Cherreads

Chapter 3 - Chapter 3 - Don't Look Me

Pasar Perbatasan Vilvath Barat, Wilayah Underground

Pagi itu, pasar Vilvath Barat telah dipenuhi hiruk-pikuk khas hari perdagangan. Warga dari berbagai penjuru berdatangan, menyusuri lorong-lorong sempit pasar yang dipenuhi tenda-tenda lusuh, aroma rempah-rempah yang bercampur dengan bau besi, asap dan keringat. Tempat itu bukan sekadar pasar, melainkan denyut nadi bagi masyarakat kelas bawah di wilayah Underground—zona yang berada di bawah pengawasan longgar kerajaan, namun sering kali dilupakan.

Di antara lautan manusia yang sibuk dengan tawar-menawar, dua remaja menyusuri lorong dengan keranjang penuh hasil panen dari halaman kecil panti asuhan mereka. Licht dan Lisshie berjalan beriringan, hendak menitipkan sayuran segar ke kios langganan mereka, seperti rutinitas mingguan biasa.

Namun pagi yang seharusnya damai itu segera terganggu.

Seseorang—berbalut jubah hitam dengan tudung yang menutupi sebagian besar wajahnya—menerobos kerumunan dengan langkah cepat. Gaya berjalannya seperti sedang diburu waktu, atau lebih tepatnya, sedang melarikan diri. Orang-orang terkejut, berhamburan menghindar, namun…

Brakk!

Sosok itu menabrak Lisshie dengan keras, membuat gadis itu kehilangan keseimbangan. Keranjang di pelukannya terlempar ke udara. Tomat-tomat bergulir liar di jalanan, wortel dan sayuran lain terhempas ke tanah becek, sebagian hancur.

“Hei!!” pekik Lisshie, marah dan kesal. Matanya mengikuti bayangan hitam yang menjauh tanpa permisi.

Licht dengan sigap membantunya bangkit. Ia berjongkok, mencoba menyelamatkan beberapa sayuran dari lumpur, namun tak sempat. Sekelompok pria—sekitar tujuh orang, berpakaian serampangan dan berwajah keras—menerobos kerumunan, menginjak-injak sayuran yang tercecer.

Mereka tampak mengejar seseorang. Tidak ada waktu untuk basa-basi.

“Lisshie, tunggu di sini. Aku akan minta pertanggungjawaban mereka,” kata Licht, menurunkan buntalan kayu dari punggungnya. Tanpa menunggu balasan, ia melesat mengejar kelompok tersebut, lenyap dalam lautan manusia.

“Licht! Tunggu!!” seru Lisshie, tapi suara dan langkahnya tertelan keramaian.

Beberapa warga menoleh, namun seperti biasa, mereka tak peduli. Dunia Underground tak punya ruang untuk ikut campur dalam urusan orang lain.

Seorang pria paruh baya dengan janggut keabu-abuan dan pakaian lusuh mendekat. “Lagi-lagi mereka… Sepertinya kau kurang beruntung hari ini, Lisshie.”

“Terima kasih, Tuan Stenly,” jawabnya dengan senyum lega.

Old Stenly, pemilik kedai kayu bakar tempat biasa mereka menjual kayu bakar, Kedai tua di sudut pasar, Ia mengangguk dan membantunya Gadis yang dia kenal dan menyusun kayu bakarnya dan membawa tepat kedepan kedainya, namun sayuran mereka yang hendak di jual kepada Mrs. Symir tidak terselamatkan

...

Sementara itu, Licht mengejar kelompok berandalan yang mengepung sosok berjubah tadi. Mereka berbelok ke gang sempit di antara bangunan tua, lorong gelap dan lembap dengan aroma busuk yang menusuk. Di ujung lorong, sosok berjubah itu terpojok. Tujuh pria mengepungnya sambil menyeringai penuh niat jahat.

“Mau lari ke mana lagi, bajingan?!” teriak salah satu dari mereka.

Sosok itu bergeming, menyiapkan kuda-kuda bertahan. Saat salah satu dari mereka maju dan menyerang, ia bereaksi cepat. Tendangan ke perut, pukulan ke rahang, dan satu gerakan mengguling ke samping untuk menghindari serangan tongkat.

Namun, meski gesit dan terlatih, jumlah tetap bukan hal yang mudah dilawan.

Sebuah pukulan keras mendarat di perutnya. Tubuhnya terlempar ke tumpukan kotak kayu. Belum sempat bangkit, dua orang langsung mengunci kedua lengannya. Pemimpin mereka, pria bertubuh tinggi besar dengan rambut merah awut-awutan, mendekat sambil memungut tongkat.

Ia memukul wajah lawannya hingga tudungnya terlepas.

Rambut biru gelap sebahu. Wajah muda dan feminin, berdarah di sudut bibirnya. Mata pemimpin geng itu melebar.

“Heh... Seorang gadis?” ujarnya sambil menyentuh dagu remaja itu.

“Aku laki-laki, dasar bajingan,” dengusnya penuh kebencian.

“Heh… Lupakan. Aku cuma ingin tahu satu hal: kenapa kau membakar markas kami?” Pria itu menyeringai kejam, tangannya menyentuh pipi lawannya.

Chuuuh!

Remaja itu meludah ke wajahnya.

“Kurang ajar!!” teriak si bos, mengangkat tongkatnya, hendak memukul wajah remaja itu.

Tap.

Tangan Licht mencengkeram tongkat itu.

“Total ganti rugi sayuranku hanya tiga Cresil,” ucap Licht dengan nada dingin.

Pemimpin geng itu melirik Licht dengan heran. “Siapa kau?”

“Kau telah menginjak dagangan kami.”

