“Nama lengkapnya Alvan Reza Mahendra. Semester akhir, jurusan Ekonomi. Nilainya bagus, aktif organisasi, dan sekarang lagi nyusun skripsi bareng dosen yang dulu juga pernah bimbing Windi.”
Dina berbicara cepat sambil memperlihatkan profil Alvan dari sistem akademik internal kampus. Mereka sedang duduk di kantin belakang gedung Perpustakaan Pusat, tempat yang cukup sepi dan jauh dari keramaian.
Bima ikut nimbrung lewat panggilan video. Ia sedang berada di rumah, tapi tetap memantau perkembangan.
“Gue cari info di grup kampus, dan ternyata Alvan sempet vakum kuliah selama satu semester. Gak dijelasin kenapa, tapi katanya mendadak, habis ospek tahun kita.”
Angga langsung menyambung, “Tepat setelah Windi hilang.”
Dina mengangguk.
“Bisa jadi trauma,” kata Bima, “atau... lebih dari itu.”
Angga memandang sekeliling. Suasana kantin lengang membuatnya sedikit lega, tapi juga waspada. Entah kenapa, sejak kemarin, ia merasa terus diawasi.
“Ada yang lebih aneh lagi,” tambah Dina. “Waktu gue iseng cek medsos dia, semua foto yang diunggah Alvan sebelum 202- hilang. Dihapus.”
“Bersih banget,” gumam Bima. “Kayak... dia pengen ngapus jejak.”
Angga menatap layar. “Dan dia tahu tentang jaket Windi, lengkap dengan tambalan. Berarti dia... yang terakhir lihat Windi hidup-hidup.”
“Mungkin lebih dari itu,” ucap Dina pelan. “Mungkin... dia yang ngebawa Windi ke KM 67.”
Sunyi menyelimuti mereka.
Lalu Angga berdiri.
“Kita harus datengin dia. Lagi. Tapi kali ini, kita jangan dateng ke kampus. Kita harus ke... tempat tinggalnya.”
“Lo yakin?” tanya Bima. “Itu bisa bahaya.”
“Justru karena itu.”
Angga memandangi cincin Windi yang masih menggantung di lehernya. Getarannya belum berhenti sejak semalam. Seolah menyuruhnya melangkah lebih jauh.
Dan ia tahu kalau ada kebenaran yang terkubur, maka penggalinya harus siap ikut tertimbun.
Sore itu langit tampak muram, seperti ikut menyembunyikan sesuatu. Angga dan Dina berdiri di depan sebuah rumah kos dua lantai di daerah Cililitan. Bangunannya tua, catnya kusam, dengan pagar besi yang berderit saat mereka dorong pelan.
“Ini alamatnya?” tanya Dina, menahan napas.
Angga mengangguk. “Dapet dari Bima. Dia nyari pakai data base internal kampus.”
Halaman rumah kosong. Suara TV terdengar samar dari dalam. Mereka mengetuk pintu pelan.
Beberapa saat, tidak ada jawaban. Dina hendak mengetuk lagi, ketika pintu terbuka tiba-tiba.
Seorang ibu kos paruh baya muncul. “Cari siapa?”
“Kami teman kampusnya Alvan,” jawab Angga sopan. “Boleh ketemu sebentar?”
Wajah ibu kos itu langsung berubah ragu. “Alvan? Dia udah jarang di sini, Nak. Sering keluar malam, kadang pulang pagi. Kalau kalian mau nunggu, silakan, tapi saya gak tahu pasti kapan dia balik.”
“Boleh kami lihat kamarnya sebentar? Kami gak ambil apa-apa. Cuma nyari dokumen buat revisi skripsi kelompok,” ujar Dina dengan nada manis.
Ibu kos ragu sejenak, lalu mengangguk. “Tapi cepat ya. Saya gak mau tanggung jawab kalau ada apa-apa.”
Mereka mengikuti ibu kos ke lantai dua. Kamar Alvan ada di pojok, dekat tangga darurat. Ibu kos membukakan pintu, lalu pergi ke bawah tanpa menunggu.
Begitu masuk, mereka langsung membeku.
Ruangan itu dingin. Sangat dingin. Tidak seperti kamar biasa. Jendela tertutup rapat, tapi bau lembap dan logam memenuhi udara.
Dina memegang lengannya sendiri. “Lo ngerasa... ini tempatnya berat banget?”
Angga berjalan ke meja belajar. Banyak tumpukan buku ekonomi, catatan skripsi, dan... sketsa. Bukan sketsa biasa gambar-gambar kasar tangan manusia, dengan leher yang memanjang atau wajah kosong. Beberapa gambar memperlihatkan makhluk hitam bertanduk berdiri di tengah jalan.
“Ini... bukan seni biasa,” gumam Angga.
Dina membuka laci, dan menemukan sesuatu yang membuat napasnya tercekat.
Kamera.
