Malam turun dengan lembut di lembah Pegunungan Terselubung. Angin yang tadi membawa kabut kini hangat dan sunyi. Di tepi sungai yang berkilau oleh cahaya bulan, Abbas duduk diam, membasuh luka-luka kecil di lengannya. Meski tubuhnya lelah, pikirannya justru lebih bising dari sebelumnya.
Elira datang perlahan, tanpa suara. Ia duduk di samping Abbas, jaraknya cukup dekat untuk mendengar detak jantungnya. Keduanya diam untuk waktu yang lama.
"Kau masih memikirkan masa depan itu?" tanya Elira, menatap pantulan bintang di air.
Abbas mengangguk. "Aku tahu semuanya belum pasti. Tapi… bagaimana kalau memang akhirnya begitu? Aku menyelamatkan dunia ini… tapi kembali sendirian."
Elira terdiam. Lalu ia bicara, pelan.
"Kadang... kita harus kehilangan sesuatu untuk menyelamatkan yang lain. Tapi bukan berarti kau tak layak memiliki kebahagiaan."
Abbas menoleh. "Apa kau pernah bahagia?"
Elira menatapnya. "Dulu. Sekilas. Dengan seseorang yang kupercaya… Tapi dia memilih cahaya dan menghilang. Seperti bayangan yang tak pernah kembali."
Abbas nyaris bertanya siapa orang itu. Tapi matanya bertemu mata Elira dan ia tahu, tidak perlu kata-kata lebih.
Zera Menyaksikan
Dari kejauhan, Zera berdiri di balik pohon, tangannya menggenggam busurnya tanpa sadar. Ia bukan tipe yang suka duduk diam. Tapi sejak Abbas datang, ada sesuatu yang bergeser dalam dirinya rasa ingin menjaga… dan rasa takut kehilangan.
Ia menghela napas. "Jadi seperti itu, ya?"
Varn yang kini berwujud manusia duduk di atas batu tak jauh darinya. "Kau cemburu?"
"Cemburu?" Zera menoleh tajam. "Aku hanya… tidak ingin dia terluka. Lagi."
Varn tersenyum licik. "Tapi luka juga bisa datang dari hati. Dan sepertinya hatimu mulai retak."
Zera mendengus dan pergi meninggalkan tempat itu, tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan perasaan yang baru tumbuh dan belum sempat ia pahami.
Percikan Pertama
Kembali ke sungai, Elira berdiri. Tapi sebelum pergi, ia berhenti dan menoleh ke Abbas.
"Kalau nanti kau benar-benar pergi… dan aku melupakanmu seperti dalam penglihatanmu…"
"Ya?" bisik Abbas.
"Berjanjilah kau akan menemukan aku. Lagi. Dengan cara apa pun."
Abbas tersenyum. "Kau tak akan pernah benar-benar hilang dariku."
Saat Elira pergi, angin malam berhembus, membawa aroma manis dari bunga-bunga pegunungan. Di dada Abbas, cahaya Solara berdenyut lembut seolah tahu bahwa dalam kegelapan, sesuatu yang hangat mulai tumbuh.