Cherreads

Chapter 8 - Chapter 8

Jam 7 pagi, alarm dari ponsel Ichigo berbunyi pelan tapi konsisten.

Tangannya meraba-raba ponsel di meja lalu mematikannya.

Ia membuka mata perlahan, lalu menoleh ke samping.

Asuka masih tertidur dengan posisi miring membelakanginya.

Rambut ungu pucatnya berantakan, sebagian menutupi wajahnya.

Ichigo duduk di kasur, meregangkan tubuhnya perlahan.

Suasana kamar masih tenang, hanya suara kipas angin yang terdengar.

Ia bangkit dari tempat tidur, melangkah ke kamar mandi.

Sambil mengucek mata, ia membuka pintu dan menghilang ke dalam.

Air mulai mengalir, menandakan hari dimulai.

Sepuluh menit kemudian, Ichigo keluar dengan rambut basah.

Ia mengenakan kaus putih polos dan celana pendek abu-abu.

Sambil berjalan ke dapur, ia membuka kulkas dan mengambil roti.

Ia juga mengambil dua telur dan mulai menyalakan kompor.

“Hmm… hari Sabtu ya… libur,” gumamnya sambil memasak.

Asuka keluar dari kamar dengan rambut masih basah dan mata masih setengah terbuka.

“Kau bangun duluan…” ucapnya pelan sambil duduk di kursi makan.

Ichigo menoleh dan menyeringai. “Tentu saja, aku bukan penggila tidur sepertimu.”

Asuka menguap lebar lalu menyandarkan kepala ke meja.

“Aku penggila tidur karena kau membiarkan aku merasa aman,” bisiknya.

Ichigo meletakkan piring berisi roti panggang dan telur ke depan Asuka.

“Cepat makan. Hari ini aku mau ke kafe. Mau ikut?”

Asuka mengangkat kepalanya, menatap Ichigo dengan alis terangkat.

“Kau bilang itu kafe tempat orang-orang sok asik berkumpul.”

Ichigo mengangkat bahu. “Ya, tapi kopinya enak. Dan hari ini aku mood ke sana.”

Asuka mengambil garpu dan mulai memotong telurnya.

“Kau mau pergi karena kopinya? Atau karena barista cewek di sana?”

Ichigo tertawa pelan. “Kalau aku cari barista cewek, aku cukup pandang kau di rumah.”

Asuka melirik tajam, wajahnya memerah sedikit.

“Tch. Kau ini…”

Ichigo duduk di seberangnya, mulai makan sarapannya.

“Jadi gimana? Mau ikut atau tidak?” tanyanya sambil mengunyah roti.

Asuka mengangguk pelan. “Aku ikut. Tapi jangan salah paham, aku cuma pengen lihat-lihat.”

Ichigo mengangkat alis. “Lihat-lihat kafe atau lihat-lihat aku?”

Asuka menyodok kaki Ichigo di bawah meja. “Makan yang benar, dasar bodoh.”

Setelah sarapan, mereka berdua mencuci piring bersama.

Ichigo menyabuni, Asuka membilas.

“Aku nggak menyangka kau bisa kerja tim dalam hal piring,” ucap Ichigo.

Asuka menoleh sebentar. “Aku juga nggak menyangka kau bisa masak telur tanpa gosong.”

Mereka berdua tertawa ringan.

Setelah selesai, mereka berdua ke kamar masing-masing.

Ichigo ganti baju dengan kaus hitam dan jaket tipis abu.

Asuka mengenakan hoodie ungu pucat dengan celana jeans pendek.

Mereka berdiri di depan pintu apartemen, siap pergi.

“Yok, kafe,” kata Ichigo sambil membuka pintu.

Asuka menyipitkan mata ke arah luar.

“Kalau ada yang menyerang lagi, aku nggak bakal segan.”

Ichigo tersenyum tipis, berjalan lebih dulu.

“Aku tahu. Karena kita... kombinasi paling mematikan.”

Asuka tersenyum kecil, lalu mengikuti dari belakang.

---

Setibanya di Kafe

Suasana kafe itu hangat dan tenang. Aroma kopi dan karamel menyambut mereka begitu mereka melangkah masuk.

