Cherreads

Chapter 5 - Chapter 5 - Pelarian.

Pukul Satu Malam, Panti Asuhan Audrey

Udara dingin menusuk hingga ke tulang. Jam berdetak lambat di dinding ruang aktivitas yang kecil dan tua. Di atas sofa yang sudah mulai lusuh, Licht duduk diam, menatap nyala api yang mulai meredup di perapian. Hanya suara kayu yang sesekali berderak pelan, mengisi keheningan malam.

Namun sesuatu mengusik pikirannya.

Suara. Bukan dari luar, tapi dari dalam. Suara yang tidak jelas, seperti bisikan samar yang menusuk langsung ke dasar pikirannya.

Licht sontak bangkit, tubuhnya menegang, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia memutar pandangan ke sekeliling ruangan. Sepi. Hanya perapian tua dan bau debu kayu yang terbakar.

"A-Apa tadi?" gumamnya, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu. Ia menoleh ke arah dua pintu: kamar tidur laki-laki dan kamar wanita yang bersebelahan.

“Lisshie tidur di kamar Ibu Marie… dan Minea, dia sendiri,” pikir Licht lirih. Ia mengingat pesan Ibu Marie sebelumnya—agar Lisshie tidur bersamanya malam ini demi berjaga-jaga. Namun, Minea masih tertidur sendiri, di ruangannya yang terpisah.

Licht kembali duduk, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa yang keras, memandangi langit-langit rumah yang penuh bercak dan retak usia. Ia menutupi wajahnya dengan satu tangan.

“Kael… kau di mana?”

Kael, adik laki-lakinya, belum juga kembali setelah perdebatan dengannya. Licht sempat berniat mencarinya, tapi rasa tenang yang samar dalam dirinya menahannya. "Kael itu keras kepala, tapi dia akan baik-baik saja," pikirnya.

Tok tok.

Suara ketukan pelan di pintu membuat Licht langsung tegak. Ia mendekat, menyingkap sedikit tirai kecil di samping pintu.

Di luar, dua sosok berdiri. Salah satunya berpakaian militer, berseragam gelap dengan senapan laras panjang tergantung di bahunya. Yang lainnya mengenakan jubah hitam khas gereja—pendeta.

Mata Licht membelalak.

“Pendeta Reihim...?” bisiknya kaget. Tubuhnya bergetar. Nafasnya mulai tercekat, seperti ada sesuatu yang menghimpit dadanya.

Mata Licht memandangi jalanan sepi di luar dan rumah-rumah tetangga yang gelap. Sunyi. Terlalu sunyi. Ia menyadari satu hal: rumah di sekitar mereka telah dikosongkan. “Mereka tahu...”

Ia mulai gemetar.

"Jangan-jangan... Kael yang—"

Ia mencoba menepis pikirannya. Tidak, Kael tidak mungkin. Tidak mungkin ia melaporkan Minea ke Gereja atau militer. Tapi… kalau bukan Kael, lalu siapa?

Dengan hati-hati, Licht membuka pintu, menampakkan wajah lesu seolah baru bangun tidur. Ia mengucek matanya, menatap Reihim dengan pandangan kosong.

“Selamat malam, Licht. Maaf mengganggu waktu istirahatmu,” ucap Reihim dengan senyum canggung, meski ada ketegangan terselip dalam sorot matanya.

Licht membalas dengan senyum sopan. “Selamat malam, Pendeta Reihim. Ada yang bisa saya bantu?”

Sosok militer di samping Reihim hanya menatap Licht dingin. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya.

“Ada kejadian janggal akhir-akhir ini?” tanya Reihim. Pertanyaan itu terdengar santai, namun terasa seperti jebakan yang menanti jawaban salah.

Licht tersenyum samar, mencoba tetap tenang. “Sejauh ini... tidak ada, semuanya seperti biasa.”

Namun pikirannya berteriak: “Mereka sudah tahu. Mereka akan menangkap Minea.”

Reihim hanya mengangguk. “Baiklah. Kalau begitu kami mohon maaf atas gangguan ini. Selamat malam, Licht.”

Keduanya berbalik dan meninggalkan halaman panti asuhan yang beku dalam kebisuan. Begitu mereka menghilang dari pandangan, Licht segera menutup dan mengunci pintu, lalu bersandar di belakangnya, menahan napas.

"Benar-benar menegangkan..."

Suara langkah muncul dari koridor. Ibu Marie dan Lisshie muncul dari balik pintu kamar, wajah mereka tegang dan kantuk telah sirna.

“Ada apa, Licht?” tanya Ibu Marie sambil mendekat.

Licht menghela napas. “Pendeta Reihim datang... bersama seorang militer.”

Lisshie menyusul dengan suara gemetar, “Apa mereka tahu soal... Minea?”

“Aku tidak yakin…” jawab Licht. “Tapi... ada yang tidak beres.”

Ibu Marie memeluk Lisshie, lalu menatap Licht. “Kael masih belum kembali?”

Licht menggeleng.

