Cherreads

Chapter 20 - Bab 20 - Sumpah dan Keraguan

Raksana Yatra terbuka dengan kilatan cahaya membelah udara. Di balik semburan energi sihir yang perlahan memudar, sosok tegap muncul. Mata tajamnya menembus kabut yang masih bergulung di sekitarnya.

Bhirendra, tubuhnya sempat terhuyung, lututnya nyaris menyentuh tanah akibat daya hisap sihir Raksana Yatra yang menguras tenaga. Tapi baginya, itu bukan masalah besar. Luka-luka dalam tubuhnya telah banyak membaik berkat bantuan Radeeva malam sebelumnya. Napasnya hanya tersengal sebentar, lalu stabil kembali.

Masalah sebenarnya bukan dirinya. Melainkan barak militer yang kini nyaris tak dikenali: tenda-tenda rusak, tanah hangus, dan para prajurit yang terbaring dengan luka dalam, beberapa bahkan tak sadarkan diri. Asap tipis masih mengepul dari puing sihir yang belum sepenuhnya reda.

Tanpa banyak bicara, Bhirendra meraih kendali kudanya dan melesat ke arah timur. Di sana, dinding dimensi tengah berusaha dipertahankan oleh Pramudya, sendirian, melawan sesuatu yang seharusnya tak retak.

Begitu tiba, Bhirendra melihatnya. Retakan itu membentuk pola akar yang menjalar liar, seperti cakar-cakar tak terlihat mencoba merobek batas dunia. Energi hitam dan ungu saling berkecamuk dalam tarikan sihir yang kacau.

Pramudya berbalik. Matanya terbelalak saat melihat pancaran sihir dari kejauhan. "Panglima..." gumamnya lega, campur gentar.

Bhirendra tidak menjawab. Ia melangkah maju perlahan, udara di sekitarnya berubah berat. Energi dari retakan seolah menarik segalanya, termasuk cahaya dan panas dari tubuhnya. Tapi ia tetap berjalan, kemudian berhenti, dan mulai merapal mantra-mantra tua yang diwariskan dari generasi ke generasi para pelindung.

Angin membungkus tubuhnya, membuat jubahnya berkibar liar. Rambutnya yang hitam bergoyang dalam cahaya menyilaukan dari ledakan sihir yang saling bertabrakan. Kilat menyambar langit, petir bergemuruh. Tanah bergetar hebat, membuat sebagian prajurit terhuyung dan jatuh pingsan karena tekanan sihir yang luar biasa. Tapi Bhirendra tetap berdiri. Tangan kirinya terbuka ke arah langit, tangan kanan mencengkeram hulu pedang, yang kini berpendar.

Menit demi menit terasa seperti selamanya. Akhirnya, retakan itu mulai mengecil. Energi gelapnya memudar, lalu menghilang. Dinding dimensi kembali menyatu, meski samar masih tersisa guratan samar seperti luka lama yang baru saja dijahit.

Bhirendra jatuh berlutut, lututnya menghantam tanah yang hangus. Nafasnya berat. Tubuhnya goyah. Namun ada kelegaan di wajahnya.

Pramudya segera menghampiri, membantunya bangkit. Bersama, mereka berjalan menuju pohon besar di belakang garis sihir pelindung. Beberapa prajurit mulai kembali ke barak. Sebagian lainnya tetap berjaga dengan wajah pucat, masih dibayangi ketakutan.

Sambil bersandar di batang pohon tua itu, Pramudya mulai menjelaskan panjang lebar. Tentang awal munculnya retakan, betapa sihir pelindung sudah nyaris jebol sebelum Bhirendra datang, dan betapa mereka nyaris kehilangan semuanya. Tapi, Bhirendra hanya mendengarkan sebagian. Matanya tak sepenuhnya fokus. Bukan karena lelah semata.

Ada sesuatu. Sesuatu yang tidak pas.

Pramudya terlalu cepat menyusun kronologi. Terlalu rapi menjelaskan tanpa jeda. Terlalu lancar, tanpa kepedihan di sorot matanya terhadap para prajurit yang gugur.

Firasat itu muncul. Tak beralasan. Tak ada bukti. Tapi intuisinya, yang sudah terlatih menghadapi ribuan medan tempur, berbisik. Bahwa ada bagian dari cerita ini yang tak diceritakan. Bahwa mungkin... musuh mereka tidak hanya berada di luar dinding dimensi.

"Bagaimana bisa barak menjadi seperti itu?" Suara Bhirendra terdengar rendah, berat... namun ada nada halus yang menyiratkan kecurigaan. Tatapan matanya tidak berkedip saat menatap Pramudya yang berdiri tegak di hadapannya.

Pramudya menarik napas pelan, lalu menjelaskan dengan nada sedikit tergesa, "Ada sekelompok Panarasa Hitam, sangat terlatih. Mereka muncul tiba-tiba... seperti sedang mencari Anda, Panglima. Tapi saat tak menemukan Anda, mereka mengamuk, memporak-porandakan pertahanan barak."