Ichigo berjalan santai ke arah meja barista, matanya menelusuri rak-rak kue dan minuman yang dipajang dengan rapi.

Seorang barista cewek menyapa dengan senyum ramah. Rambutnya dikuncir ke samping, wajahnya manis dan ramah.

“Asik juga nih tempatnya,” gumam Ichigo sambil mendekat ke meja barista.

Asuka berdiri setengah langkah di belakangnya, matanya menatap tajam ke arah barista.

Ichigo mencondongkan badan ke meja. “Pesan karamel latte satu. Sama cemilan ringan, apa aja deh yang cocok buat sore.”

Barista mencatat sambil tersenyum. “Baik, kakak.”

Asuka melangkah ke samping Ichigo. “Aku pesan satu vanilla latte. Dan... donat isi stroberi, ya.”

Barista mencatat cepat. “Siap, ditunggu sebentar ya kakak~”

Ichigo menyeringai santai, menatap si barista. “Kakaknya cantik yah~”

Barista tertawa kecil, sedikit tersipu. “Terima kasih, kakaknya juga tampan, loh.”

Ichigo, dengan wajah datar dan tone super santai: “Itu kenyataan yang harus kakak hadapi.”

Asuka refleks menarik tangan Ichigo cepat dan kencang.

“Maaf kak! Dia orangnya agak-agak!” ucap Asuka sambil membungkuk cepat ke arah barista.

Tanpa menunggu, Asuka menyeret Ichigo ke meja paling pojok.

Ichigo nyaris tersandung karena ditarik terlalu keras.

“Hey hey, pelan dikit kenapa! Aku belum sempat ambil sedotan tadi!”

Asuka duduk duluan, kedua tangannya menyilangkan dada dengan alis mengangkat tinggi.

Ichigo duduk santai di seberangnya, bersandar ke kursi dengan kaki disilangkan.

Asuka mencondongkan badan ke depan. Matanya menyipit, ekspresinya seperti valkyrie murka.

“Hey... kenapa kau jelalatan sekali, huh?!!!”

Suara Asuka masih terkontrol, tapi nadanya tajam banget.

“Kau itu udah punya aku, ngerti nggak?!”

Ichigo menaikkan sebelah alis, wajahnya nggak berubah.

“Emang kita pacaran?” jawab Ichigo santai.

Asuka langsung ngebanting telapak tangannya ke meja.

Beberapa pengunjung menoleh karena suara bantingan itu.

Ichigo tetap tenang, bahkan nyeruput air putih dari gelas yang ada di meja.

“Asuka, kalau pacaran... aku baru mau~” lanjutnya sambil ngedip sebelah mata.

Asuka membelalak, wajahnya memerah antara malu dan kesal.

“KAU MAU AKU BAKAR KAFE INI?! HAH?!”

Ichigo angkat dua tangan. “Tenang, tenang... kita di tempat umum.”

Asuka mendengus keras, lalu menyender ke kursi dengan wajah manyun.

Beberapa pengunjung mulai kembali ke aktivitas mereka.

Tak lama kemudian, pesanan mereka datang.

Barista cewek meletakkan minuman dan cemilan di atas meja sambil tetap tersenyum.

“Silakan, kakak.”

Asuka tersenyum palsu. “terimakasih, mbak barista. Semoga kau cepat pindah kerja ke Antartika.”

Barista hanya tertawa kaku lalu pergi.

Ichigo menahan tawa, nyaris tersedak karamel latte.

“Kau ini, kenapa cemburuan kali huh...” ucap Ichigo sambil mengunyah donat.

Asuka memalingkan wajah. “Bukan cemburu. Aku cuma... mempertahankan wilayah.”

Ichigo menyeringai. “Kau lucu juga kalau sedang marah.”

Asuka melirik tajam. “Kau mau lihat aku mengamuk yang serius?”

Ichigo menyeruput kopinya lagi, lalu mencondongkan badan ke depan.

“Asuka...”

Asuka menoleh pelan.

Ichigo tersenyum tenang. “Kalau aku tidak lihat orang lain... bisa, asal kau tetap duduk di depanku seperti ini tiap hari.”

Asuka mendengus, tapi pipinya merah.

“Tch... dasar gombal tukang ngaco...”

