Angga terbangun dengan kening basah oleh keringat. Matahari pagi menyusup dari sela gorden kamar kosnya. Ia duduk pelan di tempat tidur, memijat pelipisnya dengan napas tersengal.
Jam dinding menunjukkan pukul 07:49.
Tapi yang membuatnya panik bukan jam, melainkan...
Ia tidak tahu hari apa ini.
Ia meraih ponsel dan membuka galeri. Foto terakhir menunjukkan dirinya berdiri bersama Dina di depan gedung tua kampus—kemarin malam.
Tapi Angga tidak ingat pulang. Tidak ingat perpisahan. Tidak ingat perjalanan kembali. Kosong.
Ponselnya juga mencatat satu voice note yang dikirim pukul 01:03 pagi.
Angga (dalam rekaman, suaranya pelan, datar):
“Gue tahu siapa yang buka pintu itu. Tapi gue juga tahu... gue gak bisa berhenti sekarang. Karena... dia udah masuk.”
Angga menekan tombol stop, keningnya berkerut. “Gue ngomong apaan semalam?”
Tiba-tiba, suara di pojok kamar menjawab.
“Itu bukan lo. Itu bagian dari lo yang kebuka.”
Angga menoleh cepat.
Windi duduk di kursi dekat jendela. Rambutnya diikat ke belakang, tubuhnya bersandar dengan sikap tenang.
Tapi ada yang berbeda.
Pandangannya.
“Kenapa gue lupa semuanya?” tanya Angga tegas.
Windi tak langsung menjawab. Ia berdiri, melangkah pelan ke arah meja tempat liontin dan buku harian diletakkan.
“Karena simbol di tubuh lo aktif sepenuhnya. Lo bukan cuma jadi jembatan, Ga. Lo udah jadi... bagian dari gerbang itu.”
“Lo bilang lo mau bantu gue,” tuduh Angga.
Windi mengangguk pelan. “Dan gue tetap mau bantu. Tapi sekarang... lo harus bantu diri lo sendiri dulu.”
Angga merasakan sesuatu menghangat di bawah kulit lehernya. Ia menyingkap bajunya. Simbol itu kini bersinar samar seperti ukiran yang bernafas.
“Kalau ini terus tumbuh… apa yang terjadi?” tanya Angga, pelan.
Windi menatapnya dalam-dalam.
“Lo akan mulai melupakan siapa diri lo sebenarnya.”
---
Angga duduk di lantai kamarnya, punggung bersandar di tembok, buku harian Windi tergeletak di pangkuannya. Matanya menerawang, pikirannya kacau.
“Lo ngomong gue bakal lupa siapa diri gue... maksudnya apa?” tanyanya, suara pelan namun sarat tekanan.
Windi duduk bersila di ujung ranjang, menatapnya. Kali ini, wajahnya tidak seperti biasa tidak dingin, tidak sendu. Tapi serius. Tegas. Ada kekhawatiran di matanya yang nyaris menyerupai rasa takut.
“Ada batas antara dunia kita dan tempat itu, Ga. Antara manusia... dan makhluk yang gak sepenuhnya hidup, tapi juga belum mati.”
“Lorong itu?” potong Angga.
Windi mengangguk. “Waktu kita ke gedung lama, simbol di lo lengkap. Itu bikin gerbang kecil di tubuh lo terbuka. Makhluk dari lorong bisa nyentuh pikiran lo. Mereka bisa menyusup... ngacak-ngacak isi kepala lo.”
Angga menggertakkan giginya. “Berarti... yang gue lupa semalam itu karena mereka?”
“Mungkin,” jawab Windi. “Tapi bisa juga karena lo mulai nyatu sama mereka.”
Angga meremas rambutnya. “Sial…”
Ia membuka buku harian dan mencoba membaca ulang bagian yang kemarin ia temukan tentang Alvan, tentang ritus, tentang eksperimen.
Tapi…
Huruf-hurufnya tampak kabur. Seperti melayang. Seolah otaknya tahu dia pernah membaca itu, tapi tidak bisa menyerap isinya lagi.
“Aku… bener-bener lupa,” desisnya.
Windi mendekat dan duduk di depannya. “Masih ada waktu. Tapi lo harus percaya satu hal: kalau lo kehilangan semua memori lo, gerbang di tubuh lo bakal terbuka penuh. Dan lo gak akan bisa balik.”
Angga menatap mata Windi. “Apa lo pernah... lihat orang lain ngalamin ini sebelumnya?”
Windi diam. Matanya berkaca-kaca.
“Ada satu. Namanya Aldi. Dia teman Alvan juga. Dulu, dia yang pertama kali jadi subjek uji coba ritus itu.”
“Terus?”
“Dia lupa siapa dirinya,” jawab Windi. “Dan waktu terakhir gue lihat... dia udah bukan manusia lagi.”
Angga terdiam. Keringat dingin merayap di punggung.
Ia mengambil pulpen dan mencoba menulis di secarik kertas:
“Nama gue Angga. Gue masih manusia. Gue harus tolong Windi.”
Ia menempelkannya di tembok, tepat di samping cermin.
Windi menatap catatan itu lalu berkata pelan:
“Kalau suatu hari lo bangun dan lo gak kenal tulisan itu… berarti lo udah bukan lo lagi.”
Malam itu, Angga mencoba tidur lebih awal. Ia takut. Bukan pada makhluk. Bukan pada Windi. Tapi pada pikirannya sendiri. Pada rasa hilang yang semakin sering menghantam kepalanya tanpa peringatan.