Saat ia melirik ke belakang, terlihat empat anak buah si bos telah tumbang. Pria berambut merah itu mulai panik.

“H-hajar dia!!”

Dua anak buah yang tersisa segera menyerang. Licht menghindar dengan mudah, lalu menendang salah satunya hingga tersungkur. Yang tersisa mencoba menendang Licht—namun Licht menghindar, dan…

Brukk!

Tendangan pria itu malah mendarat di wajah bos mereka sendiri. Licht telah menggenggam kepala si bos, membuatnya menjadi perisai hidup. Sang bos jatuh pingsan.

“3 Cresil,” ulang Licht, melirik ke salah satu anggota geng yang masih sadar.

Pria itu buru-buru menggeledah kantong si bos dan menyerahkan tiga koin logam sebelum menyeret tubuh pingsan bosnya dan anggota lain keluar dari gang.

...

Licht menarik napas panjang.

“Hebat…” puji remaja berambut biru, suaranya terdengar lembut.

“Kau juga harus ganti rugi,” balas Licht datar, menarik kerah jubahnya.

“T-tapi aku hanya membela diri! Lagipula aku tak punya uang…” katanya panik.

Licht mendesah. “Baiklah.”

Ia hendak pergi, tapi…

“Tunggu! Namaku Vedzel Neclori. Terima kasih sudah menolongku.” Vedzell mengajak berjabat tangan

Licht berbalik, menjabat tangannya. “Licht Audrey.”

“Audrey... kau hebat dan kuat. Sebenarnya aku ingin membentuk organisasi, semacam... geng kecil. Maukah kau bergabung?” Ajak vedzell tanpa ragu dengan antusial matanya berbinar.

“Panggil saja,Licht. Lalu Organisasi macam apa itu?” tanya Licht, heran.

“Organisasi untuk menentang pemerintah dunia,” jawab Vedzel pelan, tapi mantap.

Licht mematung. “Dia gila?” gumamnya dalam hati.

Kemudian Licht menambahkan dengan senyum geli, “Maaf, aku bukan orang gila, dan aku masih ingin hidup lebih lama lagi. Aku tidak ingin menjadi kriminal... apalagi Sinner.”

Sinner—begitu sebutan bagi mereka yang menentang pemerintahan dunia dan aturan-aturan gereja. Mereka bukan hanya kriminal biasa, tapi juga orang-orang yang memiliki kemampuan sihir di luar kendali. Mereka diburu tanpa ampun, dicap sebagai pendosa, Mereka orang-orang yang tak terkendali dan di cap berbahaya

“Lagipula... aku bahkan tidak bisa sihir,” ungkap Licht, suaranya lirih.

Tidak semua orang di Valdoria bisa mempelajari sihir. Biayanya terlampau mahal untuk masuk ke sebuah sekolah sihir, hanya beberapa keluarga kerajaan,bangsawan dan orang-orang memiliki uang untuk mempelajari hal seperti itu, dan bagi Licht yang hanya rakyat jelata—untuk makan pun sulit—belajar sihir hanyalah mimpi kosong. Di kerajaan ini, siapa pun yang memiliki kemampuan sihir dan ingin hidup normal harus tunduk masuk ke organisasi resmi—entah itu gereja, atau militer pemerintahan dunia.

Mereka disebut Lioren. Para pengguna sihir sah yang terorganisir, tapi kehilangan kebebasan mereka.

Itulah pengetahuan umum bagi warga Valdoria. Dan itulah alasan Licht memilih tetap menjadi orang biasa.

“Begitu ya... T-tapi kalau kau berubah pikiran, aku akan menemuimu! Di mana kau tinggal?” tanya Vedzel dengan nada antusias.

"Tidak... Aku tidak tertarik. Aku lebih baik jadi pendeta... atau jadi koster," batin Licht, malas menanggapi.

Namun sebelum ia sempat menjawab, suara langkah kaki terdengar di ujung gang.

“Pantas saja tak kunjung keluar dari sini... Ternyata sedang berduaan dengan gadis lain!” suara tajam itu milik Lisshie. Ia mendekat dengan tatapan dingin, menggenggam setangkai daun bawang yang kini perlahan diremasnya.

“T-tidak! Ini salah paham, sungguh!” Licht panik, berlari menghampirinya seolah minta pengampunan.

“Heh... Licht, sejak kapan kamu bisa berbohong?” lirih Lisshie, menatapnya tajam seperti seorang ibu memarahi anak nakal.

Vedzel melangkah gugup, mengikuti Licht mendekati Lisshie yang berdiri di mulut gang. Saat ia hendak membuka mulut untuk menjelaskan...

“Diam!” bentak Lisshie tiba-tiba.

Tubuh Vedzel sontak menegang.

“S-sungguh, Lisshie, ini kesalahpahaman... Terlebih dia laki-laki!” Licht berseru terbata.

Lisshie menyipitkan mata, menatap Vedzel penuh curiga. “Benarkah? Lepaskan jubah itu,” perintahnya seperti seorang komandan.

Dengan cepat Vedzel mengangguk dan melepaskan tudung serta bagian atas jubah hitamnya.

Lisshie memperhatikan. Setelah memastikan tidak ada lekuk tubuh perempuan di balik jubah itu, ia menghela napas panjang.

“Baiklah. Ayo pulang, Licht.”

Ia menarik lengan Licht dan membawanya pergi. Licht menurut dengan diam.

Namun sebelum mereka benar-benar pergi, Vedzel masih sempat berseru,

“Licht! Di mana tempat tinggalmu?”

Licht menoleh santai.

“Underground. Panti Asuhan Audrey.”

More Chapters