Cherreads

Chapter 16 - Merepotkanmu

Tiga hari kemudian.

Celis membuka matanya, melihat ke langit.

"Aku dikamar?"

Celis mencoba untuk duduk tapi dia merasakan sakit yang luar biasa dibagian perut. Celis perlahan-lahan untuk berposisi duduk, menarik baju keatas melihat perutnya punya delapan lubang berukuran acak. Meskipun berlubang tapi pendarahannya tertutup tidak seperti sebelumnya.

Celis mencoba mengingat, Beberapa hari kemarin dia tertembak dengan Ferra lalu pingsan.

"Si Ferra bangke."

Celis menutup kembali perutnya menggunakan baju lalu disaat bersamaan Shintia membuka pintu kamarnya sambil membawakan obat ditangannya.

Shintia menggunakan daster dengan rambut yang tidak diikat, datang menghampiri.

"Udah sadar ya?"

Celis dengan spontan bilang.

"Belum."

"Ga aku obatin kamu."

"Emangnya masa—Akh!!"

Perut Celis terasa nyeri, Shintia melihatnya langsung dengan cepat menuangkan obatnya ke sendok lalu menyuapkan sendok itu ke mulut Celis dengan kasar.

Celis menelannya, setidaknya kurang dari lima detik setelah meminumnya. Nyerinya mereda.

"Obat apaan itu?"

Shintia menaruh obat dan sendok di meja Celis.

"Obat nyeri, kalau ga dimakan kamu jadi kesakitan."

Celis terkejut mendengarnya. Perasaannya sedikit tersentuh, ternyata ada orang lain yang peduli padanya.

"Oh iya, udah berapa lama aku pingsan?"

"Pingsan? bukannya sekarat?"

Celis tidak menyangka dirinya sekarat dibuat Ferra dan menanggapi.

"Eh?!"

"Kamu udah tiga hari tidur, satu hari dirumah sakit, dua hari dirumah. Lagian kamu sembuh sendiri, kerumah sakit untuk minta obat nyeri doang."

"..."

Celis tidak bisa berkata apapun tentang hal itu, dia berbicara dalam pikirannya.

"Apa mungkin akibat kemampuan penyembuhan ku?—"

Sambil mengelus perut.

"—Seharusnya perutku udah sembuh total, apalagi udah tiga hari."

Shintia menanyakan pada Celis tentang tiga hari yang lalu.

"Celis, Kamu punya masalah apa sama orang waktu itu?"

Celis menjawabnya dengan tenang.

"Entah siapa, dia orang ga jelas."

"Coba jelasin yang bener, Aku pengen tau."

"Cerewet."

"Apa?"

"Gada. Dia dulu satu kelas waktu aku masih SD, aku ga terlalu kenal dia tapi nama dia Ferra. Aku ga paham dan ga ngerti apa yang dia pikirkan, apapun yang aku lakukan salah dimatanya, apapun yang aku omongkan, dia merasa tersindir. Aku ga ngerti, dia orang gajelas, gosah dipikirkan."

"Gitu ya, mungkin dia orangnya problematik. Mungkin, Dia iri denganmu."

"Iri?—"

Celis senyum seringai sambil tertawa kecil.

"—hahaha, apa yang di iri kan pada orang yang gapunya apapun."

Shintia menatap kasihan, orang yang tidak mempunyai keluarga dan juga teman. Masalah besar bagi Celis namun Celis menyepelekannya dan menurut Shintia, Celis tidak ingin menyelesaikan masalah ini.

"Shintia."

"Hmm?"

Celis bertanya kepada Shintia.

"Kamu paham ga sama konsep kekuatan yang orang-orang punya?"

Shintia berpikir sambil memejamkan mata, mengingat apapun yang didalam pikirannya.

"Kekuatan kita berasal dari Janji terhadap orang asing yang pernah masuk ke Indonesia waktu itu, Kita disuruh membuat Janji apapun, terserah. Tapi Janji itu juga membuat kita terikat kepada takdir yang ditentukan. Misalnya nih kamu Janji mau melindungi seseorang dengan kekuatanmu, lalu takdirmu ditetapkan kalau kamu mati nanti karena melindungi seseorang tersebut."

Celis terdiam syok mendengar, dalam hatinya berbicara.

"Perasaan dia cuma contoh. kok bisa gitu ya? Artinya... kedua orangtuaku Janjinya...."

Spontan Celis berkeringat dingin mengingatnya, tapi Celis tiba-tiba kepikiran yang lain supaya bisa menenangkan dirinya.

"Gitu ya, aku baru tau. Jadi untuk orang yang pinjam kekuatan dari orang lain kayak gimana?"

