kembali menyusup dalam gelap, meninggalkan jejak kematian di belakang dan mempersiapkan diri menghadapi yang berikutnya.

Malam mulai turun, menyelimuti dunia dengan kegelapan yang hampir tak tertembus. Langkah kaki mereka cepat namun terukur, menembus hutan yang gelap dan lebat. Ranting dan dedaunan basah menyambut setiap gerakan mereka dengan suara lirih, hampir tenggelam dalam sunyi.

Izagiri memimpin, senapan AH-nya siap di tangan. Matanya tajam, menelisik setiap bayangan di antara pepohonan. Sementara Feona mengikuti di belakangnya, gerakannya gesit dan nyaris tanpa suara, pistolnya selalu diarahkan ke sisi kanan, berjaga dari sergapan.

Hutan ini bukan tempat yang ramah. Mereka tahu itu.

Namun dibanding dikepung oleh puluhan Dread, kegelapan hutan justru terasa seperti sekutu yang melindungi.

"Seberapa jauh menurutmu tempat ekstraksi?" tanya Feona pelan, nyaris berbisik.

"Jika koordinat yang dikirim Cessia benar… sekitar dua kilometer ke arah timur laut," jawab Izagiri sembari tetap berlari.

Di tengah keheningan, suara-suara samar mulai terdengar dari kejauhan. Seperti gemerisik… atau nafas.

Mereka berhenti sejenak, bersembunyi di balik batang pohon besar.

Feona menoleh, matanya tajam. “Sepertinya kita tidak sendirian di hutan ini.”

Izagiri hanya mengangguk, lalu mengangkat senjatanya. "Apa pun itu, kita selesaikan cepat. Kita belum boleh mati di sini."

Lalu, mereka kembali bergerak dalam diam, dalam bayangan, menyusuri gelapnya hutan yang menyembunyikan lebih dari sekadar pepohonan.

Kabut tipis mulai turun dari pepohonan tinggi, menutupi pandangan dan menyelubungi suara langkah kaki mereka. Aroma lembab tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara. Di kejauhan, gemuruh pelan dan langkah seret terdengar—puluhan Dread masih berkeliaran, mengendus udara, mencari sumber suara yang menggangu insting haus mereka.

Izagiri melirik cepat ke arah kanan, memetakan medan dengan cepat.

"Ambil jalan memutar ke kanan," ucapnya tenang, tapi tegas.

Feona tanpa ragu mengangguk dan mengikuti, gerakannya masih sehalus bayangan. Mereka menghindari ranting, tidak menjejak dedaunan kering—semua demi satu hal: keheningan.

Mereka berlari menyusuri jalur sempit yang dibentuk oleh akar pohon besar dan semak tinggi. Cahaya dari langit hampir tak menembus kanopi, membuat semuanya terlihat seperti labirin suram.

"Kita bisa memotong dari tebing batu di depan sana," ujar Izagiri, menunjuk ke sebuah dinding alam yang menjulang, terselip di antara rerimbunan.

"Aku benci tebing," gumam Feona, namun tetap melangkah tanpa ragu.

Mereka tidak punya pilihan selain terus bergerak. Dread yang tertinggal tadi sudah mulai mengarah ke tempat pertarungan sebelumnya, waktu mereka tinggal sedikit.

Namun satu hal pasti: keduanya sudah terlatih untuk menghadapi neraka. Dan malam ini, hutan itu hanya satu neraka kecil lainnya.

Setelah mencapai sisi dinding tebing yang licin dan tertutup lumut, langkah mereka melambat. Suara para Dread masih samar di kejauhan, namun cukup membuat mereka tahu: waktu tak berpihak.

Izagiri menunduk sedikit, lalu menekuk kakinya, menyiapkan posisi. Ia menyatukan kedua telapak tangannya, membentuk pijakan.

"Ayo, Feona," ucap Izagiri pelan namun penuh kepastian.

Tanpa membuang waktu, Feona mundur beberapa langkah, lalu berlari kecil dan melompat ke atas telapak tangan Izagiri. Dalam sekejap, Izagiri mendorong tubuhnya ke atas dengan kekuatan penuh. Feona melayang ke udara, mencengkeram sisi tebing, dan dengan lincah menarik dirinya ke atas.

