Cherreads

Chapter 4 - Bab 5: Bayangan dari Masa Lalu

Hari-hari bahagia mulai menghiasi hidup Rina. Ladang-ladang mulai ditanami kembali dengan program pertanian Arsya, dan warga desa, yang tadinya mencibir, kini mulai menyapa dengan senyuman, bahkan beberapa permintaan maaf secara diam-diam.

Namun, kebahagiaan tak pernah datang tanpa ujian.

Suatu sore, ketika Rina sedang menjemur cabai di halaman, seorang pria asing datang dengan motor butut dan mata penuh amarah.

Wajah itu…

Rina membeku.

Rangga.

Mantan suami yang dulu mencampakkannya. Pria yang meninggalkannya tanpa nafkah, tanpa kabar, setelah mempermalukannya di depan seluruh keluarga.

"Jadi ini hidup kamu sekarang?" ejek Rangga, meliriknya dari ujung rambut ke kaki. "Sudah pintar cari laki-laki kaya ya?"

Ibu Rahayu bergegas keluar-gesa. "Rangga! Kamu tidak punya hak lagi bicara begitu pada Rina!"

Rina berdiri. Wajahnya pucat, tapi matanya tidak lagi ketakutan. "Kenapa kamu ke sini?"

"Aku dengar kamu hidup enak sekarang. Aku cuma mau 'ngingetin' kamu kalau kamu itu masih istri sah aku!" sambil menumbuknya.

Rina menahan gemetar. "Kita sudah cerai secara hukum dan agama. Aku bukan milikmu… dan tak pernah jadi."

Saat itu, suara mobil berhenti di depan halaman.

Arsya turun, melihat Rangga, dan langsung mendekat.

"Kamu siapa?" tanya Rangga sinis.

"Saya orang yang mencintai Rina… dan akan melindunginya dari siapa pun yang ingin menyakitinya lagi."

Ketegangan membeku.

"Kalau kamu ingin mencari masalah, silakan pergi sebelum aku membuat urusan ini masuk pengadilan," kata Arsya tenang namun tajam.

Rangga menatap, lalu tertawa sinis. "Lihat saja, Rina. Dunia ini kecil. Masa lalu tidak akan pernah selesai."

Ia pergi dengan deru motor yang meninggalkan debu.

Rina berdiri kaku. Tapi tangan Arsya menggenggamnya erat.

"Tidak perlu takut," bisiknya. "Aku di sini."

Dan di lubuk hatinya, Rina tahu… ia memang belum sepenuhnya bebas. Tapi sekarang, dia tidak sendiri.

Masa lalu memang bisa mengejar, tapi kita punya pilihan: lari atau berdiri dan melawan.

Malam itu, Rina tak bisa tidur.

Meski Rangga sudah pergi, bayangannya masih membekas. Suara ejekannya, tatapan merendahkannya, semuanya seperti jerat lama yang kembali melilit hati. Dulu, ia akan memilih diam, menahan tangis dalam sepi. Tapi kini ia tidak sendiri.

Di dapur, ia duduk diam sambil menatap lampu minyak yang redup. Langkah kaki terdengar mendekat. Arsya duduk di depannya, membawa dua cangkir teh hangat.

"Kamu belum tidur," katanya pelan.

"Trauma itu ternyata tidak hilang begitu saja," bisik Rina. "Aku pikir aku sudah kuat. Tapi saat melihat dia tadi, aku kembali jadi perempuan yang dulu takut, kotor, kecil."

Arsya diam sejenak, lalu berkata, "Rina, kamu tidak kembali ke masa lalu. Kamu hanya mengingat luka itu. Tapi yang berbeda sekarang adalah… kamu tidak lagi berdiri sendirian."

Air mata jatuh perlahan di pipi Rina. "Aku benci merasa lemah."

"Kekuatan bukan tentang tidak menangis," ucap Arsya sambil menggenggam tangannya. "Kekuatan itu... tetap berdiri, meski hatimu remuk. Dan kamu… kamu sudah melampaui itu semua."

Rina menarik napas dalam-dalam.

Lalu, untuk pertama kalinya, ia menceritakan semuanya. Tentang malam-malam penuh teriakan. Tentang tamparan yang tak pernah bisa ia lawan. Tentang ketakutan tidur dalam gelap dan bangun dengan bekas luka.

Arsya tak menyela. Ia hanya mendengarkan — sepenuhnya. Seolah luka Rina bukan sesuatu yang menjijikkan, tapi saksi dari keberaniannya bertahan.

Saat cerita itu selesai, Rina merasa… kosong. Tapi kosong yang berbeda. Seperti beban berat telah diturunkan dari punggungnya.

"Aku mau sembuh," bisiknya. "Bukan untuk orang lain. Tapi untuk diriku sendiri."

Arsya tersenyum. "Dan aku akan menunggumu. Tak peduli seberapa lama."

Kadang langkah pertama menuju penyembuhan bukan melupakan tapi berani mengingat, tanpa lagi merasa hancur.

