Malam menempel di udara seperti kabut basah yang tak mau lepas. Di pesisir Unknown Island, cahaya lentera dari tenda-tenda medis menyala redup, berpendar seperti kunang-kunang yang tersesat.
Halsey berdiri sendirian di luar tenda komando. Angin malam meniup surai rambutnya yang sedikit acak, membawa aroma laut, rumput basah, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—sesuatu yang asing.
Dari kejauhan, armada Stygian Nyx terlihat hening, seolah tidur di atas lautan gelap. Tapi bagi Halsey, tidak ada kapal yang pernah benar-benar tidur.
"Besi itu bernapas," gumamnya. "Dan malam ini... udara terasa berbeda."
Laporan dari Utara
Suara langkah tergesa menghentikan lamunannya.
Letnan Iosif, salah satu orang kepercayaannya, mendekat dengan ekspresi tegang. Nafasnya berat, tangan kirinya masih menggenggam radio.
"Kapten, laporan dari perimeter utara. Seorang pemburu desa melapor... suara-suara aneh dari dalam Hutan Tanpa Suara."
Halsey mengangkat alis.
"Spesifik."
"Katanya... ada gema. Suara logam besar. Seperti... sesuatu yang berjalan, sangat berat. Tapi... tak terlihat."
"Waktu kejadian?"
"Baru saja. Mereka kabur begitu dengar suara itu. Tidak ada visual, hanya... tekanan di udara, katanya."
Halsey menatap laut sejenak, lalu kembali menatap hutan gelap di utara.
"Sudah ada tanggapan dari Isakov?"
"Shin bilang akan koordinasi dengan Admiral. Tapi kita diminta siaga penuh. Tanpa provokasi." Suara dari radio pun mati.
Ia menyalakan rokok tipis, menatap cahaya bara di ujungnya. Di antara angin yang membawa kabut, tak ada jangkrik. Tak ada kodok. Tak ada burung malam.
"Kau dengar?" tanya Halsey.
"...Tidak ada apa-apa," jawab Iosif.
"Tepat. Sunyi yang terlalu bersih... adalah alarm pertama."
Ruangan kepala desa masih hening. Satu-satunya suara adalah angin malam yang menggoyang pelan tirai bambu di jendela.
Kain itu... masih terbentang di meja.
Lerkov berdiri di depannya, kedua tangannya menyilang di dada. Sorot matanya tajam, bukan karena marah—melainkan penuh keraguan dan perhitungan.
"Vesuila," ucapnya pelan.
"Aku ingin kau jujur. Kau bilang kain ini ditemukan di timur pulau. Tapi... siapa yang menemukannya? Dan kenapa kalian simpan?"
Vesuila mengangguk perlahan.
"Yang menemukannya adalah salah satu pemburu kami. Namanya Zev. Dia sudah lama meninggal karena sakit. Tapi aku sempat bertanya padanya langsung, saat dia masih hidup."
Lerkov mendekat, menyentuh sudut kain itu.
"Apa katanya?"
"Katanya, ia menemukannya saat mencari akar penyembuh di dekat tebing. Saat itu hujan deras. Di antara lumpur dan akar-akar pohon, dia melihat sesuatu yang tampak seperti... bekas orang berkemah. Ada api unggun yang sudah padam. Ada kaleng tua. Dan... kain ini, terlipat rapi di atas batu."
Lerkov memicingkan mata.
"Kaleng?"
Vesuila mengangguk cepat.
"Makanan. Tapi bentuknya tidak seperti milik kami. Ada tulisan aneh—tapi karatnya sudah parah. Tak bisa dibaca lagi. Zev tidak berani menyentuh lebih banyak, takut itu tempat kutukan."
Bukan Mistis. Ini Nyata.
Lerkov menunduk, mengamati logo Stygian Nyx yang samar di tengah kain.
"Kalau benar yang kau bilang... maka ini bukan barang dari masa lalu. Ini milik seseorang. Mungkin... kru kami. Mungkin eksperimen. Mungkin seseorang yang... tertinggal."
Ia menghela napas.
"Dan kalau begitu, aku mau tahu. Ke mana dia pergi? Kenapa dia meninggalkan ini?"
Rho'dan akhirnya angkat suara, pelan. Vesuila menerjemahkan:
"Dua hari setelah Zev kembali, ada suara aneh dari arah yang sama. Seperti ledakan kecil. Tapi saat warga desa datang ke sana... tidak ada apa-apa."
Lerkov menyipitkan mata.
"Ledakan... tapi tak ada jejak?"
Vesuila ragu sejenak, lalu melanjutkan "Yang mereka temukan... hanyalah bau logam, seperti terbakar. Dan... lubang kecil di tanah. Tapi tidak dalam."
Lerkov akhirnya mengambil kain itu dan melipatnya kembali.
"Ini bukan kutukan. Bukan legenda. Ini... sinyal."
"Seseorang pernah datang ke sini. Entah dari Stygian Nyx, atau dari sesuatu yang menyerupai kita. Dan mereka gagal pulang."
Ia menoleh ke arah Rho'dan.
"Terima kasih... sudah menyimpan ini."
Kemudian ke Vesuila "Besok, aku ingin kau antar kami ke tempat itu. Aku tidak akan bawa pasukan penuh. Hanya tim kecil. Aku butuh kebenaran. Dan... aku yakin kau juga ingin tahu."