Begitu tiba di atas, ia berjongkok, mengamati sekeliling. Senjatanya siap di tangan, napasnya ditahan, dan matanya menyapu setiap bayangan di antara pepohonan.

"Aman. Ayo naik," bisiknya.

Izagiri mulai memanjat, dan Feona dengan cepat meraih tangannya. Dengan bantuan kecil namun kuat dari Feona, Izagiri berhasil mencapai atas tebing itu. Mereka berdua kembali berdiri berdampingan, napas masih teratur, mata tajam menatap ke depan.

Namun tiba-tiba, suara batu yang terlepas dari tepian tebing menggelinding jatuh, menabrak bebatuan lainnya dan menimbulkan bunyi keras yang bergema di antara pepohonan.

Keduanya sontak menoleh ke belakang.

"Gawat..." gumam Feona pelan.

Dari bawah, terdengar suara geraman, langkah terburu-buru, dan gesekan tubuh-tubuh mengerikan. Ratusan Dread, yang sebelumnya berkeliaran tanpa arah, kini serentak mengangkat kepala, lalu mengalihkan jalur. Indra pendengaran mereka yang tajam segera mengarahkan mereka ke sumber suara.

“Mereka sadar,” ucap Izagiri dengan tenang, meski matanya menyipit tajam.

Tanpa perlu perintah lebih lanjut, keduanya langsung berbalik dan berlari di sepanjang tepian tebing, menembus bayangan pohon-pohon tinggi yang menari dalam gelapnya malam. Ranting-ranting berdenting lembut saat terhempas oleh laju mereka, dan tanah yang becek pun tak cukup menghentikan langkah cepat mereka.

"Mereka bisa memanjat, kalau kita lambat sedikit saja..." Feona tak sempat menyelesaikan kalimatnya.

"Kita tidak akan lambat." potong Izagiri singkat, nada suaranya dingin dan tegas.

Detak jantung mereka berpacu bersama waktu, dan di belakang, suara gerombolan Dread terdengar semakin jelas, seperti simfoni kematian yang mulai mendekat.

Langkah kaki mereka berpadu dengan desir angin malam, menembus hutan yang gelap dan lembap. Daun-daun basah bergoyang saat mereka berlari, napas tertahan dalam dada. Setiap pijakan terasa seperti pertaruhan antara hidup dan mati. Hanya suara jantung mereka yang terdengar dalam kepala, berdetak seperti genderang perang yang ditahan.

Tiba-tiba, Feona menarik lengan Izagiri dengan cekatan dan membenamkan tubuh mereka ke balik pohon besar yang tertutup lumut tebal.

"Sst... Anomalies," bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.

Izagiri mencondongkan tubuhnya sedikit, cukup untuk melihat apa yang dimaksud Feona. Di tengah jalur sempit yang terbelah oleh akar-akar pohon tua, berdirilah sesosok makhluk.

Tingginya menjulang nyaris empat meter, tubuhnya gemuk dengan daging yang tampak menggantung seperti cairan beku. Yang paling menjijikkan adalah punggungnya, ditumbuhi puluhan kepala, masing-masing menyeringai, menangis, atau menganga seperti minta tolong. Kepala-kepala itu seolah memiliki nyawanya sendiri, bergerak-gerak perlahan, mengendus udara sekitarnya.

Izagiri dengan cepat menarik teropong kecil dari sakunya, memutar fokus lensa ke arah wajah makhluk itu—jika itu bisa disebut wajah. Tak ada mata. Hanya daging menebal dan bekas luka. Namun gerakannya... tidak liar. Tidak buta arah. Ia mendengar. Ia merasakan getaran.

"Masih sama..." bisik Izagiri. "Indra pendengarannya dominan. Mungkin bahkan lebih tajam dari Reaver Maw sebelumnya."

Feona mengangguk. Jari-jarinya menekan perlahan fitur pada rompinya, memastikan peredam suara aktif. Tak ada ruang untuk kesalahan. Satu suara, satu patahan ranting... dan makhluk itu akan tahu persis di mana mereka bersembunyi.

Mereka menahan napas. Nafas mereka masih belum sepenuhnya stabil setelah lari panjang tadi, namun suara sekecil apapun bisa jadi mimpi buruk.

Feona merapatkan tubuhnya ke batang pohon yang lebar, matanya mengunci pada makhluk itu tinggi menjulang, gemuk dan menjijikkan, dengan kaki besar yang menyeret lumpur di tanah. Di punggungnya, puluhan kepala menjulur ke segala arah, seperti korban yang dijadikan ornamen mengerikan.