Ia melanjutkan, "Kami sempat mengira ancaman ada di dalam. Ternyata ancaman sebenarnya justru... ada di luar. Dinding dimensi. Retakannya muncul saat perhatian kami teralihkan sepenuhnya."

Bhirendra diam. Lama. Terlalu lama untuk ukuran orang yang biasanya segera memberi perintah. Matanya tidak berkedip, seolah sedang membaca lebih dari sekadar kata-kata. Ia tidak menjawab langsung, hanya menatap Pramudya seperti menatap suatu teka-teki yang belum terpecahkan. Akhirnya ia berkata pelan, "Kembalilah ke barak. Istirahatlah."

Pramudya memberi hormat lalu mundur, namun keraguan samar masih membekas di sorot matanya.

Setelah kepergian wakilnya, Bhirendra berdiri sendiri di antara pepohonan yang kini meranggas karena pancaran sihir. Tanah masih hangus, dan angin membawa bau logam yang tajam. Ia tidak bergerak. Intuisinya sebagai prajurit menggelitik tanpa henti. Ada terlalu banyak kebetulan. Mengapa serangan itu datang bersamaan dengan perjalanannya bersama Reina? Mengapa dinding dimensi retak begitu hebat tepat saat ia tak berada di tempat?

Langkah kakinya berat, namun hatinya lebih berat lagi. Tiba-tiba, sebuah denyutan tajam menyerang dadanya. Bhirendra mengerang pelan, memegang dada kirinya. Di sanalah lambang Wadhita Arkanasya terukir dengan sihir kuno-penanda ikatan sumpah antara dirinya dan Sang Terpilih.

Resonansi jiwa.

Ada sesuatu yang terjadi pada Reina. Ia tahu itu. Rasa sakit ini tidak datang begitu saja.

"Reina..."

Namanya lolos dari bibirnya tanpa sadar. Ucapannya lirih, nyaris seperti mantera yang terbawa angin.

Pikiran Bhirendra dibanjiri kilasan - Reina yang menatapnya penuh tekad saat memulai ritual, suara gemetar yang menyamar dalam senyumnya, dan cara ia membolak-balik daging di api unggun seperti tak ingin ditinggalkan... tapi tidak bisa mencegahnya pergi.

Ada sesuatu dalam tatapan terakhir itu. Bukan hanya keteguhan, tapi kepasrahan dan itu membunuhnya perlahan.

Bhirendra kembali ke barak saat malam telah menggantung rendah. Api unggun sisa latihan masih berpendar merah redup, seperti napas terakhir dari hari yang lelah. Tubuhnya yang tinggi dan kokoh terlihat limbung, diseret oleh keletihan, namun lebih banyak oleh sesuatu yang tak bisa ia sebut dengan nama.

Ia melangkah masuk ke dalam tendanya. Aroma damar dan besi hangat memenuhi udara. Tidak ada yang ia sentuh. Tidak ada yang ia rapikan. Semua dibiarkan berantakan. Hanya tubuhnya yang rebah di atas dipan, seperti batu yang dilemparkan ke dalam jurang sunyi.

Pria itu memandang ke langit-langit. Tak ada yang berubah, tetap gelap dan sunyi, tetapi saat ia memejamkan mata, ia melihatnya lagi.

Wajah itu. Senyum itu. Tatapan yang seperti menarik seluruh lapisan dinding dalam dirinya runtuh satu per satu.

Perempuan dari dunia Arunika itu berdiri diam di sudut pikirannya. Tangannya terulur. Senyumnya tipis, samar... terlalu lembut untuk seorang prajurit sekeras dia, tapi terlalu kuat untuk bisa ia tolak.

"Ada apa denganku ini...?" Keningnya mengernyit, jemarinya mengepal di atas dada.

Apakah sihir pengendali raga telah ia berikan padaku?

Apakah aku telah terkena pengaruh dari artefak miliknya? Mengapa wajahnya terus muncul?

Mengapa namanya seperti gema di dada yang tak mau hening?

Bhirendra membalik tubuh, menatap hamparan udara yang tak kasatmata dalam remang cahaya malam.

Aku tak pernah goyah hanya karena satu orang... satu perempuan... yang bahkan belum lama kukenal. Tapi mengapa....

Mengapa seolah... ada bagian dariku yang kini bukan lagi milikku?

Bhirendra menghela napas panjang. Tubuhnya boleh istirahat, tetapi hatinya justru semakin terjaga. Seperti sedang mencari sesuatu yang tak ada. Seperti menanti sesuatu yang bahkan belum pasti pulang.

"Reina..." gumamnya lagi. "Kau tetap di sana... dan aku di sini. Tapi jiwaku... sudah separuh tinggal padamu."

Dan di malam yang sunyi itu, di tengah tanah yang hangus dan langit yang memantulkan kedalaman kehampaan, hanya satu suara yang menguasai dadanya: ketidakberdayaan.

More Chapters