Cherreads

Chapter 2 - Bab 2

Devan tersenyum tenang, lalu berdiri. "Kamu istirahat dulu, ya. Besok kita mulai dari mana pun kamu mau. Entah itu membersihkan namamu… atau mencari tahu apa yang sebenarnya dilakukan Anaya dan adik angkatmu."

Dara hanya mengangguk pelan, lalu menatap pintu yang menutup pelan di belakang pria itu.

**

KEESOKAN HARINYA

Pagi datang membawa sinar matahari hangat yang menembus jendela kamar tamu. Dara terbangun dengan mata yang masih sembab. Ia duduk perlahan, lalu memeluk lututnya. Semalam terasa seperti mimpi… tapi nyatanya, ia memang kembali berada di rumah Devan.

Tok… tok…

"Kak Dara? Boleh aku masuk?" terdengar suara Kiara dari luar.

Dara buru-buru menyeka wajahnya. "Masuk aja, Ki."

Kiara masuk sambil membawa nampan berisi sarapan dan segelas susu hangat. Ia tersenyum ramah seperti dulu.

"Aku buatkan sarapan. Mama bilang kamu harus makan sebelum kita mulai hari yang panjang."

Dara menatap Kiara, lalu tersenyum kecil. "Makasih, Ki… Aku… kangen sama kamu."

Kiara langsung duduk di tepi ranjang dan memeluk Dara erat. "Aku juga, Kak. Selama ini aku percaya kamu nggak mungkin ninggalin kami tanpa alasan. Dan aku tahu, kamu nggak mungkin seperti yang orang-orang bilang."

Pelukan itu membuat Dara kembali menangis, tapi kali ini tangis kelegaan.

Setelah sarapan dan mandi, Dara turun ke ruang makan dan menemukan Devan sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon, tampaknya seorang penyelidik pribadi.

"Ya, aku ingin semua informasi tentang Anaya, termasuk transaksi rekeningnya selama lima tahun terakhir… dan kalau bisa, akses CCTV tempat dia terakhir bertemu Dara." Devan menutup telepon dan menoleh ke arah Dara yang berdiri di ambang pintu.

"Hai," sapanya lembut. "Kamu udah siap?"

Dara mengangguk. "Aku siap."

Mereka berdua lalu menuju ruang kerja Devan. Di sana, sebuah papan besar sudah dipenuhi foto-foto, catatan, dan bukti-bukti kecil yang mulai Devan kumpulkan sejak semalam.

"Kita mulai dari sini," kata Devan sambil menunjuk foto Anaya. "Aku punya firasat, dia nggak kerja sendirian. Apalagi kalau adik angkatmu ikut memfitnahmu juga."

Dara mengepalkan tangan. "Kalau benar mereka bekerja sama… aku akan pastikan semua kebohongan itu terungkap."

Devan menatap Dara kagum. Gadis yang semalam tampak rapuh itu, kini perlahan berubah menjadi sosok kuat yang dulu ia kenal. Ia sadar, luka Dara tak akan sembuh dalam semalam. Tapi kini, setidaknya Dara tak sendiri.

"Apapun yang terjadi, Ra… aku di sini," ucap Devan mantap.

Dara menatapnya dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun, ia mengangguk dengan percaya.

Dara masih menatap lembaran hasil tes DNA itu, seolah belum bisa sepenuhnya percaya. Tapi ada kehangatan yang perlahan mengikis dinginnya luka lama. Ketika ia melirik ke arah Devan, pria itu sudah duduk lebih dekat, tapi tetap menjaga jarak dengan sopan. Wajahnya tenang, namun matanya penuh rasa sayang yang tak mampu ia tutupi.

"Ra…" suara Devan lirih. Ia menarik napas, lalu meraih secarik tisu di meja kecil samping tempat tidur dan menyodorkannya perlahan ke Dara.

"Maafkan aku karena terlambat datang membuktikan semuanya." Suaranya sangat lembut, nada yang berbeda dari cara Devan berbicara pada siapa pun. Hanya untuk Dara, ia berubah menjadi sosok penuh kesabaran dan perhatian.

Dara menerima tisu itu, menghapus air matanya perlahan. "Aku… aku butuh waktu, Van."

"Aku tahu," balasnya dengan anggukan kecil. "Aku nggak akan memaksamu untuk percaya sekarang. Tapi setiap hari, aku akan pelan-pelan buktikan—bahwa kamu masih satu-satunya di hati aku."

Dara menunduk. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa begitu tulus. Saat ia merasa tubuhnya sedikit menggigil, Devan berdiri dan mengambil selimut tebal dari lemari kecil di pojok ruangan.

"Ini lebih hangat dari yang tadi. Kamu harus jaga dirimu." Ucapnya sambil menunduk, menyelimuti bahu Dara dengan hati-hati. Sentuhannya penuh kelembutan. Hanya Devan yang bisa bersikap seperti itu. Tegas dan dingin di luar sana, namun berubah jadi pria paling lembut ketika bersama Dara.

Dara menghela napas panjang, menatap tangan Devan yang sesaat menyentuh bahunya. "Kenapa kamu masih sebaik ini padaku, padahal aku pernah meninggalkanmu begitu saja?"

Devan tersenyum tipis, senyum yang lembut dan jarang orang lain lihat. "Karena kamu satu-satunya alasan kenapa aku belajar jadi pria yang lebih baik, Ra. Dan meski kamu jauh… hatiku tetap berhenti di kamu."

Dara menatapnya. Ia melihat Devan yang dulu. Devan yang penuh perhatian, penuh ketulusan—yang hanya muncul di hadapannya. Sosok pria yang tak pernah ia lupakan.

"Kalau kamu butuh aku malam ini… aku ada di kamar sebelah. Cukup ketuk dinding ini," ujar Devan sambil menunjuk tembok yang memisahkan kamar mereka, suaranya pelan, penuh kelembutan.

"Devan…" Dara memanggil namanya nyaris tak terdengar.

Devan menoleh. "Hm?"

"Terima kasih."

Ia tak menjawab dengan kata-kata. Hanya tersenyum—lembut dan hangat. Kemudian berbalik perlahan, membuka pintu kamar, dan menutupnya dengan hati-hati agar tidak mengganggu Dara.

**

Di balik pintu, Devan menyandarkan punggungnya pada dinding. Ia menarik napas panjang. Jantungnya masih berdegup kencang. Ia ingin memeluk Dara, menenangkan gadis itu, tapi ia tahu… semuanya harus perlahan.

"Aku akan menjagamu, Ra. Kali ini sampai akhir," bisiknya sendiri.

Sementara itu, di dalam kamar, Dara masih duduk dengan selimut yang ia peluk erat. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia merasa… sedikit aman.

Dan entah kenapa, hatinya mulai percaya… bahwa mungkin, cinta itu belum benar-benar hilang.

More Chapters