"Kau lihat itu...?" bisik Feona nyaris tak terdengar.

Izagiri mengangguk pelan, tangannya menggenggam teropong kecil berlensa biru. Ia mengamati dari sela-sela dedaunan, memastikan bagian paling penting, mata.

"Tidak ada reaksi cahaya atau gerakan pupil... masih sama, dia buta. Tapi... gerakannya terlalu tenang. Dia pasti mendengar detak jantung seekor burung pun," ujar Izagiri setenang mungkin.

"Kita harus memutar. Kalau satu batu jatuh lagi atau ranting patah, kita bisa dikunyah hidup-hidup," ucapnya tegas.

Makhluk itu jenis Anomalies baru yang belum pernah mereka lihat secara langsung, menghentikan langkahnya sejenak, tubuhnya membeku, seolah mendengarkan sesuatu. Semua kepala di punggungnya tampak bergerak, seperti mengendus atau merespon suara samar di kejauhan.

Izagiri dan Feona saling bertukar pandang.

Tak ada waktu lama. Dengan isyarat tangan yang cepat dan tenang, mereka mulai bergerak perlahan, menjauhi sang monster, menembus semak-semak basah, tak meninggalkan jejak suara, seolah menghilang dalam bayangan malam.

Waktu terasa berhenti. Mereka menanti dalam keheningan, hanya ditemani napas yang sengaja diperlambat dan desir angin yang membawa aroma busuk dari makhluk itu. Ketegangan menusuk, namun mereka tetap diam, seperti bayangan yang bahkan malam pun tak bisa sentuh.

Langkah kaki mereka terus menggema di tengah hutan yang mulai menipis, daun-daun kering beterbangan, menandakan bahwa mereka sudah mendekati perbatasan wilayah ekstraksi. Napas mereka terengah, tubuh sudah diliputi lelah dan keringat, namun misi belum selesai. Izagiri dan Feona akhirnya mencapai lokasi ekstraksi atau yang seharusnya menjadi titik penyelamatan.

Namun pemandangan di depan mereka justru membuat dada terasa lebih berat.

Tempat itu... porak-poranda. Tenda-tenda terbakar, puing-puing berserakan, darah mengering menempel pada tanah, dan bau hangus bercampur daging busuk memenuhi udara. Tidak ada satupun tanda kehidupan. Hanya kehancuran.

Izagiri memeriksa bekas luka pada dinding logam, mengamati goresan dan pecahan senjata yang tertinggal.

“Dan ini juga seperti baru dihancurkan…” gumamnya pelan, matanya menyipit memindai bekas jejak yang ditinggalkan.

Feona berdiri di sampingnya, tangan masih menggenggam pistol. Suaranya lirih, tapi penuh tekanan.

“Makhluk tadi…”

Seolah mengonfirmasi dugaan mereka, suara statis mengalir dari earphone yang terhubung ke pusat komando. Kemudian suara Cassia terdengar, sedikit tergesa namun masih tenang seperti biasanya.

“Izagiri, Feona. Segera tinggalkan lokasi. Tempat itu sudah tidak aman.”

“Kalian harus menuju utara, koordinat 45.353°N, 19.845°E. sebuah titik dekat perbatasan Serbia. Helikopter akan datang dalam tiga puluh menit. Jangan buat suara. Dan jangan berhenti.”

Mereka saling melirik cepat, lalu mengangguk. Tak perlu banyak kata. Mereka tahu, di balik kehancuran itu... sesuatu masih berkeliaran. Dan mungkin, sedang mengendus jejak mereka. Tanpa ragu, Izagiri dan Feona kembali berlari menuju utara, menuju harapan terakhir di tengah gelapnya malam.

Mereka terus berlari tanpa henti, seolah napas tak lagi penting dibandingkan waktu yang terus menipis. Di antara desah napas dan detak jantung yang menggila, hanya satu yang mereka tahu—mereka tak bisa berhenti.

Hutan mulai berubah, pepohonan lebih jarang dan medan semakin menanjak. Setiap langkah disertai dengan kewaspadaan penuh, karena Dread berkeliaran di sepanjang jalur pelarian mereka. Gerombolan makhluk itu muncul dari balik bayangan, tertarik pada suara langkah atau desiran ranting yang patah.