Suasana semakin hening. Seperti detik terakhir sebelum badai datang.

Ibu Marie menarik napas panjang dan mengucapkan kata-kata yang mengguncang dunia kecil mereka:

“Kita harus pergi dari sini… Maafkan Ibu…”

---

Dua Jam Sebelumnya, Kota Vilvath Barat

Markas militer pemerintahan dunia dipenuhi aroma logam dan wewangian mahal. Lampu-lampu gantung menyala redup, menciptakan suasana tegang namun elegan. Di ruang pertemuan khusus, dua remaja duduk di atas sofa mewah: Kael Audrey dan Azen Eira, dua prajurit magang dari sektor pelatihan.

Di hadapan mereka duduk seorang pria tua berwibawa. Seragamnya dihiasi lencana berpangkat mayor, dengan nama yang terpatri di dadanya: Kenley Erdenal.

Mayor Kenley memandangi mereka melalui kacamata tipis, lalu menatap lembaran laporan di tangannya.

“Kael Audrey dan Azen Eira?”

Keduanya mengangguk. “Benar, Sir.”

“Dalam laporan tertulis bahwa Kael menyaksikan gejala kerasukan yang tertunda di panti asuhan tempat tinggalnya… wilayah Underground, distrik barat,” ujar Kenley, nada suaranya tegas namun tak tergesa. Ia meletakkan laporan dan menatap Kael langsung. “Jelaskan secara lisan.”

Kael menunduk. Matanya tak bisa menyembunyikan keraguan yang menyelubunginya.

“Minea… adik perempuan saya—meskipun bukan sedarah—mengalami perubahan yang mencurigakan. Auranya… berbeda. Suster Marie awalnya ingin melaporkannya ke pihak berwajib dan misty flores, tapi kakak saya, Licht, menolaknya.”

Ia menarik napas berat. “Saya sempat ragu… tapi Azen mengingatkan bahwa kasus seperti ini sangat langka dan berbahaya. Saya… saya memutuskan untuk melaporkannya.”

Suara Kael pelan, seperti mengakui sebuah pengkhianatan. Namun wajah Mayor Kenley malah berseri.

“Tindakan bagus,” puji sang mayor. “Kau telah menyelamatkan banyak nyawa, Nak. Jika yang kau sampaikan terbukti sebagai kerasukan iblis, kalian berdua akan langsung dipromosikan menjadi Prajurit Satu.”

Kael hanya bisa diam. Matanya kosong, pikirannya kacau. Ia tahu... keputusan ini tak akan bisa diambil kembali.

Di panti asuhan audrey, pukul 2 malam.

Langit malam di Underground begitu muram, seperti mengetahui apa yang akan terjadi. Tak ada bintang. Hanya bulan pucat yang menggantung di antara bangunan reyot dan kabel listrik menggantung seperti sarang laba-laba usang. Di dalam ruang aktivitas panti asuhan Audrey, keheningan menggantung tebal. Bau kayu tua dan debu menyelimuti udara, seolah ikut mengintai nasib yang menanti mereka malam ini.

Licht berdiri sambil menepuk lembut kepala little Ruvein yang baru saja dibangunkannya. Anak kecil itu masih mengusap matanya yang berat, belum memahami kekacauan yang tersembunyi di balik senyapnya malam.

Di sofa lusuh di sudut ruangan, Minea duduk dengan wajah pucat dan murung dengan jubah hitam bertudung yang sama dikenakan yang lainnya. Seolah semua emosi telah lama padam dari mata gadis itu—ketakutan, kelelahan, semuanya membatu menjadi kesunyian.

Ibu Marie muncul dari kamar, mengenakan jubah hitam bertudung. Ia tampak berbeda malam itu. Bukan lagi sosok lembut dan keibuan seperti biasanya, melainkan bayangan dari seorang pelindung yang siap mengorbankan segalanya. Ia menatap Licht dan Lisshie.

“Ayo…” ucapnya pelan, nyaris tak terdengar, namun cukup untuk menggerakkan hati mereka.

Tanpa kata, Licht mengangguk. Lisshie menggenggam tangan Ruvein erat-erat, berusaha meredam getaran kecil dari jemarinya sendiri. Licht memeluk Minea di bahunya, seperti mencoba memberikan kehangatan terakhir yang dunia ini masih izinkan.

Langkah kaki mereka menyusuri lorong panti. Lantai kayu berderit, menciptakan simfoni pilu perpisahan. Di pintu belakang, Ibu Marie membuka sedikit celah dan menengok ke luar. Udara dingin menggigit, sunyi menyelimuti permukiman itu.

“Cepat,” bisiknya.

Mereka keluar satu per satu, membenamkan diri dalam gang-gang sempit dan basah milik Underground—wilayah yang sudah lama ditinggalkan cahaya keadilan.

Setelah berjalan cukup jauh, mereka berhenti di gang yang tersembunyi di balik tumpukan besi tua dan dinding bata berlumut. Tempat itu cukup aman untuk sekadar mengatur napas.