Hari-hari berikutnya, Rina mulai menata ulang hidupnya — bukan karena terpaksa, tapi karena ingin. Ia mulai menulis setiap pagi di buku catatannya, bukan lagi sekadar keluhan, tapi kata-kata kecil penyemangat:

"Aku bukan lagi korban. Aku penyintas. Aku manusia."

Arsya mulai sering mengajak Rina keluar dari desa—bukan untuk mengubahnya, tapi agar ia bisa melihat dunia yang lebih luas, lebih segar, yang tak selalu menghakimi.

Di kota, mereka berjalan di taman, duduk di kafe kecil, dan sesekali tertawa seperti dua sahabat lama. Tapi di balik itu semua, Rina masih sering merasa canggung. Ia belum terbiasa dicintai tanpa tuntutan. Belum terbiasa diperlakukan lembut tanpa niat tersembunyi.

"Kenapa kamu begitu sabar padaku?" tanya Rina suatu malam, saat mereka duduk berdua di balkon rumah kecil yang disewa Arsya dekat sawah.

Arsya menatap langit. "Karena aku tahu, pohon yang tumbuh dari tanah yang retak… butuh waktu lebih lama untuk berdiri. Tapi ketika ia tegak, ia akan lebih kuat dari pohon mana pun."

Rina terdiam.

Kalimat itu menusuk lembut ke dalam jiwanya.

Di desa, ia mulai mengajar anak-anak membaca di sore hari. Ia membuat rak buku sederhana di pojok balai desa, dan buku-buku sumbangan dari kota mulai berdatangan. Anak-anak desa mulai mengenalnya bukan sebagai "janda malang", tapi sebagai "Bu Rina yang sabar dan pintar."

Sore itu, salah satu anak kecil, Lani, memeluknya dan berkata, "Kak Rina, nanti kalau aku besar, aku mau jadi sekuat Kakak."

Rina tersenyum. Kali ini, air mata yang mengalir bukan karena sedih tapi karena tahu, hidupnya yang dulu dianggap hina, kini sedang memberi cahaya bagi orang lain.

Kita tidak bisa menghapus masa lalu, tapi kita bisa menjadikannya bahan bakar untuk menerangi langkah orang lain.

Hari itu, udara kota terasa berbeda—tegang dan menyesakkan. Rina berdiri di depan cermin, mengenakan gaun sederhana berwarna biru langit. Tangannya gemetar, wajahnya pucat. Ia akan bertemu keluarga Arsya untuk pertama kalinya.

"Kalau kamu tidak siap, kita bisa tunggu," ujar Arsya lembut di sampingnya.

Rina menggeleng. "Aku harus hadapi ini. Aku tidak mau terus jadi bayangan di belakangmu."

Mereka tiba di rumah besar bergaya kolonial yang berdiri angkuh di tengah kota. Di dalam, ibu Arsya—Bu Ratna—sudah menunggu bersama adik perempuannya yang juga tak kalah tajam pandangannya.

Saat Rina masuk, suasana langsung dingin. Bu Ratna menatap dari ujung kepala hingga kaki, lalu tersenyum tipis.

"Jadi ini… wanita desa yang berhasil membuat anak saya berpaling dari segalanya."

Rina hanya menunduk sedikit, lalu berkata pelan namun mantap, "Saya mungkin dari desa. Tapi saya tidak pernah meminta apa pun dari Arsya. Saya hanya mencoba mencintai dengan tulus."

Bu Ratna menyipitkan mata. "Cinta tanpa status, tanpa harta, tanpa pendidikan? Dunia ini tidak cukup dengan ketulusan, Nak."

Arsya angkat bicara, suaranya tegas. "Bu, saya tidak bawa Rina ke sini untuk dihakimi. Saya ingin kalian tahu siapa dia, bukan dari gosip… tapi dari kenyataan."

Rina menarik napas. Lalu dengan tenang, ia mengeluarkan sebuah map kecil dari tasnya.

"Ini proposal program literasi desa yang sedang saya jalankan. Kami sudah ajar lebih dari 30 anak baca tulis. Ini mungkin kecil di mata Ibu… tapi ini hidup yang sedang kami ubah."

Ruangan hening. Bu Ratna menatapnya dengan sorot berbeda bukan simpati, tapi keraguan yang mulai goyah.

Adik Arsya berkata lirih, "Kak, dia benar-benar melakukan ini semua?"

Arsya mengangguk. "Dia bukan perempuan yang meminta-minta. Dia perempuan yang memberi—tanpa banyak bicara."

Malam itu tak berakhir dengan pelukan hangat. Tapi ada sesuatu yang berubah.

Untuk pertama kalinya, Rina keluar dari rumah besar itu tanpa merasa kecil.

Dan di dalam dadanya, ia tahu: ia memang belum sepenuhnya diterima. Tapi ia juga tak lagi ditolak.

Penghormatan bukan untuk mereka yang lahir di tempat tinggi, tapi bagi yang memilih berdiri meski terus direndahkan.

Dua minggu setelah pertemuan yang penuh ketegangan itu, Rina kembali fokus pada kegiatan di desa. Ia pikir semuanya akan kembali tenang seperti gelombang besar yang sudah surut. Tapi ia salah.