---

Setelah kehebohan kecil dengan barista, dan serangan verbal ala Valkyrie dari Asuka, suasana akhirnya mulai mereda.

Ichigo bersandar santai di kursinya, menyeruput sisa karamel latte yang masih hangat.

Asuka duduk dengan kedua tangan menopang dagunya, sesekali matanya melirik Ichigo, tapi cepat-cepat memalingkan wajah saat Ichigo balik menatap.

Cemilan ringan sudah tinggal separuh, dan suara musik lo-fi mengalun pelan dari speaker di pojok ruangan.

Udara di kafe itu terasa damai, kontras dengan percakapan yang akan mereka bahas.

Ichigo menatap kosong ke arah luar jendela, lalu membuka suara.

"Kita harus hati-hati."

Asuka langsung menoleh.

Ichigo melanjutkan, dengan suara lebih serius, "Kemarin para pemburu udah mulai pake senjata dan otak mereka."

Tangannya memutar-mutar gelas kopi yang udah nyaris kosong.

"Kau sadar kan? Kalau kemarin malam kau tidak menginap di rumahku... tamat sudah."

Asuka menyeringai kecil, bibirnya melengkung menyebalkan.

"Kau pasti tidak bisa jauh dari aku, kan?"

Ia menyandarkan pipi ke telapak tangannya, tatapan mata jail.

"Makanya kau menyuruh ku menginap, ya kan?"

Takk!

Ichigo menyentil dahi Asuka tanpa ekspresi.

Asuka langsung mengaduh pelan sambil memegangi dahinya.

"Woii! Itu sakit tahu!"

Ichigo mengangkat gelasnya dan menyeruput habis sisa karamel latte-nya.

"Kau masih saja seperti itu..."

Asuka cemberut. Bibirnya mengerucut kesal.

"Tch... iya iya..."

Ia mengangkat gelasnya juga, menyeruput pelan.

Tapi matanya menatap serius sekarang.

"Tapi kenapa mereka memburu kita?"

Ichigo menyilangkan tangan di dada.

"Menurutku... mungkin mereka ingin menjadikan kita sebagai bahan penelitian."

Nadanya tenang, tapi matanya tajam, menatap ke bawah meja seolah sedang melihat peta strategi.

"Mereka bisa saja ambil sampel, darah kita... lalu menciptakan alat tempur dari sana."

Asuka mengangguk pelan.

"Aku mengerti."

Dia menggigit kuku jempolnya pelan, kebiasaan saat dia berpikir keras.

"Kau punya kemampuan Immune to anything, dan aku punya Touch of Death..."

"Kalo dua kekuatan itu digabung, pasti hasilnya..."

Ia menatap Ichigo dengan tatapan serius.

"Mereka bisa jadi sangat kuat."

Ichigo mendekatkan wajahnya ke Asuka.

Dengan santai, ia menyodok ujung hidung Asuka dengan jari telunjuk.

Senyumnya tetap datar tapi menenangkan.

"Pintar."

Asuka refleks mundur sambil melotot.

"Heyyy!!! Jangan main tusuk hidung, dasar kau ini!"

Ichigo menyender lagi ke kursi, menyeringai kecil.

"Kau terlalu tegang."

"Asal kau tahu," tambahnya sambil memainkan sendok kecil di tangan.

"Asuka yang santai itu lebih mematikan daripada Asuka yang marah-marah."

Asuka mengangkat sebelah alis, bibirnya nyaris tersenyum.

"Hah? Kau menggoda aku lagi?"

Ichigo menjawab cepat, "Aku serius."

"Asuka yang tenang bisa bikin siapa pun ketakutan... termasuk aku."

Asuka akhirnya tertawa kecil, menutup mulutnya dengan tangan.

"Huh... kau ini memang aneh."

Ichigo menaruh sendoknya di atas meja, menatapnya lekat.

"Aku aneh. Tapi aku ada di sini buat lindungi kau."

Suasana jadi sedikit hening.

Keduanya menatap satu sama lain beberapa detik.

Di luar, angin meniup lembut dedaunan.

Tapi dalam hati mereka... badai rencana dan pertarungan sudah mulai menyusun bentuknya.

More Chapters