“Kalian tunggu di sini sebentar,” ucap Ibu Marie lembut. Meski wajahnya tertutup tudung, Licht melihat kilau air mata mengalir dari balik bayangan wajahnya.

Ia menunduk, menahan gejolak di dadanya. “Ini semua... karena keegoisanku…” gumamnya lirih, suara yang hampir larut dalam dinginnya malam.

Ibu Marie melangkah ke arah ujung gang, tubuhnya perlahan menghilang dalam kegelapan sambil menggenggam selembar kertas. Ia menuju ke arah pintu keluar utama.

“Lisshie, kemana kita akan pergi?” tanya Ruvein polos, suaranya seperti bisikan kecil dari dunia yang masih tak bersalah.

Lisshie berusaha tersenyum, meski bibirnya gemetar. “Kita akan pergi ke rumah baru.”

Namun Minea, yang masih berada dalam pelukan Licht, akhirnya bicara. “Licht… kenapa kalian sejauh ini…” bisiknya pelan. Ia tahu. Bahkan sebelum ada yang menjelaskan.

Licht menggenggam erat pundaknya. “Tidak ada alasan lain.”

Air mata jatuh di pipi Minea. “Kalian akan dalam bahaya…”

“Kami tahu,” jawab Licht, menyeka air matanya dengan ibu jari. Ia memaksakan senyum. “Tapi yang lainnya tidak ingin kehilanganmu.”

Tiba-tiba, sayap putih mengepak. Seekor merpati terbang melintas di atas kepala mereka—seperti pertanda dari langit yang tak lagi memihak.

Langkah Ibu Marie terdengar kembali. Ia muncul dari ujung gang, napasnya sedikit terengah. “Ayo,” ajaknya. Mereka mengangguk, melangkah mengikuti sosok yang telah menjadi ibu bagi mereka semua.

Cahaya bulan menyusup lewat celah bangunan, menyoroti wajah Ibu Marie saat ia berhenti di mulut gang. Ia membuka mulut.

“Kita akan pergi ke H—”

SRAK!

Seketika itu, dunia menjadi hening.

Sebuah pedang menembus dari punggung Ibu Marie hingga ke dadanya. Darah menetes, mengalir membasahi ujung jubahnya. Matanya membelalak, tubuhnya bergetar.

“P-pergi… cepat…” bisiknya, menahan rasa sakit yang tak tergambarkan.

Licht terpaku. Nafasnya tercekat melihat darah yang menetes dari wanita yang ia panggil ‘ibu’. Tubuhnya bergetar, begitu juga Minea yang masih dalam pelukannya.

Di balik tubuh Marie, muncul siluet gelap. Seorang pria. Seakan baru saja muncul dari ketiadaan.

Ia mengenakan mantel kulit hitam panjang, dengan lencana kerajaan Misty Flores tersemat di dada. Rambutnya merah gelap, wajahnya dingin dan tajam seperti bayangan pembunuh yang ditakdirkan untuk malam-malam berdarah.

“Lioren…” gumam Licht, nyaris tak percaya.

“Maafkan ibu…” bisik Marie lirih. Pedang ditarik dari tubuhnya. Darah menyembur. Ia terjatuh perlahan, dan sebelum napas terakhirnya lepas, ia tersenyum pada Licht untuk terakhir kalinya.

Tanpa berpikir panjang, Licht menarik tangan Lisshie dan Minea, menutup mata Ruvein dengan paksa.

“Mereka harus selamat… mereka harus selamat…” mantra itu hanya ada dalam hatinya.

Mereka melarikan diri, membelah lorong-lorong pengap dan sempit seperti tikus yang dikejar predator.

Sang Lioren hanya berdiri, membiarkan mereka lari. Ia melirik tubuh Marie yang bersimbah darah, ekspresinya kosong... namun dalam. Sulit dijelaskan apakah itu penyesalan atau sekadar kepasrahan.

Pria itu menyentuh alat komunikasi di sakunya.

“Mereka pergi ke barat,” lapornya dingin.

Namun suara pelan menyusul dari bawah.

“Dabin…” panggil suster marie setelah mengenali suara pria tersebut.

Ia membeku. Perlahan berjongkok.

“Kenapa kau melakukan hal ini, Marie?” tanyanya lirih.

“Aku…” Marie terbatuk darah. “...ingin mereka hidup… lebih lama…” Ia tersenyum lemah. “Bisakah… kau tak menyakiti mereka?”

Dabin menggeleng pelan. “Maaf. Aku tak bisa… aku hanya menjalankan tugas. Maaf, Marie.”

Dengan sisa nafasnya, Marie membalas, “Kau… tidak berubah… sama sekali…”

Nafasnya menghilang bersama angin malam. Dabin memejamkan mata. Ia mengangkat tubuh wanita yang dulu mungkin lebih dari sekadar teman. Ia sandarkan Marie ke dinding, dalam diam yang tak akan bisa diampuni oleh siapa pun.

More Chapters