Aku adalah langkah yang dipaksa tersungkur ke dalam.
Yang bahkan prediksi awal sudah ku tuliskan sebelum tragedi betul-betul terjadi.
Sialnya suaraku bagai haluan, seperti angin yang datang singkat, lalu minggat mencari tempat.
Sialnya, prediksiku tak didengarkan.
Padahal banyak sekali telinga yang belum terisi kotoran.
Malam kemarin ku buka lagi lembar prediksi yang setengah sobek, ku cocokkan, ku baca perlahan.
Penambahan tokoh sesuai dengan penokohan, watak, latar, suasana.
Alurnya berganti seminggu sekali, namun wataknya menetap setiap hari.
Sungguh ironi kataku, prediksi runtuh kini sedang ku baca kembali dengan kenyataan yang sama persis dalam maha karya sebuah prediksi.