Cherreads

Chapter 42 - Bab 42: Kembalinya Jiwa yang Terlupa dan Retakan di Dalam Istana

Tiga hari setelah penyatuan Kristal Auralis, Obor Dantara, dan Es Saghra, langit Auralis masih berpendar lembut biru keperakan.

Tapi kedamaian itu semu.

Di bawah permukaan tanah istana, retakan waktu mulai muncul—halus, nyaris tak terlihat. Namun setiap retakan kecil adalah luka, dan setiap luka menyimpan risiko kehancuran dimensi.

Rania berdiri di menara tertinggi. Di tangannya, ia memegang jam pasir kecil berwarna tembaga, hadiah terakhir dari ibunya yang ia kenali kembali melalui kenangan di lorong waktu.

Jam itu tiba-tiba bergetar pelan.

> Detik waktu... tergelincir.

“Retakan telah mencapai inti istana,” gumam Reina yang muncul dari belakang, membawa gulungan laporan.

“Di ruang makan kerajaan, suara-suara masa lalu mulai terdengar. Ada yang mendengar tawa Kaisar Laris yang telah wafat tujuh dekade lalu. Bahkan di taman kristal, bunga-bunga yang sudah punah mulai mekar kembali.”

Rania menatap langit.

“Penyatuan kekuatan memulihkan… tapi juga membuka luka yang belum sembuh.”

---

Di ruang strategi istana, Alendra duduk terpaku. Matanya merah, tubuhnya lemah karena luka dan tekanan mental akibat memilih meninggalkan ibunya demi Auralis.

Elvaron duduk di seberangnya.

“Aku tahu kau merasa kehilangan, tapi tindakanmu menyelamatkan ribuan nyawa.”

Alendra mendesis lirih. “Tapi aku kehilangan satu jiwa yang paling mengenal aku.”

> “Kau masih punya kami,” suara Rania menyela, memasuki ruangan.

Alendra menunduk. “Bagaimana jika semua yang kita selamatkan ini hanya sementara? Bagaimana kalau Omega bangkit lagi?”

Rania mengangkat kepala Alendra dengan lembut.

> “Maka kita akan bertarung lagi. Dan lagi. Sampai yang bertahan bukan hanya Auralis… tapi cinta yang membuat kita memilihnya.”

---

Sore itu, langit berubah merah muda keemasan.

Lonceng gerbang utama berdentang lima kali.

Tanda bahwa seseorang masuk melalui gerbang dimensi luar.

Penjaga segera melapor.

“Ada seseorang yang muncul dari portal waktu yang tidak dikenal. Ia mengenakan jubah lama berlogo Omega, tapi... tidak menunjukkan permusuhan.”

Rania, Reina, dan Alendra segera menuju gerbang.

Dan di sana…

Seorang lelaki berdiri lemah.

Tingginya sekitar 180 cm, rambutnya panjang berantakan. Bajunya robek di beberapa bagian, tubuhnya kurus. Tapi wajahnya…

> Membuat Reina hampir jatuh berlutut.

“Itu… tak mungkin…” bisiknya.

Alendra memicingkan mata.

“Tidak…” gumamnya.

Rania melangkah maju. Jantungnya berdegup pelan, takut berharap.

Lelaki itu menatapnya… bingung.

Dan bertanya pelan:

> “Maaf… apakah aku mengenalmu?”

Rania menutupi mulutnya.

> Itu… Kaen.

---

Malam itu, Kaen dibaringkan di ruang penyembuhan dalam. Tubuhnya lemah, tapi tak terluka parah. Luka-luka kecil di punggungnya tampak seperti bekas ledakan waktu—efek dari terperangkap di lorong dimensi gelap terlalu lama.

“Dia… benar-benar tak mengingat siapa pun?” tanya Rania pelan.

Penyembuh utama mengangguk. “Tak ada nama. Tak ada perasaan. Bahkan reaksi emosionalnya seperti kosong.”

Reina duduk di pojok, matanya basah.

> “Dia… cinta pertamamu,” gumamnya lirih.

“Orang pertama yang mempercayaimu sebelum kau tahu caranya memimpin.”

Rania mengusap pipinya yang hangat.

Ia masuk ke ruang rawat, perlahan duduk di samping tempat tidur.

Kaen membuka mata samar. Ia menatap Rania lama.

“Kau… siapa?” tanyanya pelan.

Rania tersenyum, meski hatinya retak.

“Aku seseorang yang dulu… pernah kau ajari cara menari di tengah peperangan.”

Kaen tak menjawab. Tapi matanya berkaca-kaca… seperti ada bagian dalam dirinya yang ingin menangis, meski pikirannya tak tahu alasannya.

> Ingatan Kaen hilang. Tapi… jantungnya belum lupa.

---

Keesokan harinya…

Rania memerintahkan seluruh penjaga untuk menutup tiga jalur waktu liar yang muncul di dalam istana.

Salah satunya berada di kamar pribadinya sendiri—tepat di balik cermin.

Cermin itu kini berubah bentuk, menjadi jendela ke masa lalu yang kacau: dalamnya terlihat Rania kecil yang berlari dari peperangan, Reina yang menangis di ruang kosong, dan Arven muda yang menyeka darah dari wajahnya.

“Kalau jalur-jalur ini dibiarkan terbuka,” ujar Elvaron, “Omega bisa kembali muncul melalui celah.”

Rania mengangguk.

> “Kita harus menutup jalur waktu... tapi jangan hapus semua kenangan.”

“Karena kenangan, bahkan yang menyakitkan… adalah alasan kita masih berdiri hari ini.”

---

Sementara itu, Alendra bermeditasi di ruang waktu dalam.

Tiba-tiba, ia merasakan resonansi aneh dari jam waktu yang ia bawa dari lorong ibunya.

Jam itu berdetak pelan. Tapi dentingnya seperti kode.

Ia membukanya… dan menemukan sebuah fragmen suara yang terperangkap:

> “Alendra, kalau kau mendengar ini… maka aku gagal kembali padamu.”

“Tapi jangan pernah salahkan dirimu.”

“Kau adalah anak dari dua dunia… dan kedua dunia itu memilihmu bukan karena kekuatan, tapi karena hatimu.”

Alendra menggenggam jam itu erat.

Air matanya jatuh, untuk pertama kalinya tanpa rasa bersalah.

Tapi kali ini… dengan rasa rindu yang membangun.

> “Aku akan melindungi Auralis… dan nama ibuku.”

---

Dan di ruang penyembuhan, Kaen menatap jendela.

Cahayanya temaram. Wajahnya tenang.

Lalu tiba-tiba… ia menoleh.

Dan berkata pelan:

> “Rania…?”

More Chapters