Suatu pagi, saat sedang menyapu halaman perpustakaan kecilnya, sebuah mobil hitam berhenti di depan balai desa.

Seorang pria bersetelan rapi turun dan menghampiri Rina dengan sopan.

"Permisi, saya diutus oleh Ibu Ratna. Ini untuk Anda."

Rina menerimanya. Sebuah undangan resmi.

Saat dibuka, matanya membelalak. Bukan undangan biasa—ini undangan resepsi ulang tahun pernikahan emas kedua orang tua Arsya. Acara besar, mewah, di hotel bintang lima. Dan yang mengejutkan:

"Kehadiran Rina Lestari, sebagai pendamping resmi putra kami, sangat diharapkan."

Rina menggenggam surat itu erat-erat. Campur aduk. Ini bukan sekadar undangan—ini ujian. Undangan ini bisa berarti penerimaan… atau jebakan.

Arsya, saat membaca surat itu, langsung memeluknya. "Ini langkah besar. Tapi kamu tidak sendiri."

Rina mengangguk, walau jantungnya berdegup kencang.

Hari itu tiba. Ia mengenakan kebaya modern warna gading, rambut disanggul rapi, wajahnya sederhana namun anggun. Ketika melangkah masuk ke aula besar itu, semua mata tertuju padanya.

Beberapa tamu berbisik. Ada yang mencibir. Tapi ada juga yang kagum diam-diam.

Di tengah keramaian, Ibu Ratna mendekat. Ia menatap Rina dalam-dalam, lalu berkata pelan, "Aku belum bisa sepenuhnya menerimamu, Rina. Tapi malam ini, aku memberimu tempat. Buktikan bahwa aku tidak salah membuka pintu."

Rina tersenyum kecil. "Terima kasih… atas kesempatan."

Acara berlangsung meriah. Dan di akhir malam, ketika semua tamu berdiri untuk toast peringatan cinta seumur hidup, Arsya menggenggam tangan Rina dan berbisik:

"Semoga suatu hari… kita yang berdiri di sana."

Rina menatapnya. Tidak menjawab. Tapi sorot matanya berkata segalanya.

Dunia kadang tidak memberi tempat pada orang seperti kita. Tapi saat satu pintu terbuka, jangan ragu untuk melangkah meski dengan luka.

Malam yang tadinya penuh cahaya dan musik kini perlahan sepi. Tamu-tamu telah pulang, lampu aula mulai diredupkan. Rina duduk di taman hotel, melepas sepatu tinggi yang membuat kakinya pegal, lalu menghela napas panjang.

"Capek?" tanya Arsya sambil duduk di sampingnya.

Rina tertawa kecil. "Seharian tersenyum palsu itu seni tersendiri."

Tiba-tiba, suara langkah tergesa datang dari belakang. Seorang pria berjas biru menghampiri mereka. Wajahnya panik. Tangannya menggenggam amplop putih besar.

"Kak Rina…" suara itu serak, takut, sekaligus familiar.

Rina menoleh. Napasnya tercekat.

Adiknya Adi.

Adik yang telah bertahun-tahun tak pernah ia temui sejak diusir oleh keluarga setelah perceraian. Yang terakhir ia dengar, Adi ikut pamannya ke kota dan menghilang begitu saja.

"Adi? Kenapa kamu di sini?" tanya Rina nyaris berbisik.

Adi menyerahkan amplop itu. Tangannya gemetar. "Ini… dari Ayah. Dia sakit keras. Paru-paru dan ginjal. Sudah sebulan di rumah sakit kabupaten. Dia… minta ketemu Kakak. Terakhir kalinya."

Dunia Rina seperti berhenti sejenak.

Ayah yang dulu menamparnya karena dianggap mempermalukan keluarga. Yang menyuruhnya pergi tanpa melihat ke belakang. Sekarang… ia meminta maaf? Atau hanya butuh sesuatu lagi?

Arsya menatap Rina, menunggu keputusannya.

"Apa dia benar-benar ingin bertemu… atau dia ingin aku kembali minta maaf atas hidupku?" tanya Rina lirih, suara retak menahan luka lama.

Adi menunduk. "Aku gak tahu. Tapi aku tahu Kakak butuh penutupan. Kalau Kakak gak datang sekarang… mungkin tidak akan ada lagi waktu."

Rina menatap bintang malam. Dingin. Hening.

Esok paginya, Rina berdiri di depan ruang perawatan rumah sakit kabupaten. Di balik pintu, ayahnya terbaring lemah dengan selang oksigen di hidung.

Ia masuk.

Mata sang ayah membuka perlahan. Wajahnya mengecil, tubuhnya tak sekuat dulu.

"Rina…" suara itu parau. "Maaf… Ayah dulu terlalu keras… terlalu malu… terlalu bodoh."

Air mata menggenang. Rina tak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan ayahnya yang dingin. Luka lama tak sembuh dalam satu detik. Tapi malam itu, ada sesuatu yang mulai luruh perlahan, hancur, dan jatuh bersama air mata.

Maaf tidak mengubah masa lalu, tapi kadang cukup untuk menyembuhkan bagian yang paling dalam.

More Chapters