Angin malam membawa suara samar dari pepohonan di timur.
Dan untuk pertama kalinya sejak mendarat di pulau ini, Lerkov merasa... mereka bukan yang pertama dari dunia mereka yang menginjakkan kaki di tanah in.
Setelah Shin menutup transmisi dengan Halsey, ia segera mengatur frekuensi internal dan menghubungi Lerkov, yang masih berada di dalam rumah kepala desa.
"Admiral, ini Shin. Saya terima informasi dari Captain Halsey. Awak Udaloy, Iosif, melaporkan deteksi anomali elektromagnetik... tapi bukan di pulau—di laut utara. Perlu atensi. Over."
Lerkov, yang baru saja selesai mengevaluasi informasi kain, langsung berdiri dari kursinya.
"Frekuensinya bagaimana?"
"Fluktuatif. Kadang muncul, kadang hilang. Iosif bilang lebih mirip denyutan—bukan sinyal biasa. Belum diketahui sumber pastinya. Tapi cukup kuat untuk ganggu sonar dan sistem auto-ping mereka."
"Ada visual?"
"Belum, Sir. Laut terlalu gelap dan drone thermal Udaloy gak bisa tembus ombak malam ini. Tapi—"
Shin jeda sejenak, nada suaranya menurun, "—Iosif bilang... dia sempat dengar suara."
"Suara?"
"Ya... kayak dengungan logam. Cuma beberapa detik. Tapi nggak ada kapal, nggak ada gerakan arus besar. Lautnya tenang."
Lerkov Berpikir Keras
Lerkov menatap keluar jendela. Laut utara tak terlihat dari sini, tapi perasaannya mulai tak enak. Terlalu banyak hal aneh muncul berbarengan.
"Kemarin kita dapat kain dengan logo kita. Sekarang ada getaran misterius di laut. Dunia ini terlalu banyak tahu soal kita… atau terlalu sering disentuh oleh mereka yang mirip kita."
Ia menoleh ke Vesuila dan Rho'dan.
"Apa di laut utara pernah ada yang jatuh? Cahaya? Suara?"
Rho'dan menatap Vesuila, seakan bertanya bolehkah berbicara. Vesuila akhirnya menjawab,
"Beberapa musim lalu, ada cahaya biru dari langit. Jatuh ke laut. Tapi kami kira itu bintang jatuh."
"Tidak ada ledakan?" tanya Lerkov.
"Tidak. Tapi sejak itu... nelayan tak mau ke utara. Mereka bilang... airnya... bisu."
Lerkov Memberi Perintah
"Shin, dengar. Aku mau Udaloy tetap awasi perairan utara. Jangan dekati dulu, Out"
Setelah transmisi dari Shin selesai, ruangan kepala desa kembali hening. Lampu lentera minyak di sudut meja bergoyang pelan diterpa angin malam yang menyusup masuk lewat celah jendela bambu.
Lerkov menarik napas panjang. Ia menatap radio genggam di tangannya, lalu meletakkannya perlahan di meja, seolah beban yang tadi berat kini sementara bisa ditaruh.
"Anomali di laut utara…" gumamnya, suara nyaris tak terdengar.
Nilan, yang tadi sempat tertidur sebentar di kursi panjang, bangkit dan berjalan ke arahnya sambil menguap lebar.
"Udah kelar rapatnya? Dari tadi tegang banget mukamu, Kak."
Lerkov tak langsung menjawab. Ia menoleh pelan, memandangi adiknya sebentar, lalu kembali menatap jendela.
"Baru selesai. Tapi... masih belum tenang."
Nilan duduk di lantai sambil membuka bungkus cemilan yang ia dapat dari warga desa. "Mau makan gak?" tanyanya santai sambil menyodorkan.
Lerkov mengambil satu tanpa banyak bicara, lalu duduk di kursi kayu dekat jendela.
"Ternyata... makin kita gali, makin banyak rahasia tempat ini."
"Iya sih..." kata Nilan pelan. "Tapi semuanya kayak... saling nyambung ya. Kain itu... suara-suara aneh... armada yang ngerasa gak sendiri."
"Dan itulah yang bikin aku gak bisa tidur." Lerkov memandang ke luar.
Laut di kejauhan tak terlihat, hanya gelap. Tapi gelapnya bukan sekadar malam—ada rasa seperti... mata yang tersembunyi, sedang menatap kembali.
Detik berjalan lambat. Lerkov menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba merilekskan tubuhnya. Tapi jemarinya masih mengetuk-ngetuk lengan kursi pelan, berirama.
"Aku tahu rasanya ini..." pikirnya dalam hati.
"Ini bukan cuma ketegangan biasa. Ini... diam sebelum badai."
Di luar rumah, bunyi dedaunan bergesek pelan. Angin menurunkan suhu.
Dari armada di kejauhan, hanya satu atau dua lampu sinyal yang masih berkedip.
Nilan akhirnya tertidur di sisi ruangan, meringkuk dengan jaketnya.
Lerkov masih terjaga, menatap ke arah utara.
Dalam hatinya, rasa penasaran dan firasat buruk beradu. Ia tidak bicara lagi malam itu. Hanya duduk, berjaga... dan menunggu.
Sebab lautan tak pernah benar-benar diam.
Dan ketika ia diam terlalu lama, sesuatu di dalamnya sedang bersiap untuk muncul.