Model DSLR, sama seperti milik Bima. Tapi yang ini lebih tua. Dan masih menyala.
“Ini punya dia?”
Angga mengangguk. “Coba kita lihat isi memory card-nya.”
Mereka menyambungkan kamera ke laptop.
Beberapa folder muncul.
Salah satunya berjudul:
“Kilometer 67 – W.”
Angga dan Dina saling pandang. Nafas mereka tertahan.
Folder bernama “Kilometer 67 – W.” hanya berisi tiga file video. Ukurannya kecil, tapi judulnya cukup untuk membuat darah di kepala naik turun:
vid_001_lastwalk.mp4
vid_002_wakeup_km67.mp4
vid_003_bury.mp4
Dina memegang lengan Angga. “Kita... beneran mau lihat?”
Angga mengangguk. “Kalau ini satu-satunya jalan.”
Ia mengklik video pertama.
vid_001_lastwalk.mp4
Layar menampilkan perekaman di malam hari. Gambar goyang, seperti direkam diam-diam dari dalam mobil.
Terlihat Windi masih hidup berjalan sendirian di pinggir tol, mengenakan jaket jeans biru pudar.
Suara dari perekam samar:
“Akhirnya kamu datang sendiri... gampangin kerjaan gue.”
Gambar berguncang, lalu gelap.
---
Mereka lanjutkan video kedua.
vid_002_wakeup_km67.mp4
Windi terbaring tak sadar di tanah. Kamera mendekat. Nafasnya masih terlihat ia masih hidup.
Lalu suara perekam:
“Kamu gak ngerti, kan? Dunia ini bukan tempat buat orang kayak kamu. Terlalu polos. Terlalu bersih. Sayang banget.”
Terdengar derap langkah mendekat... dan video berhenti.
---
Angga ragu membuka video terakhir.
vid_003_bury.mp4
Gambar gelap. Tapi suara jelas.
Suara sekop. Tanah dilempar ke dalam lubang. Nafas terengah-engah. Dan...
“Maaf, Win... ini yang terbaik. Gak ada yang bakal nemuin lo di sini.”
Dina langsung menutup laptop. Ia menutup mulutnya, menahan muntah.
“Dia... dia ngubur Windi hidup-hidup...” bisiknya dengan suara gemetar.
Angga berdiri. Tubuhnya gemetar bukan karena takut... tapi karena marah.
Alvan bukan cuma saksi. Dia pelaku.
Dan sekarang mereka tahu... Windi tidak mati karena kecelakaan.
Dia dibuang seperti sampah.
Dalam keadaan hidup.
---
Suasana kamar terasa beku. Dina duduk di tepi tempat tidur Alvan dengan tangan menutup wajah. Air matanya mengalir tanpa suara. Angga berdiri di tengah ruangan, menggenggam cincin Windi yang menggantung di dadanya.
Cincin itu bergetar liar.
Bukan sekadar reaksi spiritual... tapi seolah berteriak.
Angga menatap layar laptop yang masih terbuka. Folder video itu masih menyala, seakan menjadi saksi bisu kebiadaban yang telah terjadi. Ia ingin menghancurkan semuanya kamera, laptop, bahkan kamar ini.
Tapi lebih dari itu, ia ingin tahu kenapa.
Kenapa Windi dibunuh. Kenapa Alvan, yang tampak begitu tenang dan pintar, bisa menjadi monster seperti itu.
Dina akhirnya bersuara. “Kita harus lapor polisi.”
“Tapi gak bisa sekarang,” jawab Angga. “Kalau kita lapor tanpa bukti kuat, kita bisa dicurigai ngeretas data orang. Dan Alvan bisa bersih tangan sebelum kita sempat bertindak.”
Dina menatapnya dengan mata sembab. “Jadi kita harus apa?”
Angga menggenggam cincin erat-erat. “Kita buat dia bicara.”
“Dengan cara apa?”
Sebelum Angga menjawab, suara pintu pagar bawah terdengar berderit. Lalu... langkah menaiki tangga.
Mereka saling tatap. Langkah itu... menuju kamar ini.
Alvan.
Tanpa pikir panjang, Angga langsung mematikan laptop dan menyembunyikan kamera di bawah bantal. Dina merapikan posisinya di ranjang, pura-pura seperti tak ada yang terjadi.
Pintu terbuka.
Dan Alvan berdiri di ambang, menatap mereka berdua.
Raut wajahnya kaget lalu berubah jadi tenang dalam waktu tiga detik.
“Kalian ngapain di sini?”
Angga berdiri. “Nunggu lo.”
Alvan masuk pelan, menutup pintu. Lalu tersenyum.
“Ternyata... lo belum berhenti ya.”
Senyumnya tipis. Tapi mata Alvan tajam seperti silet.
Dan di detik itu, Angga tahu...
Alvan bukan cuma pembunuh.
Dia masih berhubungan dengan sesuatu yang jauh lebih gelap.
Dan pertarungan belum dimulai.
---