Usiaku baru enam tahun waktu itu. Tapi entah kenapa, rasanya aku sudah merasa jadi "anak gede". Mungkin karena sering main bareng anak-anak yang lebih tua. Atau mungkin karena aku terlalu sering menyusuri gang-gang sempit sendiri, membawa layangan dan gulungan benang bekas yang kugulung pakai kaleng susu.
Setiap sore, selepas tidur siang — yang sering kali cuma pura-pura tidur — aku langsung cabut ke lapangan kecil di ujung gang. Di sana, layangan-layangan bertarung di udara. Angin jadi wasitnya, dan kami, anak-anak kecil Jakarta, adalah pasukan yang tak pernah lelah.
Sampai suatu hari, layanganku terputus. Anginnya terlalu kencang, atau mungkin benangnya sudah rapuh. Layangan itu melayang jauh, terbang bebas seperti burung sebelum jatuh tersangkut di atap rumah orang. Aku panik. Itu layangan baru. Kubuat semalaman dari bambu tipis dan plastik bungkus minyak goreng. Aku nggak rela kehilangannya.
Tanpa banyak mikir, aku langsung memanjat pagar dan naik ke atap rumah itu. Tanganku berpegangan pada pipa saluran air, kakiku menjejak jendela kecil, dan dalam beberapa detik aku sudah berdiri di atas genteng yang panas.
"RANGGA!!!" suara itu membelah udara.
Ibuku.
Ia berdiri di bawah, wajahnya pucat, matanya membelalak. Aku turun dengan cepat — bukan karena takut jatuh, tapi karena takut dimarahin. Dan benar saja, begitu kakiku menginjak tanah, tangan ibuku langsung menarik telingaku.
"Apa kamu mau mati, hah?!"
Aku hanya bisa menunduk. Tapi di dalam hati aku berpikir: semua itu buat layanganku. Layangan itu bukan cuma mainan. Itu bagian dari aku. Dari kebebasanku.
Itu hari pertama aku benar-benar dimarahi karena nekat. Tapi bukan yang terakhir.