"Kalau itu sih... Kurang tau aku, soalnya kita hidup di Era baru jadinya masih banyak pertanyaan yang gitu. Tapi aku pernah dengar juga kok sedikit, syaratnya sama harus punya Janji, tapi bedanya orang yang minjam kekuatan orang lain ga terikat takdir."

"kenapa gitu?"

"Ya kan cuma pinjam. Tapi untuk orang melanggar Janji bakal sengsara hidupnya termasuk Janji kita ke orang asing waktu itu, Kalau kita melanggar janji bakal sengsara banget hidupnya dan disiksa habis habisan baik itu mental ataupun fisik."

Muncul lagi pertanyaan lain dari pikiran Celis.

"Tapi kok ada yang salah gunakan kekuatannya? Keliatannya baik-baik aja tuh."

Shintia mendorong halus dahi Celis menggunakan telunjuknya.

"Cuma keliatannya kan? Kamu mana tau apa yang dialami orangnya."

Celis tersadarkan karena dia. Shintia berdiri lalu berjalan meninggalkannya, sebelum sampai ke depan pintu Shintia berhenti dan menyampaikan hal penting.

"Aku hampir lupa, kamu tunggu Hella ya. Dia nyariin obat kamu berdua bareng Mitha. Mungkin, tiga hari lagi mereka pulang bawain kamu obat."

Celis berbaring kembali bersamaan Shintia menutup pintu kamarnya.

Celis termenung melihat atap.

"Tumben-tumben ada yang rela jauh-jauh sampai tiga harian cuma beliin aku obat. Padahal aku bukan siapa-siapa mereka."

Shintia menundukkan kepala dan masih berdiri di depan pintu Celis, badannya tiba-tiba lemas membuatnya duduk disana.

Shintia berkata halus.

"Padahal hidupmu sisa empat hari lagi tapi kamu masih aja santai."

Disisi lain, Rumah Sakit Umum Daerah atau RSUD Aji Parikesit di Tenggarong Seberang.

Kondisi Suo terlihat parah, kedua tangan dan kedua kakinya penuh di baluti Gips dan baru saja selesai melakukan operasi pemasangan Pen beberapa jam lalu.

Bersamaan dengan Dea yang masih menjadi penunggunya disana.

Suo berkata kepada Dea.

"Ga nyangka dia bikin aku separah ini."

Dea kemudian menjawabnya dengan rasa kasih sayang dan lembut berkata.

"Gapapa sayang, dua hari lagi tulang-tulang kamu sembuh semua kok."

"Dua hari buat keluar dari rumah sakit doang. Butuh waktu banyak buat sembuh total supaya bisa menikmati hidup lagi."

Dea merasa tidak nyaman dengan perasaannya.

"....."

"Tulangku dipotong kecil-kecil gini, ga cuma tangan kanan, tangan kiri sama kedua kakiku juga habis dipotong kecil-kecil. biarpun kecil tapi potongannya presisi dan rapi membuat Dokter mudah masang Pen buat tulangku, meski gitu Dokter mencari cara untuk pasang Pen yang normal ke tulangku yang kecil kayak dadu."

Pindah disisi lain, Hella dan Mitha yang sedang berduaan di motor merek Honda CBR150R warna putih kemudian mereka baru saja melewati Gedung atau di kenal sebagai Istana Garuda dirancang sebagai "sesosok rumah" yang berasosiasi pada burung Garuda.

Tidak hanya berhenti pada landmark sebuah kawasan, tetapi lebih sebagai perwujudan pencapaian sinergi antara seni, sains, dan teknologi.

Perpaduan ketiganya selalu mewarnai keberadaan bangunan-bangunan ikonik di seluruh dunia berada di Ibu Kota Negara (IKN), yang terletak di wilayah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Luas keseluruhan mencapai seratus hektare. Kompleks istana kepresidenan akan berdiri megah yang juga meliputi berbagai bangunan di sekitarnya, termasuk Istana Negara. Ada bentuk desain burung garuda yang sedang mengepakkan sayap dari belakang istana.

Mereka berdua pun terkejut kagum melihatnya.

Mitha yang kesenangan melihatnya berkata.

"Indahnya... Ditambah lagi langit biru dan awan sedikit membuatnya jadi makin cantik."

Berbeda dengan Hella meski kagum takjub tapi dia malah berpikiran melenceng.

"Kayak markas Batman malahan jir."

Hella kemudian mengganti gigi motor lalu meningkatkan kecepatan motornya.

Sesaat setelahnya, sampai mereka di rumah kosong yang di sewakan seseorang.

Hella berhenti lalu turun dari motor.

"Kita tinggal disini dulu untuk sementara."

Mitha mengangguk kepalanya yang berarti "Iya."

More Chapters