Sebelum tidur, ia menatap tempelan kertas di dinding:
“Nama gue Angga. Gue masih manusia. Gue harus tolong Windi.”
Ia membacanya berulang-ulang. Lalu memejamkan mata.
---
Dalam Mimpi
Ia berdiri di lorong kampus, tapi semuanya berwarna abu-abu. Tak ada suara. Tak ada cahaya alami. Hanya kilau redup dari lampu-lampu yang menggantung seperti digantung paksa oleh tali tak kasat mata.
Di depannya, berdiri seseorang.
Windi.
Tapi bukan Windi yang ia kenal.
Wajahnya lebih pucat. Mata hitamnya dalam dan kosong. Senyumnya... terlalu lebar.
“Apa kamu ingat aku?” tanya sosok itu.
Angga mengangguk perlahan. “Windi?”
Sosok itu melangkah mendekat, tapi kakinya tidak menyentuh lantai. Ia mengambang setengah jengkal dari ubin. Suara langkahnya tetap terdengar, seperti hentakan dari bawah tanah.
“Windi hanya topeng,” katanya pelan. “Aku lah yang membukakan jalan. Dan kam kamu adalah gerbang.”
Tiba-tiba, tubuh Angga tak bisa digerakkan. Simbol di lehernya menyala ungu terang, lalu merambat ke dada, membentuk pola sempurna di kulitnya seperti ukiran kuno yang menyala dari dalam.
“Kau tidak perlu mengingat masa lalu. Masa depanmu… sudah ditulis bersama kami.”
Sosok itu mendekat wajahnya berubah. Matanya menyala merah, senyumnya menghilang, dan tubuhnya melengkung menjadi sosok kabur yang menyerupai makhluk dari lorong.
Suara keras membisik di telinga Angga:
“Serahkan kesadaranmu… dan kita akan biarkan dia pergi.”
“Tidak!” teriak Angga.
Ia menarik napas dalam dalam mimpi dan...
---
Bangun
Angga terbangun mendadak, tubuhnya berkeringat deras. Nafasnya terputus-putus.
Ia langsung menatap tembok.
Kertas itu masih ada.
Tapi... tulisan di atasnya sudah berubah.
Bukan tulisan tangannya.
Dan isinya:
“Siapa namamu?”
Angga terpaku.
Tangannya gemetar.
Ia benar-benar... tidak ingat.
---
Angga berdiri di depan tembok, tubuhnya kaku. Matanya terpaku pada secarik kertas yang kini bertuliskan tiga kata sederhana tapi menghantam kesadarannya seperti palu godam:
“Siapa namamu?”
Tangannya terangkat perlahan, mencoba menyentuh kertas itu… tapi jari-jarinya gemetar hebat.
Ia berbalik ke arah meja. Liontin itu masih di sana. Tapi ia tidak ingat dari mana asalnya. Ia tidak ingat siapa yang memberikannya. Bahkan foto Windi di dalam liontin tampak asing baginya sekarang.
Langkah kaki mendekat dari belakang.
Ia menoleh Windi berdiri di sana, wajahnya gelap oleh bayangan, tapi matanya kembali seperti semula. Lembut. Sedih. Menyimpan ratusan kata yang tak pernah sempat diucapkan.
“Apa yang terjadi padaku?” bisik Angga.
Windi tidak menjawab langsung. Ia melangkah pelan, menatap mata Angga, lalu berkata lirih:
“Lo kehilangan sebagian dari diri lo. Tapi belum semuanya.”
Angga menggeleng. “Gue... gak ingat siapa lo.”
Windi tersenyum pilu. “Tapi hati lo masih inget.”
Ia mengambil liontin di atas meja, lalu meletakkannya di tangan Angga.
“Gue pernah sayang sama seseorang yang berani nyelam jauh ke kegelapan, cuma buat narik gue keluar. Gue gak tahu apa dia bisa selamat. Tapi dia janji gak akan nyerah. Dia... lo.”
Angga menatap liontin itu lama. Sesuatu di dadanya terasa hangat, meski kepalanya kosong. Ada suara kecil nyaris seperti bisikan dari jauh yang berkata:
“Jangan biarkan gelapnya menang.”
Tiba-tiba, cahaya redup di kamar meredup lebih jauh. Lampu berkedip. Dan udara jadi dingin seperti kutub.
Simbol di leher Angga menyala kembali—ungu terang.
Dan suara dari luar jendela berbisik:
“Waktunya sudah dekat.”
Windi memejamkan mata. “Dia udah dekat, Ga. Gerbang di tubuh lo... hampir terbuka sepenuhnya.”
“Siapa dia?!” bentak Angga. “Siapa yang lo maksud selama ini?!”
Windi membuka mata, tatapannya berat, lelah, nyaris putus asa.
“Dia... makhluk pertama yang datang waktu gerbang dibuka. Yang narik gue masuk. Yang sekarang... mau pakai lo buat keluar.”
Angga menelan ludah. Tenggorokannya kering.
“Dan kalau lo buka gerbang itu sepenuhnya...” lanjut Windi, “lo gak akan bisa nolak dia lagi.”
“Lo akan jadi dia.”
---
Malam itu, Angga menulis lagi di kertas baru.
“Nama gue Angga.”
“Gue bukan dia.”
“Gue akan nolak dia.”
Ia menempelkan kertas itu persis di atas yang lama.
Lalu mengambil spidol merah, dan menggambar lingkaran kecil di dahi cermin...
Sebagai penanda.
Jika suatu hari, ia terbangun dan lupa semuanya
...maka ia akan melawan dari nol.
Bahkan tanpa ingatan.