Pagi itu, matahari mengintip malu-malu dari balik tirai kamar apartemen yang terasa terlalu luas untuk hanya satu orang. Naira menatap kosong ke langit-langit, masih terbalut selimut hangat yang menyimpan sisa keintiman semalam. Aroma kopi dan parfum maskulin Damar masih tertinggal samar, seolah enggan menghilang.
Dia mengulurkan tangan ke sisi ranjang yang sudah dingin. Kosong. Damar pergi lebih awal, seperti biasa. Meninggalkan jejak tanpa suara, seperti seorang pencuri yang mahir menyelinap setelah mencuri sesuatu—kali ini bukan benda, tapi perasaan.
Naira duduk, memeluk lututnya, dan menatap cermin di meja rias. Wanita itu... dia. Istri seseorang, tapi tak pernah dipanggil "istri". Tidak ada cincin di jari, tak ada foto di dompet, apalagi status di dokumen resmi. Bahkan, ketika bertemu di kantor, Damar hanya memberi anggukan kecil, seolah mereka tak lebih dari atasan dan bawahan.
Sakitnya bukan lagi seperti digigit semut. Ini sudah seperti ditusuk perlahan, pelan, tapi terus-menerus.
Hari ini adalah ulang bulan pernikahan mereka—tiga bulan sejak ijab kabul itu dilafazkan oleh Damar di hadapan penghulu dan dua saksi. Tak ada pesta, tak ada kabar gembira. Hanya doa pelan dan air mata yang diseka diam-diam setelah semua orang pulang.
Naira masih ingat jelas malam itu. Damar menggenggam tangannya kuat, menjanjikan perlindungan dan rasa aman. Ia mengatakannya dengan suara rendah tapi pasti, "Kamu aman sekarang, Nai. Tak ada yang bisa menyentuhmu lagi."
Lalu... kenapa sekarang dia merasa justru seperti bayangan?
Di kantor, Naira mencoba bersikap profesional. Tapi tatapan Damar selalu jadi jebakan. Tatapan yang dingin di hadapan semua orang, tapi hangat saat hanya mereka berdua. Sekilas, tak ada yang salah. Tapi bagi Naira, tatapan itu seperti gembok tak terlihat—membatasi ruang, membungkam harap.
Ketika Laras, rekan kerja mereka yang ambisius, datang membawa kopi untuk Damar dan tertawa renyah di depan meja CEO itu, Naira hanya mampu tersenyum getir dari balik layar komputer.
Hatinya memberontak, tapi bibirnya diam. Ia tak punya hak untuk marah. Tak punya tempat untuk cemburu. Dalam catatan dunia, Naira bukan siapa-siapa. Ia hanya "pegawai biasa", bukan menantu keluarga besar Damar, bukan calon istri yang ditunggu-tunggu untuk dilamar secara resmi. Bahkan, bukan wanita yang disebutkan dalam obrolan antar rekan kerja.
Dia hanya… rahasia.
Malamnya, Damar pulang terlambat. Wajahnya lelah, dasinya longgar, matanya gelap tak terbaca. Naira menyambutnya dengan diam, seperti biasanya. Dia tidak bertanya kenapa terlambat, karena dia tahu, tak semua pertanyaan butuh jawaban. Kadang hanya menambah luka.
Damar menatapnya lama, lalu menggenggam tangannya dan membisikkan, "Maaf."
Kata itu terdengar begitu kecil... begitu ringan... tapi terasa seperti beban besar yang jatuh ke hati Naira.
Ia membalas dengan senyum tipis. "Aku tahu," jawabnya pelan.
Tapi dalam hati, dia bertanya, "Sampai kapan aku harus tahu... tanpa pernah benar-benar tahu?"
---