Dor! Dor!

Izagiri menembakkan senapan AH miliknya dengan presisi dingin, peluru menembus kepala Dread satu per satu. Feona mengikuti dengan tembakan senyap dari pistolnya, peluru menghantam titik vital dan menjatuhkan mereka tanpa suara. Tak ada jeda, tak ada keraguan—setiap peluru digunakan seefisien mungkin.

“Cepat, Izagiri!” teriak Feona, menariknya saat satu Dread mulai merayap ke arah mereka dari sisi kiri.

“Aku tahu! Tutup belakang!” balas Izagiri, menembak satu Dread tepat di mata, membuatnya terkapar keras ke tanah.

Tubuh mereka lelah, tapi pikiran tetap tajam. Mereka tahu, hanya sedikit kesalahan bisa berarti kematian. Namun setiap peluru yang mengenai sasaran, setiap langkah yang mendekat ke titik evakuasi, memberi mereka harapan.

Udara semakin dingin, dan langit mulai berubah warna. Mereka hampir sampai. Tapi mereka juga tahu, ancaman yang sesungguhnya mungkin belum muncul.

Langkah mereka terhenti saat mencapai sebuah lapangan terbuka. Tanah di bawah kaki mereka basah, rerumputan lebat yang menutupi tanah tampak seperti tak tersentuh oleh manusia selama bertahun-tahun. Tapi bukan itu yang membuat mereka diam terpaku.

Tidak ada suara baling-baling. Tidak ada bayangan logam di langit. Tidak ada helikopter.

Hanya sunyi… dan kemudian, derap kaki.

Mereka saling melirik, pelan-pelan menunduk, dan menyadari: puluhan Dread berjalan perlahan, melewati mereka. Seakan waktu berhenti, dan detak jantung mereka menjadi satu-satunya suara yang berani terdengar di tengah kesunyian yang menegangkan.

Mereka berdiri di tengah kawanan itu, diapit makhluk-makhluk menjijikkan yang bisa mencabik mereka dalam sekejap. Setiap gerakan sekecil apapun—nafas terlalu keras, telapak kaki bergeser—bisa menjadi akhir.

Feona hanya menatap Izagiri dengan mata yang mengatakan segalanya: Jangan bergerak.

Izagiri menatap balik dengan pandangan tenang, tapi di balik ketenangannya, ia siap meledakkan segalanya jika diperlukan.

Detik-detik berjalan seperti jam. Gerombolan itu perlahan menyeberangi lapangan, dan setiap Dread yang lewat terasa seperti pisau yang melintasi tengkuk mereka.

Namun mereka tetap diam, tetap tak terlihat… berharap helikopter segera datang sebelum semuanya berubah menjadi neraka.

Tiba-tiba, suara ledakan menggema dari kejauhan—dari arah kota yang sebelumnya mereka tinggalkan. Dentuman keras itu seperti merobek kesunyian, mengguncang tanah dan menggema di antara pepohonan.

Puluhan Dread yang semula berjalan melewati mereka langsung terhenti. Kepala-kepala aneh itu menoleh serempak, tubuh mereka menegang seperti binatang buas yang mencium mangsa. Kemudian, tanpa peringatan, mereka bergerak—bergegas menuju sumber suara, meninggalkan lapangan terbuka yang kini hanya menyisakan keheningan dan bau busuk yang tertinggal di udara.

Feona menarik nafas lega perlahan. Izagiri melirik ke langit.

Dan saat itulah, suara baling-baling terdengar.

“Wuuuunggggg...”

Helikopter militer muncul dari balik awan, turun perlahan ke arah lapangan. Angin dari baling-balingnya menerbangkan dedaunan dan debu, membuat keduanya harus menutupi wajah.

“Cepat!” terdengar suara dari dalam helikopter melalui pengeras suara.

Izagiri dan Feona saling pandang sejenak, lalu langsung berlari, bergegas naik dengan senjata masih tergenggam erat. Napas mereka berat, tubuh mereka kotor dan dipenuhi luka, tapi setidaknya untuk saat ini mereka selamat.

Dan dari udara, saat helikopter mulai terbang menjauh, mereka menatap ke bawah... menyadari satu hal:

Apa yang terjadi di kota itu... baru permulaan

More Chapters